Ilustrasi senjata api. (ANTARA Foto/Nova Wahyudi)
"Jika pada tahapan apapun, pemerintah Myanmar berkeinginan untuk damai, maka ARSA akan menyambut baik keinginan tersebut sebagai tanggapannya," ucap kelompok tersebut melalui pernyataan seperti dikutip Reuters pada Senin (9/10).
Gencatan senjata yang diberlakukan di negara bagian Rakhine ini akan berakhir tengah malam nanti, menyusul bentrokan ARSA dengan militer Myanmar yang telah memicu eksodus pengungsi Rohingya ke negara-negara lain seperti Bangladesh sejak akhir Agustus lalu.
Gencatan dilakukan ARSA untuk memungkinkan akses bantuan kemanusiaan ke wilayah pusaran konflik yang telah memakan 1.000 jiwa itu. Kelompok pimpinan Ata Ullah menyebutnya sebagai "tekad untuk menghentikan tirani dan penindasan" terhadap minoritas Rohingya.
Meski begitu, ARSA tidak menjelaskan langkah apa yang akan dilakukan setelah gencatan itu berakhir.
Sementara, pemerintah tidak segera dapat dimintai tanggapan atas isyarat damai ARSA ini. Sebelumnya, Myanmar menyatakan tidak mengakui gencatan bersenjata karena "pemerintah tidak memiliki kebijakan untuk bernegosiasi dengan teroris."
Kelompok ARSA muncul sekitar Oktober tahun lalu, ketika konflik komunal yang menyasar Rohingya kembali mencuat untuk pertama kalinya sejak 2012 lalu.
Hingga kini, jumlah pasukan ARSA belum diketahui secara pasti. Meski disebut mendapat sokongan logistik dan dana dari petinggi di luar negeri, persenjataan kelompok tersebut diyakini terbilang lemah.
Selama ini, pemerintah Myanmar kerap menuding ARSA menjadi pemicu konflik di Rakhine. Pemerintah bahkan menuduh ARSA menyerang dan membakar rumah-rumah warga Rohingya di negara bagian tersebut.
Sementara itu, ARSA selama ini menganggap pemerintah Myanmar hanya menjadikan kelompoknya sebagai kambing hitam dan pembenaran untuk menyiksa hingga membunuh Muslim Rohingya.
Credit cnnindonesia.com