Hingga akhirnya pada 1986, 57 tahun kemudian, para arkeolog mengekskavasi harta karun dari Zaman Perunggu dari 2 lubang. Ada batu-batu giok, sekitar 100 gading gajah, dan patung perunggu mengagumkan setinggi 2,4 meter -- yang menunjukkan kemampuan teknis luar biasa yang tak ada tandingannya di seluruh dunia, pada masanya. Demikian diungkap Peter Keller, seorang ahli geologi sekaligus Presiden Bowers Museum di Santa Ana, California yang sedang memamerkan temuan tersebut.
Harta karun tersebut, yang diduga sengaja dirusak dan dikubur seakan-akan adalah bagian dari ritual pengorbanan -- adalah tinggalan dari sebuah peradaban yang hilang, yang kini disebut sebagai Sanxingdui, kota yang dikelilingi tembok di tepian Sungai Minjiang. "Itu adalah sebuah misteri besar," kata Keller seperti dikutip dari situs sains LiveScience, Kamis (25/12/2014)
Para ahli kini menemukan jawaban atas misteri penyebab hilangnya peradaban tersebut. Yakni, sebuah gempa bumi dahsyat yang terjadi sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Guncangan lindu tersebut diduga menyebabkan longsor katastropik, yang menghilangkan akses ke sumber utama air bersih, sehingga menyebabkan kebudayaan Sanxingdui harus berpindah ke lokasi yang baru.
Peristiwa itu diduga mendorong kebudayaan kuno di Tiongkok itu untuk berpindah makin dekat ke aliran sungai yang baru. Demikian ujar salah satu penulis studi, Niannian Fan, ahli dari Tsinghua University, Chengdu di pertemuan American Geophysical Union di San Francisco, AS.
Para arkeolog kini yakin, kebudayaan tersebut terpecah antara 3.000 sampai 2.800 tahun yang lalu.
"Penjelasan awal bahwa ia akhirnya punah akibat perang dan banjir, keduanya tidak meyakinkan," kata Fan kepada LiveScience.
Sekitar 14 tahun lalu, para arkeolog menemukan reruntuhan sebuah kota kuno lain yang disebut Jinsha yang terletak di dekat Chengdu. Meski situs itu tak memiliki kerajinan perunggu mengesankan ala Sanxingdui, namun di sana ditemukan mahkota emas yang diukir dengan motif ikan, panah, dan burung -- mirip dengan karya dari emas yang ditemukan di Sanxingdui.
Temuan itu membuat sejumlah ahli yakin, orang-orang dari Sanxingdui mungkin pindah ke Jinsha.
Aliran Sungai Berubah Arah?
Fan dan para koleganya menduga gempa telah menyebabkan longsor yang membendung sungai di pegunungan dan aliran airnya beralih ke Jinsha. Bencana itu mungkin mengurangi suplai air ke Sanxingdui dan memaksa warganya pindah.
Sejumlah catatan historis mendukung hipotesis tersebut. Pada 1099 SM, seorang penulis mencatat peristiwa gempa yang terjadi di ibukota pemerintahan Dinasti Zhou, di Provinsi Shaanxi.
Meski jarak ibukota berada 400 km dari Sanxingdui, bisa jadi episentrum gempa berada lebih dekat dengan pusat kebudayaan yang hilang itu.
Bukti geologis, ujar Fan, juga menguatkan bukti bahwa lindu mengguncang area tersebut antara 3.330 dan 2.200 tahun lalu.
Pada waktu yang sama, sedimen geologis memberikan petunjuk terjadinya banjir besar. Dokumen dari masa Dinasti Han, "The Chronicles of the Kings of Shu" mencatat peristiwa banjir kuno yang mengalir dari gunung -- di titik di mana aliran sungai berubah arah.
Kesimpulannya: gempa dahsyat memicu longsor yang mengubur sungai, mengubah alirannya, dan mengurangi aliran air menuju Sanxingdui.
Tapi, di mana aliran sungai yang beralih itu? Tim menemukan petunjuk di area pegunungan tunggi, tepatnya di Jurang Yanmen yang dalam dan lebar, di ketinggian 12.460 di atas permukaan air laut.
Jurang tersebut diukir oleh gletser sekitar 12.000 tahun yang lalu. Sungai di zaman modern memotong melaluinya.
Namun, tanda-tanda erosi glasial itu -- cekungan berbentuk mangkuk yang dikenal sebagai cirques -- secara misterius menghilang. Tim berpendapat, gempa memicu longsoran yang kemudian menyapu beberapa cirques sekitar 3.000 tahun yang lalu.
Pada titik ini, teori tersebut masih sangat spekulatif. Data geologi tambahan diperlukan untuk menopangnya.
Meski dari sisi geologi ada titik terang, Keller mengatakan, pernyataan utama dari peradaban yang hilang itu masih jadi misteri: "Apa motif orang-orang itu menghancurkan seluruh kebudayaan mereka dan menguburnya dalam 2 lubang? Mengapa mereka tidak memunculkan budaya itu di Jinsha?".
Credit Liputan6.com