Seiring dengan meningkatnya aksi
terorisme, sejumlah negara sekutu Barat dan negara-negara Teluk
berkoalisi menggempur militan di Irak, Suriah dan Yaman. (Reuters/Petra
News Agency)
Jakarta, CB
--
Tahun 2015 dilingkupi berbagai serangan terorisme
dan ekstremisme di sejumlah negara. Mulai dari serangan di kantor
majalah satire Charlie Hebdo di Paris pada awal Januari, penembakan
membabi buta di Pantai Tunisia pada Juni lalu, serangkaian serangan
teror di jantung kota Paris bulan lalu hingga penembak di fasilitas
penyandang disabilitas di California.
Seluruh serangan itu diklaim diluncurkan oleh anggota kelompok militan ISIS maupun simpatisannya.
Serangan aksi terorisme ini semakin mendorong upaya militer untuk
menggempur ISIS di markas mereka, Suriah dan Irak. Inisiasi untuk
menggempur ISIS langsung di markas-markas mereka pertama muncul dalam
KTT NATO di Wales pada 4-5 September 2014, ketika Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, Jerman, Kanada, Turki, Italia dan Denmark sepakat
memberikan bantuan secara militer.
Iniasi militer yang digagas
AS disambut baik oleh sejumlah negara Arab, seperti Arab Saudi, Uni
Emirat Arab, Yordania, Qatar dan Bahrain. Setelah hampir tiga bulan
serangan udara diluncurkan, upaya ini mendapat dukungan dari total 59
negara yang berkumpul di markas besar NATO di Brussels pada 3 Desember
2014.
Puluhan negara ini, termasuk Perancis, Australia, Belanda
dan Belgia sepakat untuk bergabung dalam Koalisi Global untuk Melawan
Negara Islam di Irak dan Levant (ISIS/ISIL), dengan tiga tujuan, yakni
mengungkap kejahatan ISIS, memangkas pendanaan dan pembiayaan ISIS,
serta mendukung operasi militer.
Tak hanya meluncurkan serangan
udara, koalisi internasional juga sepakat untuk melatih dan
mempersenjatai kelompok pemberontak yang moderat. Di Suriah, AS
mendukung Free Syrian Army (FSA) atau Tentara Pembebasan Suriah yang
menentang rezim pemerintahan Suriah pimpinan Bashar al-Assad. Sementara
di Irak, AS mendukung pasukan Kurdi Peshmerga dan militer Irak.
Tentara
koalisi yang diterjunkan tidak ditugasi meluncurkan operasi militer,
tetapi hanya melatih taktik berperang. Strategi ini dinilai dapat
mempercepat mengusir ISIS di Irak dan Suriah, yang kala itu memasuki
tahun keempat perang saudara.
Serangan udara di SuriahKetika
akan meluncurkan serangan udara bersama koalisi internasional, AS tidak
meminta izin maupun mengkordinasikan serangan kepada pemerintah Suriah
pimpinan Assad. AS hanya memberi informasi soal serangan udara ini
kepada perwakilan Suriah di PBB.
Langkah ini kemungkinan besar
disebabkan karena AS menilai Assad harus turun dari tampuk kepemimpinan
agar perdamaian dapat tercipta di Suriah. Bahkan, menurut pendiri
WikiLeaks, Julian Assange dalam laporan
Sputniknews, AS sudah menginginkan Assad lengser dari kepemimpinan Suriah sejak 2006.
Meski demikian, menurut catatan
Reuters,
AS memberikan informasi kepada Iran, sekutu terdekat Assad, sebelum
meluncurkan serangan udara pertama kali pada 22 September 2014.
Pemberitahuan ini tidak mengungkapkan lokasi dan waktu serangan udara,
tetapi memastikan bahwa koalisi internasional tidak akan menargetkan
infrastruktur milik pemerintah Suriah.
Koalisi serangan udara
pimpinan AS di Suriah, terdiri dari Australia, Kanada, Perancis, serta
sejumlah negara-negara Teluk, seperti Bahrain, Yordania, Qatar, Arab
Saudi, Turki dan Uni Emirat Arab.
