Foto: Grandyos Zafna
Minyak yang diolah kilang Shell di Singapura tersebut berasal dari Lapangan West Qurna I di Irak. Lapangan tersebut dikelola bersama oleh Pertamina dan ExxonMobil. Minyak bagian Pertamina inilah yang diolah menjadi bensin RON 88 alias premium.
Mengapa Pertamina tidak mengolah minyak tersebut di kilang-kilangnya sendiri saja? Atau mengapa tidak sekalian impor BBM saja?
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, menjelaskan bahwa spesifikasi minyak dari Irak tersebut tidak cocok dengan kilang-kilang di Indonesia.
"Minyak sour hasil produksi di Irak, Basrah Crude, belum dapat diproses di kilang dalam negeri," ujar Dwi dalam konferensi pers di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Rabu (31/8/2016).
Dwi menambahkan, pengolahan minyak milik Pertamina di kilang luar negeri ini hanya sementara saja. Pertamina sekarang sedang menjalankan 4 proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan pembangunan 2 Grass Root Refinery (GRR).
4 kilang yang dimodifikasi dan 2 kilang baru Pertamina nantinya dapat mengolah minyak mentah jenis Basrah Crude. "Dengan adanya RDMP dan GRR, Basrah Crude bisa kita olah," tuturnya.
Pihaknya memilih untuk mengolah saja minyak dari Irak di Singapura karena dengan begitu Pertamina bisa memperoleh BBM dengan harga lebih murah.
"Sudah tentu lebih efisien. Dalam proses tender terakhir disampaikan, minus alfa semakin tinggi. Lebih baik daripada kalau kita beli langsung BBM," paparnya.
SVP Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina, Daniel Purba, menambahkan bahwa bensin RON 88 hasil olahan kilang Shell di Singapura ini harganya lebih murah 15% dibanding yang diimpor langsung oleh Pertamina.
"Melalui CPD ini kurang lebih perbaikannya sekitar 15%," ucap Daniel.
Kontrak kerja sama pengolahan dengan Shell ini berlangsung hingga Desember 2016. Berkat kerja sama ini, kata Daniel, impor BBM jenis premium berkurang dari 7 juta barel per bulan menjadi hanya 6 juta barel per bulan.
"Periode kontrak Juli-Desember. Kita sudah sepakat sejak akhir Juni. Crude ini memang dari Irak, untuk Juli-Agustus kita ambil sekitar 1 juta barel premium. Ini 15% dari total impor kita, jadi kita mengurangi pembelian langsung sebesar 15%. Memang kurang begitu signifikan, tapi pasti berdampak pada harga di pasar Singapura," tutupnya.
Credit detikfinance