Ilustrasi (Reuters/Bassam Khabieh)
Dalam perjanjian yang diumumkan pekan lalu (17/9), zona demiliterisasi ini akan dibuat di sekitar Idlib. Wilayah ini menjadi daerah kekuasaan dan benteng terakhir para pemberontak jihadis. Daerah ini pun berbatasan dengan Turki.
Saat ini terdapat tiga juta orang yang ditampung di wilayah itu. Sehingga serangan militer Suriah yang didukung oleh Rusia dikhawatirkan akan menimbulkan bencana kemanusiaan.
Namun, para analis menilai akan sulit bagi Turki untuk memastikan para jihadis untuk membersihkan wilayah demiliterisasi dari pertempuran dan senjata berat hanya dalam beberapa minggu saja.
"Saya tak bisa melihat bagaimana Turki bisa memaksa para jihadis mematuhi kesepakatan itu," jelas Fabrice Balanche, pengamat Suriah.
"Mengimplementasikan hasil kesepakatan akan sangat sulit," jelasnya. Ia bahkan memperkirakan bahwa, "gencatan senjata itu akan gagal dan tentara Suriah akan memulai serangan dalam beberapa bulan mendatang."
Dalam kesepakatan itu, disebutkanb bahwa kelompok radikal di Suriah mesti menarik tentara mereka dari zona demiliterisasi yang rencananya akan dimulai pada 15 Oktober mendatang. Kelompok radikal yang dimaksud adalah aliansi Hayat Tahrir al-Sham dan sesama pejihad garis keras lainnya.
Semua pejuang di wilayah itu juga punya waktu hingga 10 Oktober untuk menyerahkan semua senjata berat. Tak terkecuali pejuang yang pro-Ankara, Turki.
Menurut Pengamat Suriah untuk Hak Azasi Manusia, hampir 70 persen dari wilayah demiliterisasi yang direncanakan dikuasai oleh HTS. Kelompok ini didominasi oleh cabang Al-Qaedah di Suriah, atau jihadis lainnya.
Kelompok pengamat yang berbasis di Inggris ini menyebutkan bahwa beberapa faksi di area penyangga ini telah mulai memperkuat posisi alih-alih menarik diri dari wilayah itu.
Koresponden AFP di Idlib menyebut bahwa hingga saaat ini belum ada tanda-tanda adanya senjata berat atau pasukan yang ditarik.
Credit cnnindonesia.com