Pada Oktober 2014, serangan
udara koalisi internasional membantu pasukan milisi Kurdi Suriah (YPG)
dan FSA bertarung sengit dengan militan ISIS dalam memperebutkan kota
Kobani. Pertempuran ini memaksa puluhan ribu penduduk yang mayoritas
merupakan etnis Kurdi mengungsi ke Turki.
Serangan
udara koalisi internasional pimpinan AS menggempur markas ISIS di
Kobani, Suriah, dekat perbatasan Turki. (Reuters/Stringer)
|
Setelah sekitar 70 persen Kobani hancur lebur akibat peperangan, kota
itu akhirnya dapat direbut dari tangan ISIS pada Januari 2015.
Meski
ribuan bom yang dibawa jet tempur koalisi internasional menghujani
berbagai target ISIS, pengaruh kelompok militan ini tidak semakin
berkurang. Terbukti, serangkaian teror terjadi oleh para simpatisannya
dari berbagai penjuru dunia sepanjang tahun 2015.
Salah satu
teror terbesar terjadi pada 7 Januari 2015, ketika serangan terjadi di
kantor majalah satire, Charlie Hebdo di Paris, Perancis. Serangan yang
terjadi hanya enam hari setelah koalisi internasional meluncurkan
serangan udara ke-70 ke sejumlah target ISIS di Suriah, diluncurkan tiga
orang yang diduga teradikalisasi dan telah berbaiat kepada ISIS.
Pengaruh
ISIS terbukti tak juga meredam ketika pada Jumat 26 Juni 2015,
penembakan membabi-buta terjadi di The RIU Imperial Marhaba Hotel,
Tunisia, menewaskan 38 orang, dan serangan bom di masjid Syiah di
Kuwait, menewaskan 10 orang. Kedua serangan ini diklaim oleh ISIS.
Dunia
dikejutkan oleh intervensi militer Rusia dengan meluncurkan serangan
udara pertama di Suriah pada 30 September 2015. Rusia mengklaim bahwa
serangan udara ini diluncurkan atas permintaan Assad, salah satu
sekutu Rusia.
Serangan udara ini sempat dikhawatirkan akan
bentrok dengan serangan udara dari koalisi internasional yang dipimpin
AS. Rusia mengklaim bahwa serangan udara yang diluncurkannya menargetkan
militan ISIS dan para pemberontak. Sementara, AS
menilai Rusia menargetkan sejumlah pemberontak yang didukung Barat untuk
menumbangkan Assad.
Namun, AS dan Rusia kemudian menandatangani
nota kesepahaman yang salah satu poinnya mengatur langkah pilot untuk
menghindari tabrakan di langit Suriah dalam kampanye mereka menggempur
ISIS.
Tak hanya itu, berbagai laporan menduga serangan
udara Rusia menyebabkan korban sipil berjatuhan. Menurut kelompok
pemerhati perang Suriah, Syrian Observatory for Human Rights pada
Oktober lalu, serangan udara Rusia di Suriah telah menewaskan hampir 600 orang.
Sementara,
terjadi beberapa perkembangan dalam koalisi internasional, utamanya
ketika Kanada memutuskan akan menarik jet tempurnya di Suriah. "Saya
berkomitmen bahwa kami akan terus terlibat secara bertanggung jawab dan
mengerti pentingnya peran Kanada dalam memerangi ISIS, tapi dia mengerti
komitmen saya soal mengakhiri misi tempur," kata Perdana Menteri Kanada
yang baru, Justin Trudeau, dikutip dari
The Guardian.
Serangan udara di IrakKoalisi
serangan udara pimpinan AS semakin meningkatkan gempuran melawan ISIS.
Tak hanya di Suriah, serangan udara juga diluncurkan di markas ISIS
lainnya di Irak. Koalisi serangan udara internasional di Irak sebagian
besar terdiri dari negara-negara sekutu Barat, seperti Amerika Serikat,
Australia, Kanada, Perancis, Belanda, Inggris.
