Jumat, 24 Juni 2016

Inggris Keluar dari UE, Skotlandia Serukan Referendum

 
Inggris Keluar dari UE, Skotlandia Serukan Referendum  
Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon memerintahkan para pejabat pemerintahannya untuk menyusun rencana referendum kemerdekaan kedua jika Brexit benar terjadi. (Reuters/Russell Cheyne)
 
Jakarta, CB -- Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon memerintahkan para pejabat pemerintahannya untuk menyusun rencana referendum kemerdekaan kedua sebagai antisipasi hasil referendum Brexit.

Perhitungan suara di 98 persen distrik di seluruh Britania Raya menunjukkan 51,82 persen suara menyatakan Inggris harus keluar dari Uni Eropa. Sementara, hanya 48,18 persen suara yang menyatakan Inggris harus tetap berada di blok itu.

Diberitakan The Telegraph pada Jumat (24/6), Sturgeon memerintahkan seluruh anggota parlemen Skotlandia untuk mempertimbangkan "semua opsi untuk melindungi hubungan kita dengan Eropa dan Uni Eropa" jika Skotlandia terancam meninggalkan Uni Eropa karena mayoritas warga Inggris memilih 'Keluar'.

Juru bicara resmi Sturgeon kemudian mengonfirmasi bahwa pernyataan Sturgeon itu mengacu pada rencana referendum kedua Skotlandia--untuk memutuskan apakah tetap bersama atau berpisah dari Inggris, agar Skotlandia tetap bergabung Uni Eropa.

Penghitungan suara di Skotlandia sendiri menujukkan 62 persen warga menginginkan tetap bergabung dengan Uni Eropa, melawan 38 persen ingin keluar dari UE.

 
Penghitungan suara di Skotlandia menujukkan 62 persen warga menginginkan tetap bergabung dengan Uni Eropa, melawan 38 persen ingin keluar dari UE. (Reuters/Clodagh Kilcoyne)
"Biarkan saya jelaskan, sebagai Menteri Pertama, tugas saya adalah untuk melindungi kepentingan Skotlandia dalam segala situasi dan, oleh karena itu, saya memastikan bahwa perencanaan yang tepat untuk segala kemungkinan tengah dilakukan oleh Pemerintah Skotlandia," ujarnya.

Selain Sturgeon, mantan pemimpin Skotlandia Alex Salmond juga menyerukan referendum kemerdekaan kedua untuk negaranya jika gerakan Brexit berhasil menang.

Salmond merupakan pemimpin Partai Nasional Skotlandia dan mantan menteri pertama Skotlandia ketika negaranya menjalani referendum kemerdekaan pada 2014 lalu. Ia kini duduk di parlemen Inggris mewakili Skotlandia dan merupakan penggiat kampanye pro-Eropa dalam referendum Brexit.

Dalam wawancaranya dengan Washington Post beberapa pekan sebelum referendum Uni Eropa digelar, Salmond memperkirakan bahwa banyak warga Skotlandia akan memilih untuk tetap berada di Uni Eropa, ketimbang keluar. Sebaliknya, warga Inggris cenderung untuk memilih keluar dari Uni Eropa.

"Saya pikir ini mencerminkan dua pandangan yang berbeda untuk masing-masing negara. Perihal Eropa saling terkait dengan perihal kemerdekaan, dan banyak warga yang akan memilih [bergabung dengan] Eropa karena mereka mendukung kemerdekaan Skotlandia dalam konteks Eropa," ujarnya.

"Saya berkampanye untuk 'Tetap' di seluruh negara di kepulauan ini, di Inggris, Skotlandia, Irlandia dan Wales. Namun, jika situasinya menunjukkan Skotlandia memilih 'Tetap' sedangkan Inggris memilih 'Keluar', dan karena Inggris memiliki populasi 10 kali lebih besar ketimbang Skotlandia, maka menurut saya referendum kemerdekaan Skotlandia akan terjadi sekitar dua tahun mendatang dan kali ini hasilnya akan 'Ya'," kata Salmond.

Salmond mengaku sadar bahwa dengan mendukung Uni Eropa, Skotlandia harus tunduk kepada berbagai kebijakan blok itu, termasuk soal imigrasi. Terkait hal ini, Salmond menyatakan, "Skotlandia belum penuh. Artinya, kami jauh lebih peduli soal pertumbuhan negara, penduduk dan semangat ekonomi serta memungkinkan siapapun yang memiliki komitmen dan keterampilan untuk menetap di negara kami."

"Kami lebih seperti Amerika 100 tahun yang lalu, ketimbang Inggris saat ini," ucap Salmond.




Credit  CNN Indonesia


Inggris Keluar Uni Eropa, PM David Cameron Mundur


Inggris Keluar Uni Eropa, PM David Cameron Mundur  
Perdana Menteri Inggris David Cameron menyatakan mengundurkan diri usai referendum Brexit yang memastikan negara itu keluar dari Uni Eropa. (Reuters/Stefan Wermuth)
 
Jakarta, CB -- Perdana Menteri Inggris David Cameron menyatakan mengundurkan diri usai referendum Brexit yang memastikan negara itu keluar dari Uni Eropa.

Dalam pernyataannya Jumat (24/6) Cameron di depan kantornya di London mengatakan akan mengundurkan diri dari kursi perdana menteri sebelum musim gugur tahun ini.

Pernyataannya ini disampaikan menyusul penghitungan suara yang menunjukkan Inggris akan keluar dari Uni Eropa. Sebanyak hampir 52 persen pemilih menginginkan keluar dari Uni Eropa, sementara 48 persen lainnya masih tetap ingin berada di UE.
Cameron dalam pidatonya yang dikutip dari The Guardian mengaku bangga atas kinerjanya sebagai pemimpin Inggris.

Dia telah membentuk koalisi pemerintahan, mengadakan referendum Skotlandia dan referendum Brexit. Cameron sendiri adalah pendukung Inggris tetap berada di UE.

"Saya memperjuangkan referendum dengan kepala dan hati," kata Cameron.

Namun dia mengatakan, rakyat Inggris telah membuat keputusan. "Rakyat Inggris telah memutuskan mengikuti jalan lain, jadi mereka perlu perdana menteri baru," ujar Cameron.

Cameron mengatakan perdana menteri baru akan segera menjabat saat konferensi Partai Konservatif. Perdana menteri yang baru nanti, kata Cameron, yang nanti akan memutuskan soal negosiasi ulang UE yang dimuat dalam Traktat 50.

Traktat 50 adalah perjanjian keluar dari Uni Eropa yang akan memakan waktu hingga dua tahun. Selama itu, akan dilakukan berbagai perundingan untuk transisi.

Selama belum ada PM terpilih baru, Cameron menyatakan tetap meyakinkan pasar dan investor bahwa perekonomian mereka masih kuat. Dia juga meyakinkan warga Inggris di luar negeri dan warga Uni Eropa di Inggris bahwa tidak akan ada perubahan dalam waktu dekat.

Boris Johnson, tokoh Partai Konservatif pendukung Brexit disinyalir merupakan tokoh kuat pengganti Cameron. Namun hal ini masih harus ditentukan dalam rapat Partai Konservatif. Jika ada dua calon, maka akan ditentukan melalui pemungutan suara.




Credit  CNN Indonesia