Jumat, 24 Juni 2016

Inggris Keluar dari Uni Eropa, Kelompok Anti-Islam Bersorak

 
Inggris Keluar dari Uni Eropa, Kelompok Anti-Islam Bersorak  
Tokoh-tokoh sayap kanan Eropa, seperti di Perancis dan Belanda, bersorak atas keluarnya Inggris dari Eropa. Hal ini akan menjadi preseden bagi negara lain. (Reuters/Neil Hall)
 
Jakarta, CB -- Referendum Brexit yang digelar Kamis pekan ini di Inggris menunjukkan kemenangan kubu "keluar", yang artinya negara itu akan segera hengkang dari Uni Eropa. Hasil ini membuat kelompok-kelompok sayap kanan dan ultra-nasionalis di Eropa bersorak.

Salah satunya adalah Marine Le Pen, pemimpin partai sayap-kanan Perancis, Front Nasional, yang mengaku menyambut baik hasil referendum. Bahkan, dia mengatakan referendum Inggris akan menjadi preseden juga di Perancis.



"Kemenangan bagi kebebasan! Sekarang waktunya referendum yang sama di Perancis," kata Le Pen dalam akun Twitternya, Jumat (24/6).

Le Pen terkenal dengan jargonnya yang anti-Islam, salah satunya menyerukan larangan jilbab di Perancis dan ditutupnya negara itu bagi imigran Muslim. Tahun 2011, Le Pen dikecam karena menyamakan shalat berjamaah umat Islam di jalan seperti pendudukan Nazi di Perancis.

Sorakan yang sama juga datang dari tokoh sayap kanan anti-Islam di Belanda, Geert Wilders. Seperti Le Pen, Wilders mengatakan referendum Inggris bisa juga ditiru oleh Belanda.

"Kami ingin berkuasa di negeri sendiri, menguasai uang sendiri, perbatasan sendiri dan kebijakan imigrasi sendiri. Jika saya menjadi perdana menteri, akan ada referendum bagi Belanda untuk meninggalkan Uni Eropa. Biarkan rakyat Belanda yang memilih," kata Wilders dalam situs pribadinya.

Wilders, ketua Partai Kebebasan, adalah penggawa anti-Islam dan anti-imigran Belanda yang membuat film kontroversial berjudul Fitna tahun 2008. Dia mengatakan, Islamisasi di Belanda harus dihentikan dan menyamakan Al-Quran dengan manifesto Hitler "Mein Kampf".

Referendum Brexit sendiri didukung oleh kubu sayap kanan di Inggris, salah satunya adalah Partai UKIP. Pemimpin partai tersebut, Nigel Farage, dikenal sebagai sosok rasis yang pernah mengatakan bahwa mereka "tidak akan pernah mendapatkan suara negro" dan mengucapkan kalimat rasis terhadap warga China dalam siaran langsung radio, serta kepada masyarakat keturunan Romania di Inggris.

Menurutnya, Inggris mulai kebanjiran pengungsi akibat wilayah tanpa batas Uni Eropa, membuat negara itu terancam jadi ladang perkosaan. Dalam kampanye Brexit, UKIP membuat poster rasis soal gelombang pengungsi Suriah ke Inggris. Menurutnya, Inggris mulai penuh imigran karena bergabung dengan Uni Eropa.

Kemenangan Brexit membuat Farage girang.

 
Hasil penghitungan suara menunjukkan warga Inggris memilih hengkang dari Uni Eropa. (Dan Kitwood/Getty Images)
"Saya sekarang berani bermimpi fajar kemerdekaan Inggris mulai datang," kata Farage yang juga mendesak Perdana Menteri David Cameron segera mundur jika "keluar" menang.

Tokoh lainnya pendukung Brexit adalah Boris Johnson, mantan wali kota London. Johnson dianggap rasis setelah mengkritik Presiden Amerika Serikat Barack Obama karena "keturunan Kenya". Menurut Johnson, Inggris telah dibanjiri para imigran Timur Tengah dan Eropa yang tidak memiliki kemampuan kerja.

Kelompok-kelompok ultra-nasionalis juga berada di balik Johnson dan Farage, sebut saja organisasi supremasi kulit putih English Defence League, partai nasional-ekstrem Britain First dan British National Party.

Mail on Sunday dalam penyelidikannya menemukan bahwa kampanye Brexit telah "disusupi" oleh para aktivis Neo-Nazi yang berpengaruh, salah satunya adalah Mark Collet, anggota British National Party.

Collet terkenal dengan komentarnya yang anti-Yahudi pada tahun 2013. "Yahudi dibuang dari semua negara, termasuk Inggris....tidak akan ada asap tanpa api," kata dia kala itu.




Credit  CNN Indonesia