Penasihat negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, menolak keputusan Dewan HAM PBB untuk menyelidiki dugaan kekerasan terhadap kaum Rohingya. (Foto: REUTERS/Eric Vidal)
Jakarta, CB --
Penasihat negara sekaligus pemimpin de facto
Myanmar, Aung San Suu Kyi, menolak keputusan Dewan HAM Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki dugaan kekerasan oleh pasukan
keamanan terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya.
"Kami tidak setuju dengan hal itu," kata Suu Kyi dalam sebuah konferensi pers bersama kepala diplomatik Uni Eropa Federica Mogherini, di Brussels, Selasa (2/5) malam waktu setempat.
"Kami menjauhkan diri dari resolusi [PBB] itu karena kami berpikir resolusi tersebut tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," tuturnya menambahkan.
Pernyataan itu dilontarkan Suu Kyi menyusul persetujuan Dewan HAM PBB untuk mengirimkan tim pencari fakta ke negara di Asia Tenggara itu terkait dugaan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan pada kaum Rohingya di negara bagian Rakhine.
Peraih Nobel Perdamaian ini mengatakan, pemerintahnya akan dengan lapang menerima berbagai rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan negara.
"Tapi, rekomendasi PBB itu hanya akan memecah-belah dua kominitas di Rakhine lebih jauh lagi yang tidak akan kami terima karena itu tidak akan membantu menyelesaikan masalah yang selama ini timbul," ucap Suu Kyi.
Kekerasan terhadap kaum Rohingya kembali mencuat sejak penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar di Rakhine oleh sejumlah kelompok bersenjata, 9 Oktober lalu.
Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan setidaknya 80 orang.
Ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan etnis Rohingya pada 2012 lalu yang menewaskan setidaknya 200 orang.
Laporan PBB juga membenarkan adanya dugaan pelanggaran HAM di negara itu.
Penyelidik PBB bahkan mengatakan, tak sedikit perempuan yang diperkosa dan bayi yang dibantai oleh aparat saat operasi militer itu berlangsung.
Meski begitu, Myanmar berkeras membantah segala tudingan tersebut. Suu Kyi pun menolak pernyataan bahwa pemerintahannya sengaja mengabaikan kekerasan terjadi.
Sejak itu, reputasi Suu Kyi dipertaruhkan menyusul banyaknya kecaman komunitas internasional yang menganggap dirinya telah gagal menegakkan HAM dan melindungi kaum Rohingya.
"Saya tidak yakin dengan pernyataan anda yang menyebutkan bahwa kami sama sekali tidak peduli dengan dugaan kekejaman di Rakhine. Kami telah menyelidiki dugaan ini dan telah mengambil tindakan," ujar Suu Kyi seperti dikutip AFP, Rabu (3/5).
Sementara itu, Mogherini meminta Myanmar tetap mendukung penyelidikan PBB tersebut. Menurutnya, penyelidikan ini dapat membantu membangun fakta-fakta yang terjadi di negara itu.
"Pembentukan misi mencari fakta mungkin satu dari sedikit ketidaksepakatan antara kita. Padahal, ini bisa berkontribusi mencari fakta kebenaran yang terjadi di masa lalu, asalkan kita sepenuhnya sepakat pentingnya kerja sama di masa depan," katanya.
"Kami tidak setuju dengan hal itu," kata Suu Kyi dalam sebuah konferensi pers bersama kepala diplomatik Uni Eropa Federica Mogherini, di Brussels, Selasa (2/5) malam waktu setempat.
"Kami menjauhkan diri dari resolusi [PBB] itu karena kami berpikir resolusi tersebut tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan," tuturnya menambahkan.
Pernyataan itu dilontarkan Suu Kyi menyusul persetujuan Dewan HAM PBB untuk mengirimkan tim pencari fakta ke negara di Asia Tenggara itu terkait dugaan pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan pada kaum Rohingya di negara bagian Rakhine.
Peraih Nobel Perdamaian ini mengatakan, pemerintahnya akan dengan lapang menerima berbagai rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan negara.
"Tapi, rekomendasi PBB itu hanya akan memecah-belah dua kominitas di Rakhine lebih jauh lagi yang tidak akan kami terima karena itu tidak akan membantu menyelesaikan masalah yang selama ini timbul," ucap Suu Kyi.
Kekerasan terhadap kaum Rohingya kembali mencuat sejak penyerangan pos pengamanan di tiga wilayah perbatasan Myanmar di Rakhine oleh sejumlah kelompok bersenjata, 9 Oktober lalu.
Alih-alih memburu para pelaku penyerangan, militer Myanmar diduga malah menyerang etnis Rohingya secara membabi-buta hingga menewaskan setidaknya 80 orang.
Ini merupakan insiden berdarah terparah sejak bentrokan antara umat Buddha dan etnis Rohingya pada 2012 lalu yang menewaskan setidaknya 200 orang.
Laporan PBB juga membenarkan adanya dugaan pelanggaran HAM di negara itu.
Penyelidik PBB bahkan mengatakan, tak sedikit perempuan yang diperkosa dan bayi yang dibantai oleh aparat saat operasi militer itu berlangsung.
Meski begitu, Myanmar berkeras membantah segala tudingan tersebut. Suu Kyi pun menolak pernyataan bahwa pemerintahannya sengaja mengabaikan kekerasan terjadi.
Sejak itu, reputasi Suu Kyi dipertaruhkan menyusul banyaknya kecaman komunitas internasional yang menganggap dirinya telah gagal menegakkan HAM dan melindungi kaum Rohingya.
"Saya tidak yakin dengan pernyataan anda yang menyebutkan bahwa kami sama sekali tidak peduli dengan dugaan kekejaman di Rakhine. Kami telah menyelidiki dugaan ini dan telah mengambil tindakan," ujar Suu Kyi seperti dikutip AFP, Rabu (3/5).
Sementara itu, Mogherini meminta Myanmar tetap mendukung penyelidikan PBB tersebut. Menurutnya, penyelidikan ini dapat membantu membangun fakta-fakta yang terjadi di negara itu.
"Pembentukan misi mencari fakta mungkin satu dari sedikit ketidaksepakatan antara kita. Padahal, ini bisa berkontribusi mencari fakta kebenaran yang terjadi di masa lalu, asalkan kita sepenuhnya sepakat pentingnya kerja sama di masa depan," katanya.
Credit CNN Indonesia