BANGKOK
- Empat tahun setelah kudeta militer, pemerintahan junta Thailand belum
menunjukkan sinyal akan menggelar pesta demokrasi. Perdana Menteri (PM)
Prayuth Chan-Ocha justru menunda kembali pemilu dan berjanji akan
menggelarnya pada awal 2019.
Padahal, Thailand sudah terbelah dalam dua kubu politik. Mereka yang berpihak kepada pemerintahan junta, dan mereka yang menentangnya. Segala upaya pemerintahan junta untuk melakukan reformasi dan rekonsiliasi hanya menjadi janji manis semata. Pemilu sebagai solusi Thailand juga selalu ditunda.
“Saya sudah mengatakan kalau semuanya harus mengikuti langkah saya dan pemilu akan digelar pada awal 2019,” kata Prayuth kemarin dilansir Reuters. “Pemilu tidak akan digelar secepatnya,” imbuhnya.
Prayuth telah berjanji menggelar pemilu sejak 2015, tapi janji itu terus menerus ditunda. Itulah yang dipermasalahan oleh kubu pro-demokrasi. “Orang-orang itu (para demonstran) telah menunjukkan pandangan mereka berulang kali dan kita tidak akan mengambil sikap apa yang mereka katakana dengan kemampuan kita,” terangnya.
Hal itu menjadi jawaban atas tuntutan ratusan demonstran anti-pemerintah yang menggelar aksi kemarin di Bangkok. Belum ada kepastian tanggal kapan pemilu akan digelar. Hanya saja, kabar yang beredar pemilu akan digelar pada Februari mendatang.
Para demonstran kemarin menggelar aksi menuju kantor perdana menteri dan berangkat dari Universitas Thammasat. Namun, mereka dihadang ratusan polisi yang berseragam hitam. Aksi unjuk rasa itu termasuk jarang dilaksanakan. Demonstrasi itu menandai empat tahun peringatan kudeta yang dipimpin Prayuth saat menjadi panglima militer.
Sementara delapan pemimpin pro-demokrasi kemarin menyerahkan diri setelah polisi memblokade aksi unjuk rasa yang menentukan pemilu dipercepat. Sekitar 500 demonstrasi berhadapan dengan 3.000 polisi yang hendak membubarkan aksi itu. Para demonstrasi ingin pemilu tetap dilaksanakan pada November tahun.
Aksi itu dilaksanakan di tengah kekuasaan militer yang mengekang kebebasan berbicara dan berekspresi di Thailand. Kelompok pemerhati hak asasi manusia (HAM) menyatakan pemerintahan junta militer menyalahgunakan undang-undang yang represif untuk menekan kaum pro-demokrasi.
Para demonstran membawa bendera Thailand dan kartun bergambang Prayuth dengan hidung panjang seperti Pinokio. Mereka sebenarnya berusaha menekan polisi, tetapi aksi itu gagal. Kawasan di sekitar kantor PM dan pemerintahan dideklarasikan sebagai zona larangan demonstrasi. Pemerintah junta juga melarang warganya untuk berdemonstrasi atau berkumpul lebih dari empat orang.
Rangsiman Rome, 26, pemimpin demonstran yang menyerahkan diri ke polisi, menyerukan aktivis untuk kembali ke rumah. “Kita telah sukses,” kata Rangsiman. Demonstrasi ini, kata dia, seharusnya menguatkan rakyat Thailand untuk bahu membahu melanjutkan perjuangan.
Dua demonstran ditangkap di dekat kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Polisi mengatakan mereka melanggar hukum, tetapi aparat keamanan tidak menjabarkan dengan detail.Pemerintahan Junta Militer Thailand mengatakan mereka akan menjatuhkan dakwaan terhadap lima pemimpin demonstrasi yang menggelar pertemuan ilegal.
Pemerintahan junta kini menghadapi persepsi buruk berdasarkan jajak pendapat internasional dan domestik. Deputi PM Prawit Wongsuwan membela diri atas apa saja yang dilakukan junta militer. “PM telah bekerja keras. Selama empat tahun, pemerintahan telah bekerja setiap hari,” kata Prawit.
