Upaya untuk
menciptakan hewan dengan organ manusia punya sejarah panjang — dan kini
menjadi kenyataan. Apakah sains melangkah terlalu jauh?
Pada buku The Island of Doctor Moreau
karyaHG Wells, tokoh Edward Pendrick yang terdampar karena kapalnya
hancur berjalan melalui hutan. Suatu saat dia bertemu dua pria dan
seorang perempuan yang berjongkok di sekitar pohon yang roboh.Mereka telanjang, hanya ada kain gombal yang terikat di pinggangnya dengan "muka yang gendut, berat, tanpa dagu, dahi yang mundur, dan rambut yang jarang-jarang di kepala mereka." Pendrick mencatat bahwa dia "tak pernah melihat makhluk yang seperti hewan" seperti itu.
Saat Pendrick mendekat, mereka berusaha berbicara dengannya, namun bicara mereka "tebal dan jorok" dan kepala mereka berayun-ayun saat bicara, "mengulang kata-kata kosong yang rumit".
Terlepas dari baju dan penampilan mereka, menurut Pendrick mereka "memberikan kesan tak tertahankan seperti babi" dalam perilakunya. Mereka, dia menyimpulkan, adalah "manusia gagal yang buruk rupa".
Namun terlepas dari upaya terbaik yang dia lakukan untuk menghapus insting hewan yang mendasar, kelompok yang rapuh itu kemudian mundur menuju anarkisme yang berbahaya, dan menyebabkan kematian Moreau.
'Separuh hewan, separuh manusia'
Sudah 120 tahun berlalu sejak Wells menerbitkan novel pertamanya, dan dengan membaca beberapa tajuk utama, Anda akan berpikir bahwa kita sudah semakin dekat ke visi distopia ini. "Ilmuwan Frankenstein mengembangkan khimaira separuh manusia, separuh hewan," klaim Daily Mirror terbitan Inggris pada Mei 2016."Ilmuwan ingin memecah batasan antara manusia dan hewan," sebut Washington Times, dua bulan kemudian, mengkhawatirkan kemungkinan munculnya hewan yang bisa berpikir dan merasa.
Harapannya adalah untuk menanamkan sel punca manusia di embrio hewan agar tumbuh menjadi organ manusia spesifik. Secara teori, pendekatan ini memberikan penggantian yang selalu tersedia bagi jantung atau liver yang sakit — sehingga orang tak harus mengantre donor manusia dan mengurangi risiko penolakan tubuh terhadap organ donor.
Rencana yang berani dan kontroversial ini adalah puncak dari penelitian selama tiga dekade. Eksperimen ini membantu kita memahami berbagai misteri kehidupan, mengaburkan batasan antara spesies, dan menjelajahi kemungkinan sekumpulan sel yang acak di janin menyatu menjadi makhluk yang tumbuh dan hidup.
Dengan rencana baru untuk mendanai proyek tersebut, kita kini berada di titik kritis penelitian tersebut.
"Semuanya bergerak begitu cepat di bidang ini sekarang," kata Janet Rossant di Rumah Sakit Anak di Toronto, dan salah satu pionir penelitian awal khimaira. "Ini akan membuka pemahaman baru dari biologi."
Tentu saja, ini setelah kita menyelesaikan beberapa isu etis — pertanyaan ini mengubah pemahaman kita akan apa artinya menjadi manusia.
Selama beberapa millennia, khimaira adalah legenda. Istilah ini muncul dari mitologi Yunani, dan Homer menggambarkan hibrida unik sebagai "buatan abadi, bukan manusia, dengan bagian depan singa dan ular di belakangnya, kambing di tengah".
Makhluk ini mengembuskan api saat berkeliling Lycia di Asia Minor.
Kenyataannya, khimaira di dunia ilmiah tak sehebat itu. Kata ini menggambarkan makhluk yang menggabungkan beberapa jaringan yang secara gen berbeda. Ini muncul secara alami, jika embrio kembar bergabung segera setelah pembuahan, dengan hasil yang mengejutkan.
Pertimbangkan "bilateral gynandromorphs", satu bagian tubuh adalah perempuan, dan sebelahnya lagi perempuan.
Hewan-hewan ini sebenarnya adalah kembar non-identik yang menyatu di bagian tengah. Jika dua jenis kelamin punya penandaan yang berbeda — seperti pada banyak burung dan serangga — hal ini bisa memunculkan penampilan yang aneh, seperti burung kardinal utara yang mendapat bulu merah di separuh badannya, dan separuh lainnya abu-abu.
Namun, yang lebih sering terjadi, campuran antara sel tersebut membentuk mosaik yang halus di seluruh tubuh dan khimaira terlihat dan bertingkah seperti individu lain dalam spesies itu.
