Kamis, 07 September 2017

Siapakah Tentara Pembebasan Rohingya Arakan?


ARSA
Pasukan keamanan di Myanmar telah menjadi target serangan kelompok pemberontak

Lebih dari 140.000 warga Rohingya telah meninggalkan rumah mereka sejak 25 Agustus. Mereka berusaha melarikan diri dari kekerasan, menyusul serangan balik militer terhadap kelompok milisi Rohingya yang menyerang pos polisi.
Kelompok bernama Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) itu mengaku bertindak atas nama warga Rohingya - namun siapa sebenarnya mereka?

Siapakah ARSA?
Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA) beroperasi di Negara Bagian Rakhine di Myanmar utara, tempat mayoritas-Muslim Rohingya menghadapi persekusi. Pemerintah Myanmar menolak memberikan mereka kewarganegaraan dan memandang mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.
Bentrokan terjadi secara berkala di antara kelompok-kelompok etnik, namun tahun lalu sebuah kelompok pemberontak bersenjata Rohingya berkembang. ARSA, yang sebelumnya dikenal dengan nama lain termasuk Harakah al-Yaqin, telah membunuh lebih dari 20 petugas polisi dan anggota pasukan keamanan.
Pada 25 Agustus, kelompok itu menyerang pos-pos polisi di Negara Bagian Rakhine, membunuh 12 orang dalam serangan terbesar mereka hingga saat ini. Hasilnya, memicu sebuah serangan balik dari aparat keamanan.
Pemerintah menyebut kelompok ini sebagai organisasi teroris dan mengatakan pemimpin-pemimpinnya telah dilatih di luar negeri.
Kelompok Krisis Internasional (International Crisis Group, ICG) juga mengatakan bahwa para anggota ARSA telah dilatih di luar negeri.
Pemimpinnya adalah Attaullah Abu Ammar Jununi, lahir dari orang tua Rohingya di Karachi, Pakistan, dan dibesarkan di Mekah, Arab Saudi.
Meski begitu, seorang juru bicara kelompok ini membantah hal ini dan mengatakan ke Asia Times bahwa kelompok ini tidak ada hubungannya dengan kelompok jihad dan hanya berjuang untuk orang Rohingya agar diakui sebagai sebuah kelompok etnik.

Jenis senjata apa yang mereka miliki?

Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa serangan pada 25 Agustus dilakukan dengan pisau dan bom molotov.

Senjata mereka tampaknya kebanyakan dibuat sendiri namun laporan ICG menyiratkan bahwa mereka tidak sepenuhnya amatir dan menunjukkan beberapa bukti bahwa mereka dibantu oleh beberapa veteran dari konflik lain, termasuk orang-orang dari Afghanistan.
Kapan ARSA berdiri?
Juru bicara ARSA yang berbicara ke Asia Times mengatakan bahwa ARSA telah melatih orang sejak 2013. Namun serangan pertama mereka adalah pada Oktober 2016, saat mereka membunuh sembilan petugas polisi.

Apakah misi mereka?

ARSA mengatakan kelompok itu bertujuan untuk "membela, menyelamatkan dan melindungi" kelompok Rohingya dari penindasan negara. Aksi pembelaan itu "sejalan dengan prinsip pertahanan diri".
ARSA juga menolak label teroris dengan mengatakan bahwa kelompok itu tidak menyerang penduduk sipil. Meski begitu, ada beberapa laporan bahwa kelompok itu membunuh informan saat melatih anggotanya.

ICG mengatakan anggota ARSA adalah laki-laki muda Rohingya yang marah terhadap respons pemerintah Myanmar saat kerusuhan yang mematikan pada 2012.
Anak-anak muda yang berusaha meninggalkan area itu dulunya bisa melakukannya dengan menggunakan kapal ke Malaysia, namun Angkatan Laut Malaysia memblokir rute itu pada 2015. Hal ini menyebabkan ribuan orang terdampar di laut dan, kata ICG, yang lain mempertimbangkan untuk melakukan kekerasan.
Dalam kondisi kemiskinan ekstrem, tanpa kewarganegaraan dan pembatasan pada pergerakan orang Rohingya, ARSA beraksi. Konsekuensinya, aparat keamanan membalas kekerasan dengan kekerasan.
Sebuah laporan PBB pada Februari mendeskripsikan "kekejaman yang menghancurkan" dari para prajurit yang telah memukuli, memperkosa dan membunuh orang-orang sejak wilayah Rakhine ditutup setelah serangan Oktober 2016.
Pelapor khusus PBB mengenai situai HAM di Myanmar telah mengatakan bahwa skala penghancuran saat ini "jauh melebihi" tahun lalu.

ARSA
Banyak yang meninggalkan Myanmar dengan berjalan kaki sejak kekerasan

Apa efek dari serangan balasan sejauh ini?
Serangan ke pasukan keamanan telah memicu kekerasan dari pihak militer, yang mengatakan bahwa mereka berjuang melawan militan yang menyerang penduduk sipil.
Lebih dari 100.000 orang Rohingya telah meninggalkan desa mereka dan menyeberang perbatasan ke Bangladesh, tempat kamp-kamp pengungsian terisi penuh.
Banyak dari mereka mengatakan militer dibantu biksu Buddha, telah meratakan desa-desa dan membunuh warga sipil. Pemerintah mengatakan kelompok Buddha dan Hindu juga telah meninggalkan daerah itu akibat kekerasan yang ada.
Akses media ke Rakhine, tempat terjadinya kekerasan, sangat terbatas, membuat sulit untuk memverifikasi situasi di lapangan.

ARSA

Kekerasan terkonsentrasi di area Rakhine.

Para aktivis dan politikus di seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan mereka atas situasi pengungsi ini, dari kekurangan tempat bernaung, air dan makanan. Ada laporan anak-anak terluka akibat ranjau darat saat mereka berusaha meninggalkan negara itu.

Seorang perwakilan PBB, dan penerima Nobel Perdamaian Malala Yousafzai, meminta pemimpin de facto Myanmar, Aun Sang Suu Kyi, untuk menghentikan kekerasan yang ada. Suu Kyi sebelumnya mengatakan bahwa ada "banyak kekerasan" di area itu namun pembersihan etnik adalah "terminologi yang terlalu kuat" untuk digunakan.



Credit  bbc.com