Kamis, 30 Juni 2016

Sengketa Filipina-China di LCS Akan Diputuskan 12 Juli

 
Sengketa Filipina-China di LCS Akan Diputuskan 12 Juli  
Keputusan ini akan menentukan klaim China terhadap perairan Laut China Selatan, LCS, yang diperkirakan kaya minyak. (Reuters//U.S. Navy)
 
Jakarta, CB -- Pengadilan arbitrase internasional akan mengumumkan keputusannya soal sengketa teritorial yang diajukan Filipina atas China pada 12 Juli mendatang. Keputusan ini akan menentukan klaim China terhadap perairan Laut China Selatan, LCS, yang diperkirakan kaya minyak.

Dalam pernyataan resmi Pengadilan Arbitrase Permanen yang berbasis di Den Haag, Belanda, disebutkan bahwa pengumuman keputusan sengketa teritorial itu akan diumumkan pada tanggal 12 Juli pukul 11 siang waktu Den Haag. Pihak yang bersengketa dan negara-negara pengamat akan menerima email keputusan itu terlebih dahulu sebelum disiarkan ke publik.

Keputusan itu akan diambil dengan mempertimbangkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut, UNCLOS.


Kasus ini diajukan oleh Filipina untuk menantang klaim China, yang mencapai hampir 90 persen, di Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus, atau 'nine-dashed line.' Garis ini meliputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang tindih dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, Brunei, Vietnam dan Indonesia di Natuna.

Terkait pengumuman keputusan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hong Lei menyatakan langkah yang dilakukan Manila melalui pengadilan itu bagaikan mencemooh hukum internasional.

"Saya sekali lagi menekankan bahwa pengadilan arbitrase tidak memiliki yurisdiksi yang relevan dalam kasus ini, dan tidak harus menghasilkan keputusan apapun," katanya, dikutip dari Reuters.

"Upaya unilateral Filipina terkait penyelesaian kasus di Laut China Selatan melalui [pengadilan] arbitrase bertentangan dengan hukum internasional," ujar Hong.

"Soal kasus sengketa wilayah dan perselisihan maritim, China tidak menerima penyelesaian sengketa dari pihak ketiga dan tidak menerima penyelesaian sengketa yang dipaksakan kepada China," ucapnya.

Kantor berita resmi China, Xinhua, melaporkan bahwa pengadilan itu "menyalahgunakan hukum" terhadap "yurisdiksi yang dipersengketakan." Xinhua menyebut bahwa kasus ini hanya akan memperburuk sengketa.

"Manila gagal untuk melihat bahwa [pengadilan] arbitrase tersebut hanya akan menimbulkan lebih banyak masalah di Laut China Selatan, yang tidak memberikan manfaat sedikit pun pada kepentingan berbagai pihak terkait," bunyi laporan Xinhua.

Kasus ini, menurut laporan Xinhua, "bahkan berisiko untuk lebih mempersulit masalah ini dengan memberikan kesan palsu kepada pihak yang bersengketa bahwa mereka bisa mendapatkan keuntungan dengan sengaja menciptakan kekacauan."

Sementara di Manila, sekretaris komunikasi presiden Herminio Coloma Jr menyatakan Filipina "berharap adanya keputusan yang adil dan berkekuatan hukum untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Filipina berpendapat bahwa klaim China di perairan dengan nilai perdagangan mencapai US$5triliun itu melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan membatasi hak untuk mengeksploitasi sumber daya dan daerah penangkapan ikan dalam zona ekonomi eksklusifnya.

Filipina berpendapat bahwa klaim China melanggar Konvensi PBB tentang Hukum Laut dan membatasi hak untuk mengeksploitasi sumber daya dan daerah penangkapan ikan dalam zona ekonomi eksklusif.

Sekutu Filipina, Amerika Serikat, menyatakan mendukung pengadilan itu dan mendesak adanya resolusi yang damai atas sengketa itu. "Kami mendukung resolusi damai sengketa di Laut China Selatan, termasuk penggunaan mekanisme hukum internasional seperti arbitrase," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS Anna Richey-Allen.

Sebelumnya, AS sudah memperingatkan China agar tidak mengambil tindakan provokatif tambahan menjelang keputusan pengadilan. AS juga telah memperingatkan China untuk tidak mendeklarasikan zona pertahanan udara di Laut China Selatan, seperti yang dilakukannya di Laut China Timur pada 2013 lalu.




Cedit CNN Indonesia