Kamis, 17 November 2016

Obama Cemas Kemenangan Trump Picu Fanatisme di AS

 
Obama Cemas Kemenangan Trump Picu Fanatisme di AS  
Presiden AS Barack Obama menuturkan retorika kampanye yang selama ini digunakan Donald Trump dapat memicu perpecahan di AS (Reuters/Yuri Gripas)
 
Jakarta, CB -- Presiden Amerika Serikat Barack Obama merasa khawatir kemenangan Donald Trump pada pemilu 8 November lalu membangkitkan rasa fanatisme dan nasionalisme yang berlebihan, atau yang ia sebut "nasionalisme mentah" di kalangan warga AS. Obama menilai retorika Trump yang menjual "ketakutan warga AS terhadap globalisasi" pada masa kampanye dapat memicu perpecahan.

Dalam masa kampanye, Trump memang kerap melontarkan komentar yang memicu munculnya anggapan bahwa globalisasi dan solidaritas internasional telah merugikan AS. Skeptisme Trump terhadap kaum minortas di AS seperti masyarakat pendatang dan kaum Muslim secara tidak langsung turut mempengaruhi pandangan warga AS pada isu tersebut.

Apalagi saat ini, taipan real estate terpilih menjadi Presiden AS ke-45 berdasarkan suara elektoral terbanyak. Sikap dan komentar Trump ditakutkan menjadi pembenaran bagi warga AS.

Obama mengakui adanya "ketakutan di kalangan warga AS" atas ancaman globalisasi. Namun, pria berusia 55 tahun itu menyatakan, komentar dari para pejabat Partai Republik pada masa kampanye tidak selalu didasari dengan fakta yang cukup mengenai ekonomi AS.

"Kalian semua telah melihat beberapa retorika di antara politikus Republik, aktivis, dan media. Beberapa (pandangan mengenai globalisasi dan ekonomi AS) cukup mengganggu dan tidak dihubungkan dengan fakta. Tapi komentar itu digunakan secara efektif untuk memobilisasi masyarakat," ucap Obama dalam kunjungan internasional terakhirnya sebagai Presiden AS ke Yunani, seperti dikutip CNN, Rabu (16/11).

"Jelas, Trump sebagai presiden AS terpilih menggunakan retorika tersebut dalam kampanyenya untuk mendulang cukup suara agar bisa memenangi pemilu," kata Obama menambahkan.

Dalam konferesi pers bersama Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras itu, Obama menuturkan AS dan negara di Eropa tengah menghadapi gerakan populis, gerakan mengkritisi kebijakan yang seakan berpihak pada rakyat tanpa memberikan manfaat nyata pada kepentingan umum.

Ketakutan masyarakat itu didasari dengan alasaan, "publik kurang begitu yakin tentang identitas nasional dan asal usul mereka."

"Sekarang mulai tampak berbeda dan membingungkan. (Retorika) jelas telah menimbulkan gerakan populis baik dari sayap kanan maupun kiri. Kadang-kadang gerakan ini terbungkus dalam isu-isu etnis, keagamaan, dan budaya," kata Obama.

Obama berujar, warga AS harus bisa waspada terhadap tren yang dapat memicu perpecahan tersebut selama pemerintahan Trump di Gedung Putih mendatang. Obama menegaskan dirinya akan terus menentang bahasa dan budaya yang memicu perpecahan di AS seperti itu.

Ia menyatakan, masa depan umat manusia terletak pada apa yang masyarakat miliki bersama. Warga AS bahkan warga dunia harus bisa melawan hal-hal yang hanya dapat memisahkan dan memicu konflik.

"Kita semua harus bisa wasapada terhadap kebangkitan 'nasionalisme mentah' yang merujuk pada identitas etnis atau kesukuan yang dibangun untuk memisahkan kita (masyarakat)," tutur Obama.

Kepada publik Yunani, Obama menjelaskan, kemenangan Trump dalam pemilu merupakan bentuk keinginan warga AS terhadap perubahan dan bukan merupakan bentuk kekecewaan warga AS terhadap pemerintahannya selama dua periode ini.

"Publik sepertinya berfikir saya melakukan pekerjaan kepresidenan dengan cukup baik dan walaupun ada ketidakcocokan, maka itu karena ada rasa marah dan frustasi. Mungkin warga Amerika hanya ingin suatu perubahan," ucap Obama.

Kunjungan Obama ke Yunani ini merupakan perjalanan internasional Obama terakhir kalinya sebelum lengser dari Gedung Putih. Selain Yunani, dalam satu minggu ini, Obama juga bertandang ke Jerman dan Peru untuk menjelaskan rencana AS di masa depan.

Terkait pemerintahan baru di tangan Trump, Obama berupaya meyakinkan negara-negara lain bahwa AS akan tetap memegang komiten internasional yang selama ini telah disepakati.

Beberapa pemimpin negara telah menyampaikan tanggapannya terkait pemilihan presiden baru AS pada awal November lalu. Namun, sejumlah pemimpin lainnya khawatir kepemimpinan Trump akan menyurutkan komitmen AS dalam kerja sama internasional, termasuk soal Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Pasalnya, selama masa kampanye, Trump sempat menyinggung akan mengabaikan perjanjian NATO dan perjanjian internasional lainnya yang dinilainya telah merugikan AS.


Credit  CNN Indonesia