Roket baru bernama Ariane 6 sedang
dibicarakan oleh para Menteri Riset negara Eropa yang tergabung dalam
Badan Antariksa Eropa (Reuters/NASA/Alexander Gerst)
Roket bernama Ariane 6 ini ditargetkan agar dapat digunakan pada 2020 mendatang untuk menggantikan Ariane 5 yang hingga saat ini masih beroperasi.
Dikutip dari AsiaOne, ESA menilai bahwa pembuatan Ariane 6 ini dapat menghemat biaya di Eropa hingga 50 milar euro atau setara dengan Rp 763 miliar.
"Sebuah perdebatan besar telah terjadi tentang proyek ini dan kami yakin bahwa itu adalah proyek yang baik," kata Menteri Ekonomi Jerman, Sigmar Gabriel.
Pada Selasa (2/12), para Menteri Riset dari Eropa akan berkumpul di Luxembourg untuk menyelesaikan masa depan roket Ariane 6 serta keterlibatan negara Eropa dalam mengelola Stasiun Ruang Angkasa Internasional (International Space Station/ISS)
Keputusan untuk menjalankan proyek ini menjadi sangat penting mengingat ESA harus memastikan bahwa mereka masih layak berkompetisi dan dapat mengejar ketertinggalan dari pihak swasta yang ikut memproduksi roket antariksa seperti SpaceX.
Anggaran, tentu menjadi perdebatan utama bagi negara-negara Eropa terkait proyek eksplorasi antariksa. Hal ini juga melibatkan kalangan swasta.
Perancis nampaknya akan menjadi negara yang akan memberi sumbangan paling besar untuk proyek ini. Mereka memerlukan dukungan finansial dari Jerman beserta para pemrogramnya.
Airbus, sebagai perusahaan yang ikut terlibat dalam pembuatan Ariane 5, berharap proyek ini dapat terealisasi untuk mengembangkan eksplorasi ruang angkasa.
"Metode dan proyek baru ini diperlukan agar ESA tetap kompetitif," ujar Tom Enders, Chief Executive Airbus Group.
ESA saat ini memang sedang gencar membuat beberapa proyek ruang angkasa. Ini dilakukan agar ESA yang menjadi pusat penelitian ruang angkasa di Eropa tidak tertinggal dan dapat bersaing dengan NASA sebagai salah satu lembaga antariksa yang paling diperhitungkan.
Bahkan, ESA beberapa waktu lalu telah berhasil melakukan misi Rosetta, proyek jangka panjang yang dilakukan selama 10 tahun untuk mendaratkan pesawat robotika tanpa awak di permukaan komet.
Credit CNN Indonesia