Selasa, 04 April 2017

Rusia pastikan ledakan St Petersburg sebagai serangan teroris



Rusia pastikan ledakan St Petersburg sebagai serangan teroris
Paramedis mengungsikan korban luka akibat ledakan diduga bom di stasiun metro St Petersburg, Rusia, yang disebut-sebut menewaskan paling sedikit sepuluh orang pada 3 April 2017. (Reuters)


Moskow (CB) - Komisi Penyelidikan Rusia (IC) menengarai ledakan di kereta api bawah tanah St. Petersburg sebagai serangan teroris. Pada saat bersamaan, para penyidik tidak mengecualikan faktor selain terorisme, kata juru bicara IC Svetlana Petrenko kepada kantor berita TASS.

"Penyelidikan kriminal dibuka di bawah Pasal 205 Kitab UU Hukum Pidana (UU Terorisme), tetapi para penyidik juga akan menyelidiki bersama hari penyelidikan lainnya," kata dia.

Para penyidik kini menyelidiki semua kemungkinan dari ledakan. Kepala IC Aleksandr Bastrykin telah menerjunkan departemen penyelidikan khusus IC untuk menyelidiki kemungkinan serangan teror.

"Dari temuan awal, sebuah alat peledak khusus diledakkan di sebuah kereta di antara Stasiun Tekhnologichesky Institut dan Stasiun Sennaya Ploshchad sekitar pukul 14:40 waktu Moskow. Ada beberapa korban. Sebuah tim beranggotakan para penyidik berpengalaman dan para spesialis forensik dari kantor pusat IC telah diterjunkan ke St. Petersburg," kata Petrenko.

Para spesialis ini sudah lebih dulu berada di tempat kejadian perkara. Semua bagian dari bukti material penting tengah dikumpulkan, para saksi dan pekerja metro telah ditanyai, dan sejumlah korban telah diidentifikasi.

Temuan awal menunjukkan masinis telah benar menjalankan keretanya.

"Ledakan terjadi di antara kedua stasiun itu. Masinis sudah mengambil keputusan tepat untuk tidak menghentikan kereta, namun lanjut ke stasiun selanjutnya, yang memungkinkan secepatnya dilakukan evakuasi dan pemberian bantuan kepada yang terluka. Langkah ini membantu mencegah timbul korban lebih banyak lagi," kata Petrenko.

Pemerintahan St. Petersburg telah mengumumkan masa berkabung tiga hari mulai Selasa esok, tulis juru bicara gubernur St. Petersburg  Andrey Kibitov dalam Twitter.

Menyusul insiden di St. Petersburg ini pengamanan di kota Moskow diperketat, demikian kantor berita TASS.



Credit  antaranews.com



Pelaku pengeboman St Petersburg diduga berasal dari Asia tengah

 
Pelaku pengeboman St Petersburg diduga berasal dari Asia tengah
Petugas bantuan bencana terlihat sibuk dekat sebuah stasiun kereta api bawah tanah di St Petersburg, Rusia, menyusul ledakan di stasiuh ini yang diperkirakan menewaskan paling sedikit 10 orang (TASS)


Moskow (CB) - Ledakan mematikan di stasiun kota St Petersburg, Rusia, pada Senin waktu setempat disebabkan oleh seorang pelaku bom bunuh diri, kata pejabat hukum setempat kepada kantor berita Interfax.

Informasi awal menunjukkan bahwa pihak keamanan telah mengetahui identitas pelaku bom bunuh diduga yang adalah orang berusia 23 tahun dari negara kawasan Asia tengah. Pelaku dikabarkan membawa alat peledak ke lokasi kejadian dengan tas ransel.

Mengutip sumber yang sama, Interfax mengabarkan bahwa sang terduga pelaku punya hubungan dekat dengan kelompok ekstremis Islam yang sudah dilarang beraktivitas di Rusia.

Sumber itu mengatakan bahwa potongan mayat yang ditemukan di lokasi mengindikasikan adanya serangan bunuh diri. Namun demikian, pihak keamanan masih menunggu hasil tes DNA untuk memastikan kebenaran dugaan tersebut.

Bom di stasiun kota tersebut hingga kini telah menewaskan 11 orang dan melukai 40an orang lainnya, demikian Interfax memberitakan, seperti dikutip Reuters.

Seorang pria yang tertangkap kamera pengintaian dan dicurigai terlibat dalam serangan, kini sudah menyerahkan diri secara sukarela kepada polisi dan mengaku tidak tahu apapun mengenai kejadian pada Senin tersebut, tulis Interfax.

Sementara itu secara terpisah, sejumlah kantor berita Rusia melaporkan bahwa Presiden Vladimir Putin telah bertemu dengan badan-badan keamanan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai serangan di St Petersburg. Dia juga sempat menaruh karangan bunga di stasiun tempat terjadinya ledakan.




Credit  antaranews.com