Rabu, 23 Mei 2018

Venezuela Usir Dua Diplomat AS


Presiden Venezuela Nicolas Maduro
Presiden Venezuela Nicolas Maduro
Foto: Reuters

Pengusiran diplomat ini sebagai tanggapan atas sanksi yang dijatuhkan AS




REPUBLIKA.CO.ID, KARAKAS -- Presiden Venezuela Nicolas Maduro memerintahkan pengusiran dua diplomat AS di Karakas, pada Selasa (22/5). Perintah ini merupakan bagian dari tanggapan atas sanksi yang dijatuhkan AS setelah Venezuela menyelenggarakan pemilu pada Ahad (20/5) lalu.

Maduro menuduh diplomat AS Todd Robinson telah terlibat dalam konspirasi militer. Maduro kemudian memintanya untuk meninggalkan Venezuela bersama dengan seorang diplomat senior Brian Naranjo, dalam kurun waktu 48 jam.

Dia tidak memberikan rincian tentang tuduhan itu. Namun menurutnya Kedutaan Besar AS telah ikut campur dalam masalah militer, ekonomi, dan politik negara, dan ia bersumpah akan segera memberikan bukti.

"Baik dengan konspirasi maupun dengan sanksi, Anda akan tetap menyerang Venezuela," kata Maduro, dalam sebuah acara di pusat kota Karakas, Selasa (22/5).

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert telah menolak tuduhan Maduro terhadap kedua diplomat itu, dengan menyebutnya tuduhan palsu. Diplomat Robinson juga membantahnya dalam sebuah pidato singkat pada Selasa (22/5) sore di Kota Merida, Venezuela barat.

"Kami dengan penuh semangat menolak tuduhan terhadap saya dan Brian Naranjo. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Merida, tetapi tidak akan menjadi yang terakhir," ujar Robinson.

AS, Uni Eropa, dan sebagian besar negara-negara Amerika Latin telah menyatakan pemungutan suara dalam pemilu Venezuela tidak memenuhi standar demokratis. Terlebih Maduro sebagai pejawat mampu memenangkannya kembali dengan mudah.

Sejumlah pihak menilai pemungutan suara dalam pemilu tersebut penuh dengan ketidakberesan. Selain ada pembatasan bagi dua tokoh oposisi populer untuk mencalonkan diri, kubu Maduro juga dilaporkan telah menawarkan hadiah kepada para pemilih.

Koalisi oposisi telah memboikot hasil resmi pemungutan suara. Mereka menyebutnya sebagai penipuan yang bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan Maduro. Maduro, yang masa jabatan keduanya akan dimulai Januari tahun depan, berhasil memenangkan 68 persen suara.

Mantan gubernur negara bagian Henri Falcon, yang melanggar boikot untuk menantang Maduro dalam pemilu, mengatakan dia telah menerima ratusan pengaduan adanya kecurangan. Jumlah pemilih kurang dari 50 persen, dibandingkan dengan 2013 sebesar 80 persen.

Presiden AS Donald Trump kemudian menandatangani sebuah perintah eksekutif pada Senin (21/5), untuk membatasi kemampuan Venezuela dalam menjual aset negara. Perintah eksekutif itu melarang warga AS untuk terlibat dalam penjualan faktur Venezuela terkait dengan minyak dan aset lainnya, meskipun pengiriman bahan bakar dan minyak mentah ke AS masih akan terus berlanjut.

Dalam sebuah wawancara pada Selasa (22/5), Menteri Perdagangan Venezuela Jose Vielma mengatakan sanksi baru AS itu akan memiliki dampak yang lebih serius pada sistem keuangan negara. Sanksi AS sebelumnya hanya terbatas pada aset yang dikaitkan dengan anggota pemerintahan Maduro secara individu.

Sanksi kali ini tampaknya akan menargetkan Citgo, perusahaan pengilangan minyak berbasis AS yang dimiliki oleh perusahaan minyak negara Venezuela PDVSA. Adanya hambatan bagi kemampuan PDVSA untuk menjual minyak ke luar negeri dapat membatasi pemasukan devisa yang sudah berkurang, hingga akan memperburuk krisis ekonomi Venezuela.

Pemerintahan Trump juga berusaha meyakinkan Cina dan Rusia untuk menghentikan pemberian kredit baru kepada Venezuela. Kedua negara itu telah menyediakan dana miliaran dolar untuk Venezuela dalam beberapa tahun terakhir.

Cina dan Rusia tampaknya tidak akan memperhatikan peringatan AS. Pada Selasa (22/5), Beijing mengatakan AS dan Venezuela harus menyelesaikan perbedaan mereka melalui perundingan, sementara Moskow mengatakan tidak akan mematuhi sanksi.




Credit  republika.co.id