Senin, 23 Maret 2015

Pasang Surut Hubungan RI-Singapura di Bawah Lee Kuan Yew


Pasang Surut Hubungan RI-Singapura di Bawah Lee Kuan Yew  
Hubungan persahabatan Soeharto dan Lee Kuan Yew berawal dari sebuah perseteruan. Meski pulih, hubungan RI-Singapura kerap mengalami pasang surut. (Reuters/Timothy Sim)
 
Jakarta, CB -- Tahun 1968. Di Indonesia, Orde Lama baru saja tumbang dan Orde Baru bersemi di bawah naungan Soeharto. Sementara itu, Singapura baru saja lepas dari Malaysia berkat perjuangan Lee Kuan Yew. Dua pemimpin tersebut sempat berseteru.

Adalah Usman dan Harun, dua prajurit Indonesia yang dijatuhi hukuman mati karena melakukan pengeboman di Orchard Road, Singapura, pada 1965, saat Indonesia tengah berkonfrontasi dengan Malaysia sebelum Singapura memisahkan diri.

Soeharto yang baru saja memimpin Indonesia secara terbuka meminta kepada Lee untuk memberikan keringanan hukuman kepada kedua warga tersebut. Permintaan ditolak, Usman dan Harun dieksekusi pada 17 Oktober 1968. Indonesia berang.

Kedatangan jenazah Usman dan Harun ke Tanah Air disambut besar-besaran. Murka, Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, akhirnya diserbu massa.

Dua tahun berselang, Lee dan Soeharto bertatap muka pertama kali pada Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Lusaka, Zambia.

“Kami bicara sekitar 30 menit di villa Soeharto mengenai perkembangan regional dan saat itu kami banyak menemukan kesepahaman pandangan,” ujar Lee seperti dikutip buku Pak Harto The Untold Stories terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.

Pertemuan yang membekas tersebut lantas berlanjut dengan rencana Lee untuk mengunjungi Indonesia. Namun, Soeharto mengajukan syarat, yaitu Lee harus menaburkan bunga di makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Lee pun menyanggupinya.

"Entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun," tulis utusan penghubung RI pada kasus Usman dan Harun, Abdul Rachman Ramly, dalam buku Pak Harto The Untold Story.

Hubungan Indonesia dan Singapura pun pulih.

Perjanjian demi perjanjian diikatkan demi membangun perekonomian kedua negara. Soeharto mengizinkan Singapura menanamkan modal asing di Indonesia. Lee Kuan Yew bahkan sempat diminta untuk bahu-membahu membangun Batam.

Hingga akhirnya Soeharto digulingkan melalui gerakan Reformasi pada 1998, Lee masih menaruh kekaguman terhadap sahabatnya tersebut. Ia sempat meragukan penggantinya, BJ Habibie, yang dianggap tidak mampu memulihkan perekonomian Indonesia yang anjlok akibat krisis moneter.

"Nanti kalaupun Habibie jadi presiden, dolar akan tembus Rp 16 ribu," kata Habibie menuturkan pendapat Lee saat ia baru saja dilantik. Di hadapan mahasiswa Universtias Paramadina pada 2008 lalu, Habibie mengaku tak menanggapi perkataan Lee.

"Saya diam dan terus bekerja sampai akhirnya dolar bisa saya stop ke angka Rp6.500," tutur Habibie.

Perkembangan tersebut ternyata juga tak lepas dari pengamatan Singapura. Melihat pesatnya kemajuan tersebut, Lee akhirnya mengirimkan surat resmi melalui Tanri Abeng.

"(Isi suratnya) 'Saya (Lee) salah tentang Anda (Habibie).' Itu namanya intelektual. Dia jantan mengakui kesalahannya," ucap Habibie.

Saat Soeharto dirawat di rumah sakit, Lee pun menyempatkan diri untuk bertandang dan menjenguknya sebelum akhirnya wafat pada 2008.

“Saya ingin menghormatinya sebagai sahabat lama dan rekan yang tangguh. Soeharto layak mendapatkan pengakuan atas kontribusi hidupnya terhadap Indonesia dan dunia luar,” kata Lee.

Di tengah hawa segar hubungan bilateral, tiba-tiba Lee kembali menyulut api. Pada 2002, Lee menyinggung keberadaan tokoh Majelis Mujahidin Indonesia, Abu Bakar Baasyir, yang masuk dalam daftar pencarian polisi Singapura dan Malaysia.