Hewan campuran dari legenda Yunani Kuno tentu tak bisa ditemukan di dunia nyata, namun ini tak menghentikan ilmuwan untuk berusaha menciptakan khimaira hibrida di laboratorium.
Janet Rossant, yang saat itu berada di Brock University, Kanada, adalah salah satu yang pertama sukses.
Pada 1980, dia menerbitkan laporan ilmiah di jurnal Science yang mengumumkan khimaira yang mencampurkan dua spesies tikus: tikus laboratorium albino (Mus musculus) dan tikus Ryukyu (Mus caroli), spesies liar dari Asia Timur.
Upaya sebelumnya untuk menghasilkan hibrida khimaira "interspesifik" kerap berujung pada kekecewaan. Embrio gagal untuk menempel di uterus, dan yang berhasil menempel kadang cacat atau tak berkembang, dan biasanya gugur sebelum bisa lahir sempurna.
Teknik Rossant melibatkan operasi yang hati-hati di titik kritis pada kehamilan, sekitar empat hari setelah kawin.
Pada poin ini, telur yang dibuahi sudah terbagi menjadi kumpulan sel kecil yang disebut blastocyst. Kumpulan ini berisi massa sel dalam yang dikelilingi oleh lapisan pelindung bernama trophoblast, yang kemudian akan membentuk plasenta.
Bekerja dengan William Frels, Rossant mengambil M. musculus dan menyuntikkannya dengan sel massa dalam dari spesies lain, M. carolis.
Selanjutnya, mereka tinggal menunggu 18 hari sampai kehamilan ini selesai.
Hasilnya, sukses: dari 48 tikus yang dilahirkan, 38 memiliki jaringan campuran dari kedua spesies. "Kami menunjukkan bahwa Anda bisa menembus batasan spesies," kata Rossant.
Campuran ini terlihat jelas dalam bulu tikus, dengan putih albino dari M. musculus bergantian dengan garis-garis jingga dari M. caroli.\
Meski suhu mereka berbeda dari orangtuanya. "Jelas bahwa ini campuran aneh," kata Rossant.
"M. caroli itu sangat suka meloncat: Anda harus menaruh mereka di dasar tempat sampah agar tidak melompat ke arah Anda, dan Anda harus memegang mereka dengan capit dan sarung tangan kulit."
Sementara M. musculus lebih tenang. "Khimaira-nya berada di tengah-tengah."
Lain spesies, lain perilaku
Dengan pemahaman ilmu saraf modern, Rossant berpendapat bahwa hal ini bisa membantu kita dalam menelusuri alasan spesies berbeda bertingkah berbeda pula."Anda bisa memetakan perbedaan perilaku di wilayah otak yang berbeda yang digunakan oleh dua spesies," katanya.
"Saya pikir ini akan menjadi sangat menarik untuk diperiksa."
Pada penelitian awalnya, Rossant menggunakan khimaira ini untuk meneliti biologi dasar kita.
Saat pemeriksaan genetik masih berada di tahap awal, perbedaan antara dua spesies bisa membantu mengidentifikasi penyebaran sel dalam tubuh, dan memungkinkan ahli biologi untuk memeriksa elemen mana pada embrio awal yang digunakan untuk menciptakan organ baru.
Mereka bisa menciptakan mutasi dalam salah satu embrio awal, tapi tidak pada yang lainnya. Dengan mengamati efeknya pada khimaira yang dihasilkan bisa membantu memisahkan berbagai fungsi gen yang berbeda di bagian tubuh yang berbeda pula.
Dengan teknik Rossant, berbagai khimaira hibrida lain pun muncul dan dilahirkan di laboratorium di seluruh dunia.
Campuran kambing-domba
Termasuk khimaira kambing-domba, yang disebut geep.Hewan ini cukup mencolok untuk dilihat, campuran dari wol dan bulu yang kasar. Time menggambarkannya sebagai "lucu-lucuan penjaga kebun binatang: kambing yang dipakaikan sweater angora."
Rossant juga menjadi penasihat berbagia proyek konservasi, yang berharap untuk menggunakan tekniknya untuk menyuntikkan embrio spesies yang hampir punah dalam janin hewan domestik. "Saya tidak yakin ini bisa sepenuhnya berjalan, namun konsep itu ada di sana."
Kini tujuannya adalah menambah manusia dalam campuran itu, proyek yang bisa memulai era baru "pengobatan regeneratif".
Selama dua dekade, dokter telah mencoba untuk menemukan cara memanen sel punca, yang berpotensi membentuk jaringan, dan mendorongnya untuk menumbuhkan organ baru di cawan petri.
Strategi ini akan berpotensi besar dalam mengganti organ yang sakit.
