Jumat, 24 Juni 2016

'Nine-Dashed Line China ke Natuna Bak Muncul dari Langit'

 
'Nine-Dashed Line China ke Natuna Bak Muncul dari Langit' Nine-dashed line, garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim wilayah di Laut China Selatan yang dipersengketakan sejumlah negara Asia, menjorok hingga teritori Indonesia di perairan Natuna. (Wikipedia/U.S. Central Intelligence Agency) 
 
Jakarta, CB -- Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan pemerintah Republik Rakyat China tak pernah menjelaskan apapun soal nine-dashed line, yakni garis imajiner yang digunakan China untuk mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan yang menjadi sengketa sejumlah negara di Asia.

Nine-dashed line Tiongkok tiba-tiba masuk merusuk ke wilayah ZEE (zona ekonomi eksklusif) Indonesia. Di sini mulai muncul persoalan antara Indonesia dengan China,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu RI, Damos Dumoli Agusman, kepada CNNIndonesia.com, Rabu malam (22/6).

Damos berkata, Indonesia pertama kali tahu soal nine-dashed line 23 tahun lalu, yakni 1993, pada Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea. Kala itu delegasi China mendistribusikan satu peta yang di dalamnya tercantum nine-dashed line menjorok hingga perairan Natuna.

“Indonesia waktu itu bereaksi, apa maksud peta ini? Tiongkok membisu. Dia bilang, terserahlah Anda menafsirkannya,” ujar Damos.

“Tiba-tiba garis itu seperti muncul begitu saja dari langit. Cara menarik garisnya pun kami tidak tahu,” kata Damos yang ditugasi Kemlu RI menangani persoalan teknis terkait Laut China Selatan.

Menurut Damos, dampak dari nine-dashed line bukan soal kepemilikan pulau, melainkan batas maritim.

Nine-dashed line China mulai menjadi persoalan serius bagi Indonesia tahun ini, tepatnya 19 Maret 2016, kala terjadi insiden antara Kapal Pengawas Hiu 11 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Kapal Kway Fey yang berbendera China. Konflik terbuka pertama antara Indonesia-China meletup di perairan Natuna.

Saat Kapal Pengawas Hiu 11 hendak menangkap Kapal Kway Fey yang diduga mencuri ikan, muncul kapal pengawas China yang mengintervensi dengan menabrak Kway Fey.

Pemerintah Indonesia langsung melayangkan nota protes ke China, menuduh Negeri Tirai Bambu melanggar kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia, serta melanggar upaya penegakan hukum oleh aparat Indonesia di ZEE Indonesia.

Pada ZEE yang berjarak 200 mil laut dari garis pangkal suatu negara, negara itu berhak melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam. ZEE Indonesia itulah yang dimasuki Kway Fey.

Insiden pertama Indonesia-China di Natuna itu disambut China dengan penjelasan bahwa dalam zona nine-dashed line, nelayan-nelayannya menangkap ikan di situ.

Indonesia bergeming dan melakukan razia terhadap kapal-kapal asing yang menangkap ikan di Natuna. “Begitu dirazia, dia (China) protes, dan mulailah muncul istilah ‘This is our traditional fishing ground.’ Indonesia jelas protes,” kata Damos.

“Apa itu traditional fishing ground? Tidak ada dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Indonesia menolak itu. We don’t recognize traditional fishing ground,” tegas Damos.

Ketika insiden kedua terjadi antara Indonesia dan China, 27 Mei 2016, menurut Damos China mulai berani mengeluarkan kartunya.

“Mereka bilang, ‘Yes, we have different opinion and yes, we have overlapping maritime rights and interest.’ Itu istilah dia,” ujar Damos menirukan ucapan perwakilan China.

Namun, imbuh Damos, saat ditanya apa yang dimaksud China sesungguhnya, China tak bisa menjelaskan dengan gamblang. China berkata, berhak menangkap ikan di perairan Natuna atas dasar historis, dan alasan itu ditolak oleh Indonesia.

Posisi perairan Natuna berhadapan dengan wilayah sengketa Laut China Selatan. (Hobe/Holger Behr via Wikimedia Commons)
Damos menegaskan, tak ada wilayah tumpang-tindih (overlapping) antara Indonesia dan China. “Overlapping itu harus berdasarkan basis yang valid. Tidak mungkin mengklaim sesuatu tanpa basis.”

Ia mengibaratkan ulah China seperti orang bertamu yang kemudian mengklaim rumah tamunya. “Tiba-tiba rumahmu didatangi orang, lalu orang itu bicara, ‘Ini rumahku, dari nenek moyangku.’ Bingung kan. Baru bisa dibilang overlapping jika dia bilang, ‘Ini rumahku, ini sertifikatnya.’ Tapi ini kan tidak,” kata Damos.

China disebut Damos tak pernah menafsirkan nine-dashed line secara klir hingga saat ini. Akibatnya muncul berbagai intrepetasi dari sejumlah negara.

Pemerintah China, dalam nota protesnya kepada Indonesia atas insiden ketiga di Natuna saat kapal ikan Han Tan Cou terkena tembakan kapal perang RI, kembali menyatakan kapal mereka berada pada perairan dengan klaim “tumpang-tindih”. Alasan ini pun kembali tak diterima Indonesia.

“Indonesia mempertahankan zona ekonomi eksklusifnya sesuai hukum internasional. Hukum laut membenarkan Indonesia membuat zona ekonomi eksklusif. Indonesia punya kedaulatan atas kekayaan alamnya. Tidak pernah ada kesepakatan soal traditional fishing ground dengan China,” kata pakar hukum laut internasional RI, Hasyim Djalal.

Hasyim, mantan diplomat yang pernah mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa, kini ditunjuk pemerintah RI menjadi ketua tim untuk menangani persoalan Laut China Selatan, termasuk Natuna.


Credit  CNN Indonesia