Selasa, 09 Mei 2017

Macron si wajah baru Prancis, pemimpin termuda setelah Napoleon


Macron si wajah baru Prancis, pemimpin termuda setelah Napoleon
Presiden terpilih Prancis Emmanuel Macron dan istrinya Brigitte Trogneux merayakan di atas panggung di reli kemenangannya di dekat Louvre di Paris, Prancis, Minggu (7/5/2017). (REUTERS/Benoit Tessier )


Paris (CB) - Emmanuel Macron terpilih sebagai presiden Prancis, Minggu waktu setempat, setelah mengalahkan Marine Le Pen, nasionalis kanan ekstrem yang mengancam mengeluarkan Prancis dari Uni Eropa.

Macron menjadi pemimpin paling muda di Prancis sejak era Napoleon Bonaparte. Bankir investasi berusia 39 tahun itu pernah dua tahun menjadi menteri luar negeri Presiden Francois Hollande.

Kemenangan Macron memenuhi dahaga lama rakyat Prancis kepada hadirnya perubahan generasi pemimpin dalam politik Prancis yang selama bertahun-tahun terus-terusan diisi wajah-wajah lama.

Dia akan menjadi pemimpin paling muda di antara para pemimpin Kelompok G7. Dia disandingkan dengan pemimpin muda Barat baik di masa lalu maupun sekarang, mulai PM Kanada Justin Trudeau sampai mantan PM Inggris Tony Blair dan bahkan mendiang presiden Amerika Serikat John F. Kennedy.




Namun kemenangan 66 persen suara atas Marine Le Pen yang hanya 34 persen, diselimuti oleh tingginya angka golput yang mencapai 25 persen yang merupakan paling tinggi dalam seabad ini. Itu ditambah dengan 11 persen kotak suara hilang atau rusak selama Pilpres kemarin.

Kebanyakan dari yang abstain itu para pendukung pemimpin kubu kiri ekstrem Jean-Luc Melenchon yang berpandangan mirip dengan Le Pen karena sama-sama anti Uni Eropa dan anti globalisasi.

Melenchon hanya meraih 19 persen pada Pilpres putaran pertama, dan dia menolak mengalihkan dukungan kepada Macron yang bersama Le Pen maju ke putaran kedua.

Serikat buruh terbesar di Prancis, CFDT, menyambut kemenangan Macron namun menggarisbawahi masih tingginya suara Front Nasional pimpinan Le Pen.

Sementara itu Le Pen akan bekerja keras mengonversikan suara hasil Pilpres di parlemen dengan kian menjauhkan kaitan dengan xenofobia seperti diadopsi ayahnya, Jean Marie Le Pen. Wakilnya, Florian Philippot bahkan menyatakan tidak lagi akan menggunakan sebutan Front Nasional, demikian Reuters.





Credit  antaranews.com



Macron, Presiden Termuda Prancis dan 6 Fakta Mengejutkan


Macron, Presiden Termuda Prancis dan 6 Fakta Mengejutkan
Emmanuel Macron, 39, presiden terpilih Prancis. Dia menang pilpres putaran kedua setelah kalahkan rivalnya, Marine Le Pen. Foto/REUTERS/Philippe Wojazer


PARIS - Emmanuel Macron memenangkan pemilihan presiden (pilpres) Prancis putaran kedua yang digelar hari Minggu (7/5/2017). Macron mengalahkan rivalnya, Marine Le Pen, dengan perbandingan perolehan suara sekitar 65%-34%.

Macron bukan presiden terpilih Prancis yang biasa. Dia maju sebagai calon presiden secara independen dan hanya butuh persiapan setahun. Sosoknya juga unik, di mana dia beristrikan mantan guru SMA-nya sendiri yang terpaut 25 tahun lebih tua.

SINDOnews pada Senin (8/5/2017), merangkum enam fakta mengejutkan tentang sosok Macron. Berikut ulasannya.

1. Presiden Termuda PrancisMacron saat ini berusia 39 tahun. Dengan kemenangan pilpres ini, dia menjadi kepala negara termuda Prancis sejak Napoleon Bonaparte. Rivalnya, Marine Le Pen, berusia 48 tahun.

2. Nikahi Guru SMA-nya, 25 Tahun Lebih TuaIstri Macron adalah Brigitte Trogneux, perempuan yang jadi guru SMA-nya. Trogneux berusia 64 tahun atau 25 tahun lebih tua dari Macron.

Hubungan asmara terjalin sejak Macron jadi siswa didiknya, yang saat itu masih berusia 16 tahun. Orangtua Macron sempat melarang hubungan asmara tak wajar ini. Terlebih, Trogneux saat itu berstatus istri orang. Namun, pasangan ini bersatu setelah Macron menyelesaikan studi sarjananya dan Trogeneux bercerai dengan suami sebelumnya.

