Senin, 25 Maret 2019

Satu Juta Pedemo Anti-Brexit Diklaim Tuntut Referendum Ulang


Satu Juta Pedemo Anti-Brexit Diklaim Tuntut Referendum Ulang
Unjuk rasa anti-Brexit, beberapa waktu lalu. (REUTERS/Henry Nicholls)




Jakarta, CB -- Jutaan orang pedemo disebut turun ke jalanan kota London pada Sabtu (24/3) menuntut referendum ulang soal keanggotaan Inggris di Uni Eropa setelah blok tersebut menyetujui penundaan Brexit.

Sejumlah penggagas demonstrasi mengklaim sedikitnya satu juta orang ikut serta dalam protes bertajuk "Put it to the People" itu. 


Sebagian besar pemrotes turun ke jalanan ibu kota dari Hyde Park hingga depan gedung parlemen di Westminster sambil mengacungkan spanduk-spanduk dan poster anti-Brexit. Beberapa dari mereka juga ikut mengibarkan bendera Uni Eropa.


"Ini sangat buruk. Kita perlu membatalkan Pasal 50 (dalam Traktat Uni Eropa yang berisikan tata cara anggota keluar dari blok tersebut) dan jika kita tidak bisa melakukannya, itu berarti kita butuh suara rakyat," tutur Emma Sword, salah satu pemrotes, Minggu (24/3), kepada AFP.

Di depan gedung parlemen, sejumlah pejabat pemerintah seperti Menteri Pertama Skotlandia, Nicola Sturgeon, Wali Kota London Sadiq Khan, pemimpin oposisi dari Partai Buruh, Tom Watson, hingga politikus Anna Soubry ikut serta dalam pawai tersebut.

Tuntutan massa demonstrasi pro-Brexit.
Tuntutan massa demonstrasi pro-Brexit. (Reuters)
"Kami telah melihat bagaimana pemerintah mengabaikan peringatan kami berkali-kali. Sudah waktunya untuk mengatakan dengan keras dan jelas, cukup sudah," kata Khan.

Sebagian anggota parlemen menolak menggelar referendum baru dalam rapat pada awal Maret ini.

Namun, demonstrasi besar-besaran ini dianggap mengungkap harapan mayoritas warga Inggris yang ingin memaksakan jajak pendapat baru tetap digelar.

"Pesannya jelas, hentikan Brexit," kata pemimpin Partai Demokrat Liberal Vince Cable yang ikut berdemo.



"Kami sekarang adalah negara yang memilih untuk tetap [sebagai anggota Uni Eropa]. Hampir 90 persen pemilih muda yang tidak diizinkan memilih dalam referendum Brexit 2016 lalu akan memilih untuk tetap berada di Uni Eropa," katanya menambahkan.

Sementara itu, penundaan Brexit memberi harapan baru bagi Perdana Menteri Inggris, Theresa May, untuk kembali mengajukan usulan soal persyaratan Brexit kepada parlemen supaya mereka tidak hengkang dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.

Penundaan itu disetujui petinggi Uni Eropa ketika bertemu dengan May di Brussels, Belgia, pada Kamis (21/3) kemarin.

PM Inggris Theresa May.
PM Inggris Theresa May. (REUTERS/Clodagh Kilcoyne)
Perundingan kedua belah pihak dikabarkan sempat tegang karena May gagal meyakinkan Uni Eropa bahwa Inggris bisa meloloskan usulan rancangan undang-undang Brexit pada pekan depan guna menghindari keluar tanpa kesepakatan pada 29 Maret.

Uni Eropa juga menolak proposal Brexit yang diajukan May dan memilih menerapkan persyaratan yang mereka susun. Dalam persyaratan itu, jika Dewan Rakyat Inggris meloloskan proposal Brexit, maka negara itu akan meninggalkan Uni Eropa pada 22 Mei.

Akan tetapi, jika May gagal lagi meloloskan proposal Brexit, maka Inggris akan diberi penundaan Brexit tanpa syarat hingga 12 April untuk mengajukan proposal baru.


Jika hal itu terjadi, Inggris wajib ikut serta dalam pemilihan Parlemen Eropa pada Mei mendatang. Hal ini membuka kesempatan Brexit akan diundur hingga beberapa bulan selanjutnya.

Sementara, May dikabarkan menggelar pembicaraan dengan rekannya dari Partai Konservatif.

"Perdana Menteri sedang berbicara dengan koleganya akhir pekan ini," kata seorang Juru Bicara Kantor PM Inggris.

Namun, dia enggan mengonfirmasi soal kabar bahwa May akan mengadakan pertemuan puncak dengan anggota pemimpin parlemen pro-Brexit pada sorenya.





Credit  cnnindonesia.com