Jumat, 02 September 2016

Apa Kata Memo Rahasia CIA Soal Peristiwa Malari

 Apa Kata Memo Rahasia CIA Soal Peristiwa Malari
Markas besar badan intelijen Amerika CIA di Langley. wikimedia.org
 
CB, Washington - Badan intelijen Amerika Serikat membuka kepada publik memo rahasia bernama Briefing Harian Presiden (President's Daily Briefs - PDB) pada 24 Agustus 2016 lalu. Itu adalah PDB yang disampaikan CIA di era dua presiden, yaitu Richard Nixon (20 Januari 1969-9 Agustus 1974) dan Gerald Ford (9 Agustus 1974-20 Januari 1977). Salah satu materi terkait Indonesia yang ada dalam PDB adalah soal peristiwa Malari --sebutan untuk peristiwa demontrasi anti-Jepang yang berujung pada pembakaran di sejumlah tempat di Jakarta pada 15 Januari 1974.

Tema soal Malari itu berada di antara 2.500 file yang dideklasifikasi (dinyatakan tak lagi bersifat rahasia) yang jumlah totalnya sekitar 28.000 halaman itu. File lengkapnya bisa diakses melalui https://www.cia.gov/library/readingroom/presidents-daily-brief. PDB itu berisi analisis intelijen tentang isu-isu penting terkait keamanan nasional yang disampaikan kepada presiden dan pejabat senior pembuat kebijakan di Gedung Putih.

Kasus Malari bermula dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia yang dijadwalkan pada 14 - 17 Januari 1974. Soal rencana kunjungan Tanaka ini ada dalam PDB tertanggal 7 Januari 1974. Memo itu menulis "Tujuan utama (kunjungan) itu adalah menepis kritik, khususnya di Thailand dan Indonesia, bahwa ekonomi Jepang di negara kurang membawa manfaat bagi warga setempat." Kunjungan itu adalah bagian dari tur diplomatik Tanaka ke sejumlah negara Asia, termasuk Filipina, Singapura dan Malaysia.

PDB berikutnya yang kemudian menulis soal kedatangan Tanaka dan kerusuhan yang mengikutinya muncul dalam PDB 16 Januari 1974. Dalam dokumen setebal 9 halaman itu, soal peristiwa itu muncul di halaman 5. Memo itu menulis soal aparat keamanan yang menerapkan jam malam pasca kerusuhan yang memprotes kedatangan Tanaka. "Vandalisme dan pembakaran berlangsung hingga malam dan pada tengah malam polisi masih berusaha membubarkan sekitar 1.500 mahasiswa yang berkumpul di dekat kedutaan Jepang dan beberapa usaha milik orang Jepang," tulis memo itu.

PDB itu juga menulis soal aparat keamanan yang meminta untuk menghindari konfrontasi dengan memerintahkan tak mengeluarkan tembakan kecuali untuk mempertahankan diri. Namun kebijakan itu tak urung telah menewaskan empat orang dan melukai beberapa lainnya. "Mahasiswa pembangkang sudah lama merencanakan protes atas kunjungan Tanaka dengan demonstrasi menentang dominasi ekonomi Jepang dan dugaan klusi di kalangan pejabat pemerintah, pengusaha Jepang dan pengusaha Cina," tulis memo itu.

Peristiwa Malari itu juga muncul dalam PDB hari berikutnya, 17 Januari 1974. Memo itu menulis soal mahasiswa yang terus turun ke jalan namun vandalisme mulai berkurang. Namun dilaporkan ada pembakaran terhadap BUMN bidang pernminyakan, yang menandai pembakaran pertama yang menyasar bangunan pemerintah. Memo itu juga menulis soal peringatan Pangkopkamtib Sumitro yang mengatakan bahwa aparat keamanan tak lagi bersikap lunak. "Akan ada penangkapan terhadap siapa saja yang merusak ketertiban," tulis memo itu.

Keesokan harinya, 18 Januari 1974, PDB juga menulis soal sikap keras pemerintah terhadap peristiwa itu. Mengutip pejabat pemerintah, memo itu menulis, "Demonstrasi yang dapat berujung ke kerusuhan akan dilarang, kampus akan "dilindungi" dari aktivitas politik, laporan suratkabar akan "diatur", dan mereka yang bertanggungjawab atas peristiwa itu akan dihukum. Memo itu menulis soal tentara yang hari itu menguasai kampus Universitas Indonesia dan pemerintah menutup tiga stasiun radio dan satu suratkabar. PDB 19 Januari 1974 menulis soal situasi Jakarta yang relatif tenang.

Soal Malari masih terus muncul dalam PDB hari berikutnya. PDB juga menulis soal rivalitas di dalam tubuh militer dan orang dekat presiden Soeharto yang juga ikut  menyumbang peristiwa pada Januari 1974 itu. Dalam PDB 27 Maret 1974 itu juga ditulis bahwa Soeharto berusaha meyakinkan para perwira militernya untuk memperkecil perbedaan di antara mereka. Memo itu juga menulis, "Militer masih tergoncang secara mendalam oleh kerusuhan bulan Januari itu dan mungkin masih ragu soal gaya pemerintahan Soeharto, yang terlihat oleh mereka tiba-tiba akan beralih dari sikap liberal ke otoriter."

Selain soal Malari, PDB dalam periode Nixon dan Ford itu juga memuat soal rencana invasi ke Timor Timor dan kasus Papua.



Credit  TEMPO.CO