Yohei Kono mendesak Abe untuk menjelaskan
maksudnya untuk mengubah permohonan maaf atas kejahatan perang selama PD
II karena akan berdampak pada hubungan Jepang dengan Korsel dan
Tiongkok. (Reuters/Toru Hanai)
Seperti dilansir Reuters (27/1), Abe mengaku akan tetap mengingat permohonan maaf bersejarah Jepang yang dilontarkan oleh mantan PM Jepang, Tomiichi Murayama, dua dekade lalu itu. Namun, Abe tidak akan merujuk pada kata-kata aslinya.
"Saya ingin menyampaikan pernyataan dengan fokus yang tidak sama dengan sebelumnya, tapi dengan apa yang dipikirkan oleh pemerintahan Abe sekarang," ujar Abe dalam siaran di kantor berita NHK.
Menurut beberapa pihak, pernyataan tersebut bisa jadi merupakan cara Abe untuk melepaskan militer dari belenggu konstitusi pasifis. Anggapan ini merujuk pada kebijakan keamanan Abe untuk menghentikan pelarangan pejuang militer ke luar negeri, memungkinkan ekspor senjata, dan merevisi draf konstitusi pasca-perang AS.
"Abe membicarakan 'kontribusi proaktif dalam perdamaian,' tapi apa maksudnya? Secara sederhana, ini adalah cara gegabah dengan berpikir bahwa itu akan menciptakan perdamaian, meskipun dengan kekuatan militer. Saya memiliki keraguan besar mengenai hal itu, begitu pula warga Jepang," kata Kono.
Permohonan maaf tersebut akan dilontarkan oleh Abe dalam acara peringatan berakhirnya Perang Dunia yang biasa dirayakan pada 15 Agustus. Hingga kini, belum diketahui perubahan apa yang akan dilakukan Abe terhadap pernyataan permohonan maaf itu. Tak ayal, kebingungan melanda warga Jepang.
Menanggapi situasi ini, Kono berkata, "Mengapa Anda harus mengubah kata-katanya? Itu sebabnya orang bingung. Ia harus menghapus kebingungan tersebut dan cara termudah melakukannya adalah dengan tidak mengubah pernyataan maaf Murayama."
Menebar masalah
Jika Abe tetap mengubah permohonan maaf tersebut, kata Kono, hubungan Jepang dengan Korea Selatan terganggu dan berpengaruh kepada Amerika Serikat.
Hubungan Jepang dengan Korsel sempat membeku lantaran adanya perseteruan mengenai "wanita penghibur" yang dirujuk dalam permohonan maaf tersebut, sebagian besar merupakan warga Korsel. Seoul mengatakan bahwa Tokyo tidak melakukan upaya keras untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
Menampik anggapan itu, Jepang berargumen bahwa tidak ada bukti langsung yang menunjukkan campur tangan militer atau pemerintah dalam perdagangan manusia ini.
Sementara itu, hubungan dingin Jepang dengan Tiongkok akibat perebutan wilayah dan persaingan geopolitik sebenarnya sudah mulai hangat sejak KTT November lalu. Namun, luka masa lalu belum pulih.
Kono juga sangat menentang rencana Abe untuk merevisi Pasal 9 konstitusi pasifis.
"Jepang telah memulai awal yang segar pada 70 tahun lalu berdasarkan penyesalan atas perang tragis itu, di mana banyak nyawa melayang dan imbasnya terhadap negara tetangga. Sekarang, warga Jepang khawatir bahwa kita akan mengenyampingkan permintaan maaf dan sejarah tersebut dan menjalani koridor yang sama seperti masa lalu," pungkas Kono.
Credit CNN Indonesia