Ilustrasi kilang minyak mentah. (Foto: Okezone)
JAKARTA (CB) - Pembangunan kilang minyak di Indonesia tidak kunjung terlaksana, padahal rata-rata usia kilang minyak di Indonesia sudah sangat tua. Akibatnya, Indonesia harus lebih banyak mengimpor minyak.
"Nah, di kilang kita sudah tahu 52 persen rata-rata produk itu impor. Kapasitas kilang 20
tahun lalu sampai sekarang tidak pernah tambah. Poinnya, konsumen naik
terus," kata Direktur PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang kepada Okezone di Jakarta.
Menurut AB, untuk permasalahan kilang minyak ini dapat dijalankan dengan dua skenario yaitu yang pertama adalah kilang-kilang tua harus di extend modernisasi, sehingga complexity index-nya naik.
"Secondary process-nya dimodernisasi, primary process cdu (crude distillation unit)-nya ditambah dengan complexity indexnya jauh lebih bagus ke arah angka 9. Dan itu bisa bersaing. Dari produksi yang rata-rata dulu 100 lebih misalnya 104-an misalnya akan drop ke 94-an. Kita bisa bersaing tanpa ongkos angkut," jelas dia.
"Dengan itu sudah dua kali lipat dari 800 ribu bph jadi 1,6 juta bph. Itu cukup untuk sekarang, tapi antisipasi ke depan itu perlu bangun lagi. Proyek itu cukup untuk sekarang pun jadinya bukan sekarang. Artinya, akan nambah dua kilang lagi baru," tambah dia.
Menurutnya penambahan kilang ini, harus dibicarakan lebih lanjut karena membangun kilang tidak semudah melakukan modernisasi. Dia mengatakan, masalah utama dalam membangun kilang adalah pembebasan lahan. "Bukan masalah itu (uang). Pertama masalah lahan. Bukan masalah gampang itu," jelasnya.
Menurutnya, pembangunan kilang di Bontang, Kalimantan Timur memang tengah dikaji lebih dalam. Pasalnya harus melihat potensial konsumen dengan keberadaan wilayah tersebut.
"Konsumennya kan konsentrasinya daerah Jawa, Indonesia Barat dan timur. Ada tanah tapi kalau ongkos angkutnya mahal ini yang lagi dikaji. Kita juga punya Tuban kan. Tuban bisa untuk wilayah yang Indonesia Barat. Yang timur, harusnya sekitar Sulawesi, Lombok, masuk ke sana. Jadi kira-kira ke sana yang complex," tukas dia.
Credit OkeZone
Menurut AB, untuk permasalahan kilang minyak ini dapat dijalankan dengan dua skenario yaitu yang pertama adalah kilang-kilang tua harus di extend modernisasi, sehingga complexity index-nya naik.
"Secondary process-nya dimodernisasi, primary process cdu (crude distillation unit)-nya ditambah dengan complexity indexnya jauh lebih bagus ke arah angka 9. Dan itu bisa bersaing. Dari produksi yang rata-rata dulu 100 lebih misalnya 104-an misalnya akan drop ke 94-an. Kita bisa bersaing tanpa ongkos angkut," jelas dia.
"Dengan itu sudah dua kali lipat dari 800 ribu bph jadi 1,6 juta bph. Itu cukup untuk sekarang, tapi antisipasi ke depan itu perlu bangun lagi. Proyek itu cukup untuk sekarang pun jadinya bukan sekarang. Artinya, akan nambah dua kilang lagi baru," tambah dia.
Menurutnya penambahan kilang ini, harus dibicarakan lebih lanjut karena membangun kilang tidak semudah melakukan modernisasi. Dia mengatakan, masalah utama dalam membangun kilang adalah pembebasan lahan. "Bukan masalah itu (uang). Pertama masalah lahan. Bukan masalah gampang itu," jelasnya.
Menurutnya, pembangunan kilang di Bontang, Kalimantan Timur memang tengah dikaji lebih dalam. Pasalnya harus melihat potensial konsumen dengan keberadaan wilayah tersebut.
"Konsumennya kan konsentrasinya daerah Jawa, Indonesia Barat dan timur. Ada tanah tapi kalau ongkos angkutnya mahal ini yang lagi dikaji. Kita juga punya Tuban kan. Tuban bisa untuk wilayah yang Indonesia Barat. Yang timur, harusnya sekitar Sulawesi, Lombok, masuk ke sana. Jadi kira-kira ke sana yang complex," tukas dia.
Credit OkeZone