"Satu-satunya masalah adalah ini sangat mirip dengan sel di embrio, tidak identik," kata Juan Carlos Izpisua Belmonte di Salk Institute for Biological Studies di La Jolla, California. Sejauh ini, tidak ada yang layak untuk pencangkokan.
Izpisua Belmonte, dan beberapa ilmuwan lain sepertinya, berpikir bahwa jawabannya ada di lahan pertanian.
Tujuannya adalah menciptakan hewan khimaira yang bisa menumbuhkan organ yang bisa dipesan.
"Embriogenesis terjadi setiap hari dan embrio itu muncul sempurna 99%," kata Izpisua Belmonte. "Kita tidak tahu bagaimana melakukan ini secara in vitro, tapi hewan melakukannya dengan baik, jadi kenapa tidak membiarkan alam yang bekerja?"
Dengan memanipulasi gen tertentu, peneliti berharap bahwa mereka bisa menghilangkan organ yang disasar di tubuh utamanya, dan menciptakan kekosongan yang bisa ditempati oleh sel manusia dan tumbuh sesuai ukuran dan bentuknya.
"Hewan adalah inkubator," kata Pablo Juan Ross di University of California-Davis, yang juga meneliti kemungkinan itu.
Menumbuhkan organ
Kita sudah tahu hal ini mungkin secara teori. Pada 2010, Hiromitsu Nakauchi dari Stanford University School of Medicine dan koleganya menciptakan pankreas tikus di tubuh tikus lain menggunakan teknik serupa.Babi kini menjadi hewan inkubator yang lebih sering digunakan, karena secara anatomi, mereka mirip dengan manusia.
Jika sukses, strategi ini akan menyelesaikan banyak masalah dalam donasi organ sekarang.
"Rata-rata waktu menunggu untuk ginjal adalah tiga tahun," kata Ross. Sebagai perbandingan, organ yang dibuat dan ditumbuhkan secara khusus di dalam babi akan siap dalam lima bulan.
"Ini keuntungan lain dari menggunakan babi. Mereka tumbuh dengan cepat."
Terlepas dari pencangkokan, khimaira hewan-manusia juga bisa mengubah cara kita berburu obat-obatan.
Saat ini, banyak perawatan baru yang tampak efektif dalam uji hewan, namun memiliki efek tak terduga pada manusia. "Semua uang dan waktu itu hilang," kata Izpisua Belmonte.
Contohnya obat untuk penyakit liver. "Jika kita bisa menaruh sel manusia di dalam liver babi, maka dalam tahun pertama pengembangan obat itu, kita bisa melihat apakah obat itu berbahaya bagi manusia," katanya.
Rossant sepakat bahwa pendekatan itu bisa punya potensi besar, meski ini adalah langkah-langkah pertama dalam sebuah jalan panjang.
"Saya harus mengakui keberanian mereka dalam menjalani ini," katanya. "Bisa dilakukan, tapi saya harus bilang bahwa tantangannya serius."
Banyak dari kesulitan ini adalah hal teknis.
Kesenjangan evolusi antara manusia dan babi jauh lebih besar daripada jarak antara tikus dan tikus lab, dan ilmuwan tahu dari pengalaman mereka bahwa ini menyulitkan bagi sel donor untuk berakar.
"Anda harus menciptakan kondisi agar sel manusia bisa hidup dan bertahan," kata Izpisua Belmonte.
Agar tercapai, maka sumber dari sel punca manusia yang murni harus ditemukan, dan sel ini harus mampu berubah menjadi jaringan apapun, dan mungkin mengubah genetika tubuh utamanya agar menjadi lebih ramah.
Namun kekhawatiran etika inilah yang menunda penelitian. Pada 2015, Intitusi Kesehatan Nasional AS telah mengumumkan moratorium atas pendanaan bagi khimaira hewan-manusia.
Sejak itu, sudah diumumkan rencana untuk menghapus larangan tersebut, dengan syarat setiap eksperimen harus mendapat peninjauan tambahan sebelum pendanaan disetujui. Sementara itu,
Izpisua Belmonte telah ditawari pendanaan $2,5 juta atau Rp30 miliar lebih dengan syarat dia menggunakan sel punca monyet, bukan manusia, untuk menciptakan khimaira.
Satu kekhawatiran emosi adalah jika sel punca mencapai otak babi, maka akan menciptakan hewan yang memiliki perilaku serta kemampuan kami.
"Saya merasa ini sesuatu yang harus dipertimbangkan dan dibicarakan dengan mendalam," kata Rossant.
Pikiran manusia di dalam tubuh hewan
Toh Rossant menemukan bahwa khimaira berbagi perilaku dan sikap dari kedua spesies. Akan sangat mengerikan untuk menciptakan pikiran manusia yang terperangkap dalam tubuh hewan, mimpi buruk yang dibayangkan Wells.Para peneliti menyebut beberapa kekhawatiran yang bisa muncul. "Dengan menyuntikkan sel dalam satu tahap perkembangan embrio tertentu, kita bisa mencegah hal ini terjadi," kata Izpisua Belmonte.
