Kamis, 12 Maret 2015

Menkeu: APBN Aman, Risiko Kurs Tinggal Sejarah


Menkeu: APBN Aman, Risiko Kurs Tinggal Sejarah  
Menko Perekonomian Sofyan Djalil (tengah) bersama Menkeu Bambang Brodjonegoro (kanan) dan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad (kiri) memberikan keterangan usai memimpin rapat koordinasi (Rakor) terkait revisi APBN 2015 akibat pergerakan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah di Kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, Selasa, 16 Desember 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
 
Jakarta, CB -- Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan neraca keuangan atau kondisi fiskal Indonesia saat ini lebih kuat dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya dengan dicabutnya subsidi premium. Karenanya, dia memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) aman dari risiko gejolak nilai tukar.

"Dengan kita sudah tidak ada subsidi (premium), maka perubahan kurs ini tidak akan berpengaruh. Rupiah bergejolak, APBN aman," ujar Bambang menegaskan di Istana Kepresidenan, Rabu (11/3).


Bambang menilai masa-masa kerentanan fiskal sudah lewat. Ketika premium masih disubsidi, gejolak kurs dan harga minyak kerap merepotkan pemerintah. Solusinya kala itu hanya dua, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) atau memangkas anggaran belanja negara.

"Itu cerita kalau 2014 dan sebelumnya. Pemerintah harus akan merespon (gejolak kurs), apakah menaikkan harga BBM atau memotong belanja, tapi itu history," tuturnya.

Menanggapi dampak depresiasi terhadap beban utang valas pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pengaruhnya tidak akan terlalu besar. Sebab, lanjut Sofyan, porsi utang pemerintah dan BUMn dalam denominasi dolar AS tidak terlalu besar jika dibandingkan utang valas swasta.

"Yang banyak itu swasta. Tetapi perlu diingat ya mereka itu banyak yang punya uangnya sendiri. Jadi tidak perlu khawatir. Jadi kalau ada utang swasta besar adalah antar-korporasi saja," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia agus D.W. Martowardojo mengamini pernyataan Sofyan Djalil. Kendati jumlahnya meningkat, Agus menilai nilai utang luar negeri Indonesia tidak setinggi negara lain.

Agus menjelaskan gejolak yang terjadi pasar uang saat ini merupakan imbas dari pemulihan ekonomi AS. Indikatornya adalah kembali perkasanya dolar AS terhadap hampir semua mata uang di dunia.

"Kalau pasar uang pada saat sekarang ini cukup ada tekanan dari eksternal dan kita mengikutinya. Yang utama adalah rencana (normalisasi kebijakan moneter) The Fed dan pernyataan pejabat-penjabatnya," jelas Agus.

Credit  CNN Indonesia