Selasa, 28 Juni 2016

Staf Ahli Luhut: Jika Dibiarkan, China Kuasai Laut Natuna


 
Staf Ahli Luhut: Jika Dibiarkan, China Kuasai Laut Natuna Zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna yang dimasukkan ke dalam peta nine-dashed line China mencapai enam kali luas Pulau Bali. (ANTARA/Joko Sulistyo)
 
Jakarta, CB -- Laksda Surya Wiranto, Staf Ahli Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan Bidang Kedaulatan Wilayah dan Kemaritiman, menyatakan kehadiran kapal-kapal nelayan China di zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna, bukan semata persoalan penangkapan ikan secara ilegal (illegal, unreported, and unregulated fishing).

“Itu bagian dari upaya state practice untuk menunjukkan kepada dunia positive occupation China terhadap wilayah maritim di Laut China Selatan. Tiongkok berupaya melakukan ekspansi ke wilayah berdaulat Indonesia. Jadi jika dibiarkan, status quo, dan Indonesia diam, China akan mengokupasi (menguasai) perairan Natuna,” kata Surya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).

Pengakuan China atas Natuna sebagai wilayah kedaulatan Indonesia selama ini, ujar Surya, tak secara spesifik menyertakan perairan di sekelilingnya. Hal ini mesti diwaspadai pemerintah Republik Indonesia.

“Kalau dibiarkan, di Natuna bisa jadi ‘Indonesia punya pulau, China punya air. Padahal tidak begitu. Sepanjang 200 mil ditarik dari garis pantai Kepulauan Natuna (zona ekonomi eksklusif), ialah hak berdaulat Indonesia. China tak boleh kooptasi wilayah itu,” ujar Surya.

Ia menegaskan, Natuna, baik kepulauan maupun perairannya, merupakan kepentingan vital nasional dan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun, termasuk China yang mengklaim perairan Natuna sebagai traditional fishing ground berdasarkan faktor historis.

Berdasarkan hukum laut internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) Tahun 1982 pun, ujar Surya, negara lain tidak berhak untuk mengeksplorasi tanpa izin sumber daya Laut Natuna yang berada dalam ZEE Indonesia seperti dilakukan oleh nelayan-nelayan China.

Menurut Surya, zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna yang dimasukkan China ke dalam peta garis imajinernya, nine-dashed line, mencapai 83.315 kilometer persegi atau enam kali luas Pulau Bali.

Nine-dashed line atau sembilan garis putus-putus merupakan garis demarkasi atau garis batas pemisah yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.


Nine-dashed line China memasukkan zona ekonomi eksklusif Indonesia di perairan Natuna ke dalamnya. (Wikipedia/U.S. Central Intelligence Agency)
Niat bermusuhan

China disebut Surya memiliki niat bermusuhan dengan Indonesia di perairan Natuna. Berdasarkan catatannya, pada tahun 2008, delapan kapal ikan China ditangkap di ZEE Indonesia di Natuna. Insiden berikutnya terjadi pada tahun 2010, 2013, hingga mencapai puncaknya pada 2016 ini.

Pada tahun-tahun itu, ujar Surya, Kapal Pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan dan kapal TNI Angkatan Laut yang menangkap kapal China di ZEE Indonesia di Laut China Selatan, selalu mendapat intimidasi.

“Mereka selalu dipaksa melepaskan kapal ikan China yang ditangkap, diintimidasi lewat radio komunikasi, bahkan men-jamming radio komunikasi kapal KKP. Ini merupakan hostile intent atau niat bermusuhan dari kapal coast guard China,” kata Surya.

Belum lagi tindakan bermusuhan dari aparat coast guard China yang membayang-bayangi kapal KKP atau TNI AL, bahkan menabrak kapal ikan China yang telah ditangkap otoritas Indonesia.

“Tindakan-tindakan itu merupakan pelanggaran berat terhadap kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia. Pemerintah RI menolak intimidasi, agresi, dan tindakan kekerasan yang dilakukan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok,” tegas Surya.

Kapal coast guard China membayangi KRI Imam Bonjol yang menangkap kapal nelayan China yang terdeteksi menebar jaring di ZEE Indonesia di perairan Natuna, 17 Juni 2016. (ANTARA/HO/Dispen Koarmabar)
Niat “buruk” China di perairan Natuna, ujar Surya, kian terlihat pada insiden 17 Juni kala kapal nelayan China KM Han Tan Cou ditangkap oleh KRI Imam Bonjol setelah tertembak karena mencoba kabur.

“Pejabat tingkat tinggi China yang sebelumnya mengatakan tidak ada overlapping claim dan mengakui Natuna milik Indonesia, tiba-tiba berubah. Menlu China dan juru bicaranya setelah 17 Juni itu mengatakan antara Indonesia dan China ada overlapping claim,” kata Surya.

Soal overlapping claim yang disebut China itu telah dibantah oleh Kementerian Luar Negeri RI. “Tak ada wilayah tumpang-tindih antara Indonesia dan China. Overlapping itu harus berdasarkan basis yang valid. Tidak bisa mengklaim sesuatu tanpa basis,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu, Damos Dumolo Agusman.

Sementara terkait pendapat beberapa pihak yang menyebut penangkapan dan penembakan terhadap kapal nelayan asing tidak dibenarkan dalam hukum laut internasional, Surya membantah.

“Pasal 73 UNCLOS tidak mengatur dengan jelas masalah penghentian, pemeriksaan, dan penahanan kapal, sedangkan Pasal 111 UNCLOS hanya mengatur tentang hot pursuit atau pengejaran seketika dengan locus (posisi) di perairan teritorial dan zona tambahan, sehingga tak terkait masalah (penangkapan kapal ikan di ZEE),” kata dia.

Pasal 73 UNCLOS tentang Penegakan Peraturan Perundang-undangan Negara Pantai, pada ayat 1 berbunyi, “Negara pantai dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di ZEE, dapat menaiki, memeriksa, menangkap kapal, dan melakukan proses peradilan...”

Sementara ayat 2 pasal yang sama menyatakan, “Kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.”

Ayat 3 berbunyi, “Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE tidak boleh mencakup pengurungan jika tidak ada perjanjian antara negara-negara terkait, atau bentuk hukuman badan lainnya.”

Berdasarkan aturan UNCLOS tersebut, sebelumnya mantan perwira tinggi Angkatan Laut Laksda (Purn) Soleman B. Ponto berkata, “Jadi kalau kapal asing menjaring ikan di ZEE Indonesia tanpa izin, denda saja. Kalau kabur, kejar seketika sampai dapat (hot pursuit). Tapi jangan ditembak karena ada risiko mati, sedangkan hukuman badan saja tidak boleh. Di laut teritorial, baru bisa menembak.”

Melihat ancaman terkini di Laut Natuna, Surya berkata Indonesia perlu memperkuat aturan kepemilikan wilayah perairan dan yurisdiksi (kekuasaan hukum)-nya di utara Natuna yang berbatasan dengan wilayah sengketa Laut China Selatan.

Cara penguatan hukum itu antara lain dengan menyerahkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia lengkap dengan titik-titik koordinatnya ke United Nations Oceans and Law of the Sea; menambahkan dan melengkapi koordinat titik-titik zonasi perairan Indonesia; serta merevisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

Ciri negara maritim, ujar Surya, ialah ketika pemerintahnya melakukan upaya serius untuk mengeluarkan kebijakan dan aturan berbasis maritim.



Credit  CNN Indonesia