Opsi lain adalah untuk memprogram sel punca dengan "gen bunuh diri" yang akan membuat mereka menghancurkan diri dalam kondisi tertentu, untuk mencegah mereka Kelahiran khimaira separuh hewan separuh manusia menempel di jaringan saraf.
Meski begitu, solusi ini belum meyakinkan Stuart Newman, ahli sel biologi di New York Medical College, AS.
Dia mengatakan dia khawatir akan arah penelitian ini sejak terciptanya geep pada 1980an. Kekhawatirannya bukan hanya soal hari ini, tapi bahwa di masa depan, khimaira akan semakin banyak mengambil karakteristik manusia.
"Hal ini menjadi semakin menarik, baik secara ilmiah maupun medis, semakin mereka menjadi manusia," kata Newman.
"Mungkin sekarang Anda bilang 'saya tidak akan membuat sesuatu yang sebagian besarnya manusia', tapi ada dorongan untuk melakukan itu…Ada semacam momentum bahwa keseluruhan upaya ini membuat Anda melangkah semakin jauh dan semakin jauh."
Andaikan ilmuwan menciptakan khimaira untuk mempelajari pengobatan baru untuk Alzheimer's.
Tim peneliti mungkin akan mendapat izin untuk menciptakan khimaira yang berisi 20% otak manusia, dan kemudian akan memutuskan bahwa 30% atau 40% akan dibutuhkan untuk memahami efek dari obat baru itu.
Badan pendanaan ilmiah akan membutuhkan target yang semakin ambisius, kata Newman. "Bukannya orang ingin menciptakan makhluk-makhluk ini…tapi hal ini akan terus berjalan, tidak ada titik berhenti yang alami."
Terlebih penting lagi, ini akan mematikan rasa kemanusiaan kita.
"Ada perubahan di budaya kita yang memungkinkan kita untuk melewati batasan ini. Ini bermain dengan ide bahwa manusia hanyalah objek materi," katanya.
Contohnya, jika ada khimaira manusia, kita tidak akan sekhawatir itu untuk memanipulasi gen kita sendiri untuk menciptakan bayi yang dirancang khusus. Newman tak sendiri dalam pandangan ini.
John Evans, seorang sosiolog di University of California San Diego, AS, mengatakan bahwa diskusi utama soal khimaira hewan-manusia fokusnya adalah pada pemahaman kognitif.
Contohnya, kita mungkin akan memutuskan tidak apa untuk memperlakukan mereka dengan cara tertentu sepanajng mereka tak memiliki pemahaman atau bahasa manusia, namun logika itu bisa terus berlanjut saat mempertimbangkan orang lain dalam spesies kita sendiri.
"Jika masyarakat berpikir bahwa manusia adalah gabungan kemampuan, maka manusia yang memiliki lebih sedikit dari kemampuan ini akan dianggap lebih sedikit nilainya," kata Evans.
Izpisua Belmonte berpikir bahwa kekhawatiran ini — terutama headline yang sensasional — terlalu awal.
Pertanyaan soal moralitas
Dan seperti disebut dalam editorial di jurnal Nature, mungkin reaksi spontan kita tak seharusnya membentuk diskusi soal moral.Ide khimaira mungkin menjijikkan bagi sebagian orang, namun penderitaan orang-orang dengan penyakit yang tak terobati juga sama jahatnya. Keputusan kita harus didasarkan lebih dari reaksi awal saja.
Apapun kesimpulan yang dicapai, kita harus sadar bahwa dampaknya bisa lebih jauh daripada ilmu yang sekarang ada.
"Bagaimana kita berbicara tentang manusia dalam perdebatan ini mungkin akan mengubah cara kita melihat diri kita sendiri," tulis Evans.
Pertanyaan akan apa artinya menjadi manusia berada di inti novel klasik Wells.
Setelah Pendrick berhasil selamat dari pulau Dokter Moreau, dia kembali ke kehidupan sunyi di pedesaan Inggris, memilih menghabiskan malam-malam sepinya melihat ke langit.
Setelah menjadi saksi bahwa batasan antar-spesies telah diterabas dengan cara yang kasar, dia tak bisa lagi bertemu manusia lain tanpa melihat sosok hewan di dalam diri kita.
"Tampaknya, saya juga adalah seorang makhluk yang tak masuk akal, tak lebih dari hewan yang tersiksa dengan kelainan di otaknya dan membuatnya berjalan sendirian, seperti domba yang terkena gid."
Credit bbc.com