Rabu, 03 Desember 2014

Bersama Perangi Pencurian Ikan


CB - Tekad pemerintah memberantas pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Nusantara bukan perkara mudah. Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagai lembaga yang secara teknis menjadi ujung tombak, memiliki banyak keterbatasan, terutama untuk menindak tegas kapal asing pencuri ikan.
Untuk itu, instansi penegak hukum dan pengamanan, yakni Polri dan TNI AL, harus mendukung upaya pemberantasan pencurian ikan. Ego sektoral harus dilepaskan demi menyelamatkan potensi ekonomi yang sangat melimpah dari sektor kelautan, sekaligus mewujudkan visi Presiden Joko Widodo yang menempatkan laut sebagai masa depan bangsa.
Persoalan utama untuk menegakkan hukum serta kedaulatan politik dan ekonomi di laut adalah minimnya dukungan armada kelautan. Besarnya biaya operasional, membuat kinerja Polri dan TNI AL menjadi tidak maksimal. Untuk kebutuhan BBM saja, Polisi Air (Polair) memerlukan anggaran sekitar Rp 2,5 triliun per tahun. Belum lagi keperluan logistik untuk personel, modernisasi kapal patroli, dan perawatan armada kapal. Akibat keterbatasan anggaran, dari 1.005 kapal patroli yang dimiliki Polair, selama ini hanya sekitar 689 kapal yang dapat dioperasikan, itu pun tidak maksimal karena keterbatasan BBM.
Hal serupa juga dialami TNI AL sebagai ujung tombak menjaga kedaulatan politik dan ekonomi di wilayah laut. Kebutuhan BBM kapal-kapal TNI AL agar bisa beroperasi maksimal mencapai 5,6 juta kiloliter per tahun. Namun, karena keterbatasan anggaran, pemerintah hanya mampu mengalokasikan sekitar 13 persen dari kebutuhan itu, atau sekitar 720.000 kiloliter. Akibatnya, TNI AL hanya mampu mengoperasikan 7-15 kapal per hari, untuk berpatroli menjaga wilayah laut nasional.
Kondisi tersebut tentu sangat jauh dari ideal untuk mengamankan wilayah perairan nasional seluas 3,2 juta kilometer persegi, dengan garis pantai mencapai panjang 95.181 kilometer. Belum lagi kewajiban untuk memantau pergerakan dan aktivitas kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi laut nasional. Saat ini saja pemerintah telah mengeluarkan 630.000 izin kapal ikan berbobot di bawah 30 gros ton (GT), dan sekitar 5.300 izin kapan ikan besar berbobot di atas 30 GT.
Dengan data itu, sedikitnya ada 635.000 kapal ikan yang memiliki izin untuk menangkap ikan. Di luar jumlah itu, kita yakin masih banyak kapal ilegal yang beroperasi mencari ikan di perairan nasional. Jika kita membandingkan dengan kekuatan armada kapal Polair dan TNI AL, jelas jumlahnya tidak seimbang.
Wilayah perairan nasional selama ini menjadi habitat paling ideal bagi satwa dan biota laut untuk hidup dan berkembang biak, seperti ikan, terumbu karang, lobster, rumput laut, dan lainnya. Tak mengherankan jika potensi kelautan kita, terutama perikanan, sangat melimpah, dan diperkirakan mencapai Rp 3.000 triliun per tahun. Namun, penegakan hukum dan pengamanan wilayah laut yang masih kurang memadai, membuat praktik pencurian ikan merajalela. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, dalam setahun rata-rata ada 100 kapal ikan asing yang ditangkap, baik karena mencuri ikan maupun izinnya tidak lengkap. Bahkan, hingga Oktober tahun ini, sudah ada 115 kapal yang ditangkap.
Praktik tersebut jelas membawa kerugian besar bagi perekonomian nasional. Kementerian Kelautan dan Perikanan memperkirakan, kerugian akibat pencurian ikan mencapai sedikitnya US$ 12,5 miliar (sekitar Rp 150 triliun) per tahun. Jumlah kerugian lebih besar dilaporkan Organisasi Pangan Dunia (FAO), yang menyebutkan Indonesia merugi hingga Rp 300 triliun per tahun. Nilai sebesar itu mencakup kerugian langsung akibat kehilangan ikan, hilangnya potensi penerimaan pajak, serta hilangnya potensi nilai tambah jika ikan-ikan yang ditangkap tersebut diolah di dalam negeri untuk selanjutnya diekspor.
Data tersebut membuktikan betapa pencurian ikan di perairan nasional sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan dan sudah saatnya diakhiri. Selain kerja sama instansi terkait, dukungan anggaran menjadi hal pokok yang harus disiapkan pemerintah.
Kita mendorong agar dengan kekuatan armada yang ada saat ini diintensifkan untuk mengamankan wilayah laut dari pencurian ikan, sehingga akan ada tambahan pemasukan dari sektor perikanan. Jika dari perkiraan kerugian sebesar US$ 12,5 miliar per tahun, armada laut kita bisa mengamankan 10 persen saja, maka akan ada pemasukan sekitar US$ 1,25 miliar atau sekitar Rp 15 triliun per tahun. Jumlah itu cukup untuk menambah anggaran penguatan armada Polair, TNI AL, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dengan demikian, pada tahun berikutnya pemberantasan pencurian ikan bisa lebih ditingkatkan, dan penerimaan negara bertambah. Hal demikian berlanjut terus hingga pencurian ikan sepenuhnya bisa kita berantas, dan penerimaan dari sektor perikanan menjadi optimal. Hanya dengan langkah bersama seperti ini, masa depan anak cucu kita di sektor kelautan akan menjadi kenyataan.

Credit BeritaSatu.Com