Pemerintah didesak meningkatkan
kemandirian industri pertahanan agar tak tergantung pada utang luar
negeri. (ANTARA/Yudhi Mahatma)
Namun Ryamizard berkata, tidak seluruh alat tempur TNI dibeli menggunakan dana pinjaman asing.
"Utang luar negeri pasti ada. Tapi kalau sepenuhnya menggunakan dana luar negeri, ya enggak juga," ucap Ryamizard di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/3).
Ryamizard mengatakan, Kementerian Pertahanan tidak pernah memaksakan pembelian alutsista jika pemerintah tidak menyediakan anggaran.
"Yang penting adalah rakyat. Tapi kalau masih bisa membeli dan tidak menyusahkan rakyat, apa salahnya?" kata Ryamizard.
Saat berkunjung ke Markas Komando Pasukan Khusus di Jakarta pekan lalu, politikus Partai Keadilan Sejahtera itu berkata, pemerintah memerlukan sumber dana lain untuk membeli alutsista.
"Anggaran dari APBN atau rupiah murni tidak akan memadai kebutuhan TNI. Kami masih memerlukan sumber lain yaitu pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri, khususnya untuk modernisasi alutsista," kata Mahfudz.
Sementara pengamat pertahanan dari Universitas Padjajaran, Muradi, menilai pemerintah harus terus mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri pada pengadaan alutsista.
Muradi mengatakan pinjaman luar negeri, terutama yang disediakan broker, hanya akan membebani keuangan negara. Tingginya bunga yang ditetapkan broker menjadi alasannya.
Muradi menuturkan, pemerintah harus segera meningkatkan kemandirian industri pertahanan nasionial untuk menghindari pinjaman luar negeri. "Agar utang luar negeri tidak menjadi yang utama," kata dia.
Tak hanya kemandirian, menurut Muradi, Presiden Joko Widodo harus mewujudkan komitmennya menyediakan anggaran pertahanan sebesar 1,5 persen dari produk domestik bruto pada tahun 2020.
"Kalau naik lebih cepat, itu lebih baik agar ketergantungan pada pinjaman luar negeri berkurang. Terkadang, pemerintah hanya membayar uang muka pembelian, sisanya pakai utang," ujar Muradi.
Credit CNN Indonesia