Sejak akhir
November 2014, negara-negara Teluk, seperti Yordania dan Maroko
menyambut baik permintaan AS untuk bergabung dalam koalisi serangan
udara di Irak.
Melalui koalisi serangan udara, AS berencana
membantu militer Irak mengambil alih Mosul, kota di Irak yang dikuasai
ISIS sejak 10 Juni 2014.
Serangan udara koalisi internasional di
Irak sejauh ini berkontribusi dalam mengusir pendudukan ISIS di sekitar
wilayah pegunungan Sinjar. Pendudukan ISIS sejak Juni 2014 menewaskan
2.000 etnis Yazidi, mayoritas penduduk di Sinjar, dan memaksa sekitar
50.000 lainnya bersembunyi di dalam gunung tersebut.
Koalisi serangan udara menggempur markas ISIS di Sinjar, Irak, pada 12 November 2015. (Reuters/Ari Jalal)
|
Pada Desember 2014, serangan udara koalisi membantu menghubungkan Sinjar
dengan wilayah Peshmerga sehingga etnis Yazidi yang berbulan-bulan
bersembunyi di gunung dapat dievakuasi.
Pada 18 Maret 2015, pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi dilaporkan menderita luka serius akibat
serangan udara yang diluncurkan di al-Baaj, 128 kilometer barat Mosul.
Baghdadi kemudian digantikan oleh wakilnya Abu Alaa al-Afri, meski pada 3
Mei 2015,
The Guardian melaporkan Baghdadi berangsur pulih.
Inggris
menjadi salah satu negara yang bergabung dalam serangan udara koalisi
di Irak, tetapi tidak di Suriah karena terhalang penolakan dari parlemen
Inggris pada 2013. Namun, Perdana Menteri David Cameron mendapatkan persetujuan parlemen untuk
bergabung dalam koalisi serangan udara di Suriah pada Rabu (2/12),
setelah serangkaian serangan terjadi di jantung kota Paris pada 13
November lalu, menewaskan setidaknya 130 orang.
Koalisi serangan udara di Yaman Koalisi
serangan udara untuk menggempur kelompok pemberontak tak hanya terjadi
di Irak dan Suriah. Yaman menjadi ajang gempuran serangan udara dari
koalisi serangan udara yang dipimpin Arab Saudi untuk memukul mundur
kelompok pemberontak, Syiah Houthi.
Dikuasainya ibu kota Sanaa
oleh Houthi yang memaksa mundur Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi ke kota
pelabuhan Aden dan menyelamatkan diri ke Riyadh, membuat Saudi
memutuskan untuk menggalang koalisi internasional untuk meluncurkan
serangan udara melalui Operation Decisive Storm, sejak 26 Maret 2015.
Dikuasainya
ibu kota Sanaa oleh Houthi membuat Saudi memutuskan menggalang koalisi
serangan udara melalui Operation Decisive Storm, sejak 26 Maret
2015.(Reuters/Mohamed al-Sayaghi)
|
Seluruh negara-negara Teluk bergabung dalam koalisi serangan udara
Saudi, kecuali Oman dan Pakistan. Banyak warga sipil dilaporkan menjadi
korban dalam serangan udara ini. Pada akhir Oktober lalu, serangan udara Saudi menghantam rumah sakit yang dikelola oleh organisasi Medecins Sans Frontieres (MSF) atau Dokter Lintas Batas.
Kelompok
HAM mengecam serangan udara koalisi Saudi yang disebut juga menewaskan
warga sipil. Lebih dari 5.600 orang tewas dalam konflik Yaman dan
menjerumuskan negara miskin itu ke dalam krisis kemanusiaan.
Solusi
diplomatis untuk menghentikan konflik di Yaman adalah melalui gencatan
senjata yang bertepatan dengan pembicaraan damai yang didukung oleh PBB
pada 15 Desember lalu. Selain itu, pihak yang bertikai Yaman sepakat
untuk melanjutkan pembicaraan pada 14 Januari mendatang.
Credit
CNN Indonesia