Para pendukung Presiden Turki, Recep Tayyep Erdogan, merayakan kemenangan referendum di Istanbul. Foto/Istimewa
ANKARA
- Hasil tidak resmi referendum menunjukkan bahwa rakyat Turki
menyetujui perubahan konstitusi. Dengan begitu, Presiden Recep Tayyep
Erdogan mempunyai kekuatan yang cukup besar karena sistem pemerintahan
Turki telah berubah dari parlementer menjadi presidensial.
"Para pendukung perubahan memenangkan 1,25 juta suara lebih dari mereka yang menolak dengan hanya sekitar 600 ribu orang yang masih dihitung. Itu berarti perubahan telah disetujui," kata Kepala Dewan Tinggi Pemilu negara (YSK), Sadi Guven, pada konferensi pers di Ankara seperti dikutip dari Reuters, Senin (17/4/2017).
Guven mengatakan YSK telah memutuskan untuk mempertimbangkan surat suara yang tidak dicap sebagai suara sah kecuali mereka terbukti penipuan. Ini dilakukan setelah tingginya jumlah pengaduan, salah satunya termasuk dari partai penguasa AKP, di mana pejabat YSK gagal memberikan cap terhadap beberapa surat suara.
Pernyataan pihak YSK ini menimbulkan protes dari kelompok penentang. Mereka menyatakan keputusan di menit terakhir menimbulkan pertanyaan tentang validitas suara. Namun Guven mengatakan keputusan itu diambil sebelum hasil referendum dimasukkan ke dalam sistem. Selain itu, anggota partai AKP dan oposisi utama telah hadir di semua TPS dan menandatangani laporan.
Guven mengatakan bahwa hasil resmi dari referendum sendiri diperkirakan akan keluar 11-12 hari mendatang.
Turki menggelar referendum untuk mengamandemen konstitusi yang berujung pada berubahnya sistem parlementer menjadi presidensial. Selain itu, berdasarkan perubahan ini jumlah kursi di Parlemen akan dinaikkan dari 550 kursi menjadi 600, persyaratan usia untuk maju sebagai calon dalam pemilihan Parlemen akan diturunkan dari awal 25 tahun menjadi 18 tahun, pihak berwenang dari Dewan Humum Yudisial akan berubah, dan sejumlah perubahan lain-lain
Dari tiga partai besar di Turki, dua diantaranya yakni Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) mendukung penuh referendum ini. Sedangkan Partai Republik Rakyat (CHP) menentang.
Sejumlah pengamat menilai, perubahan sistem pemerintahan ini akan memberikan Presiden kekuasaan untuk mengeluarkan dekrit, menyatakan keadaan darurat, menunjuk menteri dan pejabat negara, serta membubarkan parlemen. Kritik pun meluncur dengan mengatakan keberhasilan referendum akan menghapuskan sistem checks and balances negara.
"Para pendukung perubahan memenangkan 1,25 juta suara lebih dari mereka yang menolak dengan hanya sekitar 600 ribu orang yang masih dihitung. Itu berarti perubahan telah disetujui," kata Kepala Dewan Tinggi Pemilu negara (YSK), Sadi Guven, pada konferensi pers di Ankara seperti dikutip dari Reuters, Senin (17/4/2017).
Guven mengatakan YSK telah memutuskan untuk mempertimbangkan surat suara yang tidak dicap sebagai suara sah kecuali mereka terbukti penipuan. Ini dilakukan setelah tingginya jumlah pengaduan, salah satunya termasuk dari partai penguasa AKP, di mana pejabat YSK gagal memberikan cap terhadap beberapa surat suara.
Pernyataan pihak YSK ini menimbulkan protes dari kelompok penentang. Mereka menyatakan keputusan di menit terakhir menimbulkan pertanyaan tentang validitas suara. Namun Guven mengatakan keputusan itu diambil sebelum hasil referendum dimasukkan ke dalam sistem. Selain itu, anggota partai AKP dan oposisi utama telah hadir di semua TPS dan menandatangani laporan.
Guven mengatakan bahwa hasil resmi dari referendum sendiri diperkirakan akan keluar 11-12 hari mendatang.
Turki menggelar referendum untuk mengamandemen konstitusi yang berujung pada berubahnya sistem parlementer menjadi presidensial. Selain itu, berdasarkan perubahan ini jumlah kursi di Parlemen akan dinaikkan dari 550 kursi menjadi 600, persyaratan usia untuk maju sebagai calon dalam pemilihan Parlemen akan diturunkan dari awal 25 tahun menjadi 18 tahun, pihak berwenang dari Dewan Humum Yudisial akan berubah, dan sejumlah perubahan lain-lain
Dari tiga partai besar di Turki, dua diantaranya yakni Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Partai Gerakan Nasionalis (MHP) mendukung penuh referendum ini. Sedangkan Partai Republik Rakyat (CHP) menentang.
Sejumlah pengamat menilai, perubahan sistem pemerintahan ini akan memberikan Presiden kekuasaan untuk mengeluarkan dekrit, menyatakan keadaan darurat, menunjuk menteri dan pejabat negara, serta membubarkan parlemen. Kritik pun meluncur dengan mengatakan keberhasilan referendum akan menghapuskan sistem checks and balances negara.
Credit sindonews.com