GAZA
- Razan al-Najjar, nama perawat cantik asal Khuzaa, Jalur Gaza,
Palestina. Media internasional menyoroti kiprah perempuan 21 tahun yang
ditembak mati sniper Israel tersebut saat menjalankan tugas kemanusiaan di tengah-tengah demonstran "Great March of Return" di Gaza.
Di saat para perempuan seusianya menikmati hidup dengan pergi ke kelab, shopping, atau hal-hal remeh lainnya, Najjar memilih menjalani hidup yang berbeda. Dia bertaruh untuk menyelamatkan para demonstran yang terluka oleh bidikan senjata sniper-sniper militer Israel.
Publik Gaza menjulukinya "guardian angel" atau "malaikat pelindung". Julukan itu melekat karena kiprahnya dalam menyelamatkan para demonstran Palestina yang terluka oleh tembakan pasukan Israel.
Di saat para perempuan seusianya menikmati hidup dengan pergi ke kelab, shopping, atau hal-hal remeh lainnya, Najjar memilih menjalani hidup yang berbeda. Dia bertaruh untuk menyelamatkan para demonstran yang terluka oleh bidikan senjata sniper-sniper militer Israel.
Publik Gaza menjulukinya "guardian angel" atau "malaikat pelindung". Julukan itu melekat karena kiprahnya dalam menyelamatkan para demonstran Palestina yang terluka oleh tembakan pasukan Israel.
Foto/Anadolu
Protes massal bertajuk "Great March of Return" adalah gerakan warga Palestina untuk kembali ke tanah kelahirannya yang diduduki Israel, sejak negara Yahudi itu berdiri.
Najjar, sang sukarelawan medis Gaza, tersungkur setelah peluru sniper Israel menembus dadanya pada hari Jumat (1/6/2018). Peluru penembak runduk rezim Zionis itu dilaporkan menghantam jantung perawat cantik tersebut.
Jauh hari sebelum kematiannya, dia bercerita sekilas mengapa memilih menjalani hidup yang sangat berbahaya ini. Najjar ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki peran dalam masyarakat konservatif Palestina di Gaza.
"Menjadi tenaga medis bukan hanya pekerjaan untuk seorang pria," katanya, saat wawancara dengan The New York Times di kamp demonstran Gaza bulan lalu. "(Profesi) ini untuk wanita juga."
Saksi mata bernama Ibrahim al-Najjar, 30, mengatakan, satu jam sebelum senja pada hari Jumat atau minggu ke-10 dari protes massal, perawat dengan mantel putih itu berlari ke garis depan untuk menyelamatkan seorang demonstran yang kepalanya dihantam oleh tabung gas air mata Israel.
Protes massal bertajuk "Great March of Return" adalah gerakan warga Palestina untuk kembali ke tanah kelahirannya yang diduduki Israel, sejak negara Yahudi itu berdiri.
Najjar, sang sukarelawan medis Gaza, tersungkur setelah peluru sniper Israel menembus dadanya pada hari Jumat (1/6/2018). Peluru penembak runduk rezim Zionis itu dilaporkan menghantam jantung perawat cantik tersebut.
Jauh hari sebelum kematiannya, dia bercerita sekilas mengapa memilih menjalani hidup yang sangat berbahaya ini. Najjar ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki peran dalam masyarakat konservatif Palestina di Gaza.
"Menjadi tenaga medis bukan hanya pekerjaan untuk seorang pria," katanya, saat wawancara dengan The New York Times di kamp demonstran Gaza bulan lalu. "(Profesi) ini untuk wanita juga."
Saksi mata bernama Ibrahim al-Najjar, 30, mengatakan, satu jam sebelum senja pada hari Jumat atau minggu ke-10 dari protes massal, perawat dengan mantel putih itu berlari ke garis depan untuk menyelamatkan seorang demonstran yang kepalanya dihantam oleh tabung gas air mata Israel.
Foto/Anadolu
Namun, siapa sangka aksi penyelamatan itu menjadi misi terakhir bagi Najjar. Sebab, saat menolong demonstran yang terluka tersebut, sniper Israel menembakkan dua hingga tiga peluru dari seberang pagar perbatasan. Tembakan itu menghantam tubuh Najjar bagian atas. Dia dinyatakan meninggal tak lama kemudian.
Perawat cantik ini tercatat sebagai orang Palestina ke-119 yang tewas sejak protes massal dimulai bulan Maret lalu.
Namun, siapa sangka aksi penyelamatan itu menjadi misi terakhir bagi Najjar. Sebab, saat menolong demonstran yang terluka tersebut, sniper Israel menembakkan dua hingga tiga peluru dari seberang pagar perbatasan. Tembakan itu menghantam tubuh Najjar bagian atas. Dia dinyatakan meninggal tak lama kemudian.
Perawat cantik ini tercatat sebagai orang Palestina ke-119 yang tewas sejak protes massal dimulai bulan Maret lalu.
Militer Israel pada hari Sabtu (2/6/2018) mengatakan bahwa kasus kematian Najjar akan diselidiki.
"Militer telah berulang kali memperingatkan warga sipil agar tidak mendekati pagar dan mengambil bagian dalam insiden kekerasan dan serangan teroris dan akan terus bertindak secara profesional dan bertekad untuk melindungi warga sipil Israel dan infrastruktur keamanan Israel," bunyi pernyataan militer rezim Zionis tersebut.
Saksi lain dan Kementerian Kesehatan Gaza memberikan laporan dengan versi yang sedikit berbeda. Menurut mereka, Najjar dan paramedis lain berjalan menuju pagar dengan kondisi mengangkat tangan. Aksi angkat tangan itu berlangsung selama upaya mengevakuasi para pengunjuk rasa yang terluka, tapi Najjar ditembak di dada.
Foto/Haaretz
Najjar dikenal sebagai perawat asal Khuzaa, sebuah desa pertanian yang dekat perbatasan Israel. Alamat persisnya di sebelah timur Khan Younis di Jalur Gaza selatan. Ayahnya, Ashraf al-Najjar, pernah memiliki sebuah toko suku cadang sepeda motor. Namun, toko itu hancur akibat serangan udara Israel selama perang Israel dengan Hamas tahun 2014. Sejak tokonya hancur, ayah Najjar menganggur.
Sebagai anak tertua dari enam bersaudara, Najjar tidak cukup beruntung dalam ujian sekolah menengah untuk melanjutkan studi di universitas. Menurut ayahnya, dia dilatih selama dua tahun sebagai paramedis di rumah sakit Nasser di Khan Younis dan menjadi sukarelawan dari Lembaga Bantuan Medis Palestina, sebuah organisasi kesehatan nonpemerintah.
Ashraf al-Najjar, 44, mengatakan bahwa putrinya bangun sebelum fajar pada hari Jumat untuk makan sahur dan berdoa sebelum memulai puasa Ramadhan. Itu adalah momen terakhir kali dia melihat putrinya.
Bulan lalu, Ashraf menemui putrinya di sebuah kamp protes di Khan Younis. Dia bilang kepada putrinya bahwa dia bangga atas kiprahnya.
"Kami memiliki satu tujuan," kata perawat muda itu."Untuk menyelamatkan nyawa dan mengevakuasi orang. Dan mengirim pesan ke dunia: 'Tanpa senjata, kita bisa melakukan apa saja'," kata Najjar kala itu.
Kematian perawat itu menjadi duka bagi ribuan warga Palestina. Proses pemakamannya pada hari Sabtu diiringi ribuan pelayat di negaranya.
Credit sindonews.com