Pengusiran diplomat ini sebagai tanggapan atas sanksi yang dijatuhkan AS
REPUBLIKA.CO.ID,
KARAKAS -- Presiden Venezuela Nicolas Maduro memerintahkan pengusiran
dua diplomat AS di Karakas, pada Selasa (22/5). Perintah ini merupakan
bagian dari tanggapan atas sanksi yang dijatuhkan AS setelah Venezuela
menyelenggarakan pemilu pada Ahad (20/5) lalu.
Maduro menuduh diplomat AS Todd Robinson telah terlibat dalam
konspirasi militer. Maduro kemudian memintanya untuk meninggalkan
Venezuela bersama dengan seorang diplomat senior Brian Naranjo, dalam
kurun waktu 48 jam.
Dia tidak memberikan rincian tentang
tuduhan itu. Namun menurutnya Kedutaan Besar AS telah ikut campur dalam
masalah militer, ekonomi, dan politik negara, dan ia bersumpah akan
segera memberikan bukti.
"Baik dengan konspirasi maupun
dengan sanksi, Anda akan tetap menyerang Venezuela," kata Maduro, dalam
sebuah acara di pusat kota Karakas, Selasa (22/5).
Juru
bicara Departemen Luar Negeri AS Heather Nauert telah menolak tuduhan
Maduro terhadap kedua diplomat itu, dengan menyebutnya tuduhan palsu.
Diplomat Robinson juga membantahnya dalam sebuah pidato singkat pada
Selasa (22/5) sore di Kota Merida, Venezuela barat.
"Kami
dengan penuh semangat menolak tuduhan terhadap saya dan Brian Naranjo.
Ini adalah kunjungan pertama saya ke Merida, tetapi tidak akan menjadi
yang terakhir," ujar Robinson.
AS, Uni Eropa, dan sebagian
besar negara-negara Amerika Latin telah menyatakan pemungutan suara
dalam pemilu Venezuela tidak memenuhi standar demokratis. Terlebih
Maduro sebagai pejawat mampu memenangkannya kembali dengan mudah.
Sejumlah
pihak menilai pemungutan suara dalam pemilu tersebut penuh dengan
ketidakberesan. Selain ada pembatasan bagi dua tokoh oposisi populer
untuk mencalonkan diri, kubu Maduro juga dilaporkan telah menawarkan
hadiah kepada para pemilih.
Koalisi oposisi telah memboikot
hasil resmi pemungutan suara. Mereka menyebutnya sebagai penipuan yang
bertujuan untuk melegitimasi kekuasaan Maduro. Maduro, yang masa jabatan
keduanya akan dimulai Januari tahun depan, berhasil memenangkan 68
persen suara.
Mantan gubernur negara bagian Henri Falcon,
yang melanggar boikot untuk menantang Maduro dalam pemilu, mengatakan
dia telah menerima ratusan pengaduan adanya kecurangan. Jumlah pemilih
kurang dari 50 persen, dibandingkan dengan 2013 sebesar 80 persen.
Presiden
AS Donald Trump kemudian menandatangani sebuah perintah eksekutif pada
Senin (21/5), untuk membatasi kemampuan Venezuela dalam menjual aset
negara. Perintah eksekutif itu melarang warga AS untuk terlibat dalam
penjualan faktur Venezuela terkait dengan minyak dan aset lainnya,
meskipun pengiriman bahan bakar dan minyak mentah ke AS masih akan terus
berlanjut.
Dalam sebuah wawancara pada Selasa (22/5),
Menteri Perdagangan Venezuela Jose Vielma mengatakan sanksi baru AS itu
akan memiliki dampak yang lebih serius pada sistem keuangan negara.
Sanksi AS sebelumnya hanya terbatas pada aset yang dikaitkan dengan
anggota pemerintahan Maduro secara individu.
Sanksi kali
ini tampaknya akan menargetkan Citgo, perusahaan pengilangan minyak
berbasis AS yang dimiliki oleh perusahaan minyak negara Venezuela PDVSA.
Adanya hambatan bagi kemampuan PDVSA untuk menjual minyak ke luar
negeri dapat membatasi pemasukan devisa yang sudah berkurang, hingga
akan memperburuk krisis ekonomi Venezuela.
Pemerintahan
Trump juga berusaha meyakinkan Cina dan Rusia untuk menghentikan
pemberian kredit baru kepada Venezuela. Kedua negara itu telah
menyediakan dana miliaran dolar untuk Venezuela dalam beberapa tahun
terakhir.
Cina dan Rusia tampaknya tidak akan memperhatikan
peringatan AS. Pada Selasa (22/5), Beijing mengatakan AS dan Venezuela
harus menyelesaikan perbedaan mereka melalui perundingan, sementara
Moskow mengatakan tidak akan mematuhi sanksi.