Dalam sebuah acara, Lee berkata, "Singapura tetap berada dalam kondisi berisiko dari serangan teroris karena para pimpinan wilayah teroris masih berkeliaran di Indonesia."

Pemerintahan Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri geram. Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan sangat menyesalkan pernyataan Lee.

SBY menganggap pernyataan tersebut tidak layak dilontarkan. Pasalnya, intelijen Indonesia dan Singapura tengah menjalin kerja sama untuk menangani terorisme.

"Langkah itu sedang dilakukan dan bukannya kita diam saja. Jadi, Jangan terlalu cepat mengatakan ada terorisme dan Indonesia menjadi sarang pentolan," kata SBY kala itu.

Mendukung pernyataan SBY, Ketua MPR RI kala itu, Amien Rais, juga bertutur, "Kalau perlu Indonesia menuntut Lee meminta maaf untuk menghindari ketidakharmonisan hubungan bilateral Indonesia-Singapura."

Setelah naik tahta menjadi presiden, SBY juga kembali menegur Lee. Singapura sebagai tempat persembunyian strategis bagi koruptor Indonesia dianggap ogah-ogahan melakukan perjanjian ekstradisi yang sudah diteken pada 2007, tapi terbengkalai.

"Saya sampaikan pada Lee, ada satu agenda kerja sama yang dulu hampir diberlakukan, tapi terhenti, yaitu kerja sama di bidang ekstradisi, sekaligus kerja sama di bidang pertahanan. Tetapi tiba-tiba terhenti," ujar SBY di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 13 Maret 2012, setelah bertemu dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong.

Meskipun hubungan antara Indonesia dan Singapura, khususnya Lee, selalu mengalami gelombang pasang surut, tapi pemerintah tetap menganggap Bapak Singapura Modern tersebut sebagai inspirasi.

Ketika Lee wafat pada Senin (13/3) dini hari, dua kepala pemerintahan Indonesia menyampaikan belasungkawa. "Indonesia sangat berduka atas wafatnya Lee Kuan Yew, pemikirannya selalu memberi inspirasi untuk Asia," ujar Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, dalam pernyataan tertulisnya yang diterima CNN Indonesia, Jakarta, Senin.

Menunjukkan rasa hormat kepada Lee, Presiden RI, Joko Widodo, juga dikabarkan akan hadir dalam upacara Pemakaman Kenegaraan pada Minggu (29/3).

"Pemerintah dan rakyat Indonesia berkeyakinan bahwa Singapura akan dapat melalui masa sulit ini dan tumbuh berkembang sesuai aspirasi bangsa dan rakyatnya," kata Jokowi.

Lee Kuan Yew merupakan Perdana Menteri Singapura pertama. Lee menjabat dari tahun 1959 hingga mengundurkan diri pada tahun 1990.

Menggadang Lee sebagai inspirasi bagi dunia dianggap sangat pantas oleh banyak kalangan. Selama masa kepemimpinan Lee, Singapura berkembang dari negara Dunia Ketiga menjadi salah satu negara maju di dunia, meskipun hanya mempunyai sedikit penduduk dan sumber daya alam.

Dari berbagai pemberitaan, Lee kerap berkata bahwa satu-satunya sumber daya alam Singapura adalah rakyatnya dan tekad mereka dalam bekerja.

Selama menjabat, Lee menerima berbagai tanda penghargaan, termasuk "Order of the Companions of Honour" pada 1970, "Knight Grand Cross of the Order of St Michael and St George" pada 1972, "Freedom of the City" di London pada 1982, "Order of the Crown of Johore First Class" pada 1984 dan "Order of the Rising Sun" pada 1967.

Lee juga sempat menulis dua buku memoar. Buku bertajuk "The Singapore Story" berisikan pandangan Lee mengenai sejarah Singapura hingga negara itu keluar dari Federasi Malaysia pada 1965. Dalam buku lainnya, "From Third World to First: The Singapore Story," Lee menuangkan pandangannya mengenai perubahan Singapura menjadi negara maju.

Awal Februari lalu, Lee dilaporkan menderita penyakit pneumonia parah dan dirawat di rumah sakit.

Seperti dilansir Reuters, Lee meninggal di Rumah Sakit General, Singapura pada pukul 3.18 waktu setempat.


Credit  CNN Indonesia