Ilustrasi pengungsi Rohingya. (Reuters/Danish Siddiqui)
Biksu Buddha, biarawati, umat Kristiani, Muslim, hingga Hindu dilaporkan ikut serta dalam acara yang ditujukan untuk memohon perdamaian di Myanmar, terlebih di negara bagian Rakhine yang selama ini menjadi pusat krisis kemanusiaan.
Diberitakan AFP, sebagian orang di antara kerumunan berjumlah 30 ribu orang itu turut membawa potret pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang kini terus mendapat kecaman dari dunia internasional lantaran dianggap gagal menghentikan kekerasan dan melindungi warganya sendiri.
Kekecewaan memuncak karena selama ini peraih Nobel itu menjadi wajah demokrasi dan perdamaian bagi negara di Asia Tenggara itu.
"Ini adalah upacara yang menunjukkan kepada dunia bahwa seluruh warga dari berbagai penganut agama saling bersahabat dan saling mencintai," ucap Win Maung, anggota parlemen regional partai berkuasa, Liga Demokrasi Nasional (NLD).
Acara solidaritas itu digelar setelah Rakhine yang kembali bergejolak menyusul bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar di wilayah itu pada akhir Agustus lalu.Insiden yang dilaporkan menewaskan 1.000 orang itu pun turut memaksa ratusan ribu warga lainnya mengungsi ke luar Myanmar.
Rohingya telah lama menjadi target diskriminsi dan penindasan di Myanmar setelah etnis minoritas itu tidak dianggap sebagai salah satu suku resmi dalam hukum kewarganegaran 1983.
Tindakan diskriminatif secara sistematis terhadap Muslim Rohingya ini dinilai semakin memperdalam sentimen negatif warga mayoritas terhadap etnis tersebut.
Selama ini, sebagian besar warga Myanmar menganggap Rohingya sebagai Bengali atau imigiran gelap asal Bangladesh yang berniat mengklaim tanah umat Buddha di Myanmar.
Sebagian besar dari Muslim Rohingya pun tidak diakui status kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar, meski tercatat telah tinggal selama beberapa generasi di Rakhine.
Credit cnnindonesia.com