3. Dari Politisi Sosialis ke Capres IndependenMacron sebelumnya adalah politisi Partai Sosialis dari tahun 2006 sampai 2009. Di Prancis, dua partai politik utama adalah partai Republik (sayap kanan) dan Partai Sosialis (sayap kiri). Presiden Prancis saat inni, Francois Hollande, adalah anggota Partai Sosialis.

Namun, dari tahun 2009 sampai 2016, Macron tidak mengasosiasikan dirinya dengan Partai Sosialis lagi. Dia menyatakan diri sebagai seorang yang independen.

Ketika dia mengumumkan tawarannya untuk menuju kursi kepresidenan Prancis, Macron membentuk gerakan politiknya sendiri yang disebut ”En Marche!”. Dalam bahasa Inggris artinya "Teruskan!". Macron telah menggambarkan organisasinya ini sebagai partisan, menggabungkan unsur-unsur baik dari sayap kiri maupun sayap kanan.

Rivalnya, Marine Le Pen diusung oleh Front Nationale, sebuah partai sayap kanan. Semula, banyak tokoh Eropa yang khawatir jika Le Pen menang pilpres. Sebab, dia bersumpah akan membuat Prancis hengkang dari Uni Eropa.

4. Nyapres Hanya Persiapan SetahunFakta mengejutkan dari dunia politik Macron adalah persiapannya maju sebagai calon presiden (capres) yang hanya butuh waktu setahun. Gerakan independen En Marche! dibentuk Macron tahun 2016 atau setelah dia hengkang dari Partai Sosialias. Tahun 2017, politisi muda ini resmi maju sebagai capres dan kini menang mutlak atas Le Pen.

Macron dikenal dekat dengan Barack Obama dan Hillary Clinton dari mantan presiden dan mantan capres Amerika Serikat (AS). Obama bahkan beberapa hari lalu menyuarakan dukungan untuk Macron.

Sedangkan Le Pen kerap disamakan dengan Donald Trump, presiden AS saat ini. Anggapan ini tak lepas dari kebijakan politik Le Pen yang anti-imigran dan kebijakan keras terhadap komunitas Muslim. 


5. Macron Sosok Pro Uni EropaEmmanuel Macron  adalah politisi pro Uni Eropa. Dia mengatakan, bahwa dia ingin membuat beberapa perubahan sehingga Uni Eropa dapat dibuat lebih kuat.

”Saya mengusulkan untuk mengembalikan kredibilitas Prancis di mata Jerman, untuk meyakinkan Berlin dalam enam bulan ke depan untuk mengadopsi kebijakan investasi yang aktif dan bergerak menuju solidaritas yang lebih besar di Eropa,” kata Macron, yang dikutip Express.

Sebaliknya, sang rival, Marine Le Pen telah berjanji untuk menarik Prancis dari Uni Eropa seperti yang dilakukan Inggris pada 2016 dengan gerakan Brexit (British Exit).

”Orang Prancis telah kehilangan patriotisme mereka,” kata Le Pen dalam sebuah pidato yang dikutip The Guardian. ”Mereka menderita dalam diam karena tidak diizinkan untuk mencintai negara mereka. Perpecahan tidak lagi antara kiri dan kanan, tapi antara patriot dan globalis.”

6. Pro Imigran, Membela Komunitas MuslimPada topik imigrasi, Emmanuel Macron cenderung pro-imigran. Dia memilih menolak menutup perbatasan Prancis dari “serbuan” para imigran dan pengungsi.”Keamanan akan tidak lebih baik dilayani dengan menutup perbatasan nasional,” ujarnya.

Menurutnya, kontrol terhadap migrasi seharusnya tidak ditangani di tingkat nasional. Selain itu, Macron juga membela komunitas Muslim yang mengalami perlakuan tidak adil di Eropa.

"Tidak ada agama yang menjadi masalah di Prancis hari ini,” kata Macron dalam sebuah demonstrasi di bulan Oktober 2016. ”Jika negara bersikap netral, yang merupakan inti sekularisme, kita memiliki kewajiban untuk membiarkan semua orang mempraktikkan agama mereka dengan harga diri.”

Sebaliknya, Marine Le Pen justru telah berjanji untuk bersikap sangat keras terhadap imigran. Dia bersumpah akan mempertahankan “Prancis Prancis”, sebuah retorika kampanye yang mirip dengan retorika Donald Trump saat kampanye pilpres AS.

Le Pen juga berbicara negatif tentang Muslim dan mengatakan bahwa dia ingin melarang semua simbol keagamaan di tempat umum, termasuk burqa.




Credit sindonews.com