Namun, Suchada Saebae, 55, pedagang di pasar, mengaku tidak setuju. “Saya pikir pemerintahan junta telah melakukan pekerjaan sampah selama empat tahun terakhir,” jelasnya Suchada.
Padahal, Thailand sudah terbelah dalam dua kubu politik. Mereka yang berpihak kepada pemerintahan junta, dan mereka yang menentangnya. Segala upaya pemerintahan junta untuk melakukan reformasi dan rekonsiliasi hanya menjadi janji manis semata. Pemilu sebagai solusi Thailand juga selalu ditunda.
“Saya sudah mengatakan kalau semuanya harus mengikuti langkah saya dan pemilu akan digelar pada awal 2019,” kata Prayuth kemarin dilansir Reuters. “Pemilu tidak akan digelar secepatnya,” imbuhnya.
Prayuth telah berjanji menggelar pemilu sejak 2015, tapi janji itu terus menerus ditunda. Itulah yang dipermasalahan oleh kubu pro-demokrasi. “Orang-orang itu (para demonstran) telah menunjukkan pandangan mereka berulang kali dan kita tidak akan mengambil sikap apa yang mereka katakana dengan kemampuan kita,” terangnya.
Hal itu menjadi jawaban atas tuntutan ratusan demonstran anti-pemerintah yang menggelar aksi kemarin di Bangkok. Belum ada kepastian tanggal kapan pemilu akan digelar. Hanya saja, kabar yang beredar pemilu akan digelar pada Februari mendatang.
Para demonstran kemarin menggelar aksi menuju kantor perdana menteri dan berangkat dari Universitas Thammasat. Namun, mereka dihadang ratusan polisi yang berseragam hitam. Aksi unjuk rasa itu termasuk jarang dilaksanakan. Demonstrasi itu menandai empat tahun peringatan kudeta yang dipimpin Prayuth saat menjadi panglima militer.
Sementara delapan pemimpin pro-demokrasi kemarin menyerahkan diri setelah polisi memblokade aksi unjuk rasa yang menentukan pemilu dipercepat. Sekitar 500 demonstrasi berhadapan dengan 3.000 polisi yang hendak membubarkan aksi itu. Para demonstrasi ingin pemilu tetap dilaksanakan pada November tahun.
Aksi itu dilaksanakan di tengah kekuasaan militer yang mengekang kebebasan berbicara dan berekspresi di Thailand. Kelompok pemerhati hak asasi manusia (HAM) menyatakan pemerintahan junta militer menyalahgunakan undang-undang yang represif untuk menekan kaum pro-demokrasi.
Para demonstran membawa bendera Thailand dan kartun bergambang Prayuth dengan hidung panjang seperti Pinokio. Mereka sebenarnya berusaha menekan polisi, tetapi aksi itu gagal. Kawasan di sekitar kantor PM dan pemerintahan dideklarasikan sebagai zona larangan demonstrasi. Pemerintah junta juga melarang warganya untuk berdemonstrasi atau berkumpul lebih dari empat orang.
Rangsiman Rome, 26, pemimpin demonstran yang menyerahkan diri ke polisi, menyerukan aktivis untuk kembali ke rumah. “Kita telah sukses,” kata Rangsiman. Demonstrasi ini, kata dia, seharusnya menguatkan rakyat Thailand untuk bahu membahu melanjutkan perjuangan.
Dua demonstran ditangkap di dekat kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Polisi mengatakan mereka melanggar hukum, tetapi aparat keamanan tidak menjabarkan dengan detail.Pemerintahan Junta Militer Thailand mengatakan mereka akan menjatuhkan dakwaan terhadap lima pemimpin demonstrasi yang menggelar pertemuan ilegal.
Pemerintahan junta kini menghadapi persepsi buruk berdasarkan jajak pendapat internasional dan domestik. Deputi PM Prawit Wongsuwan membela diri atas apa saja yang dilakukan junta militer. “PM telah bekerja keras. Selama empat tahun, pemerintahan telah bekerja setiap hari,” kata Prawit.
Namun, Suchada Saebae, 55, pedagang di pasar, mengaku tidak setuju. “Saya pikir pemerintahan junta telah melakukan pekerjaan sampah selama empat tahun terakhir,” jelasnya Suchada.
Amnesty International mengatakan pemerintahan junta menggunakan undang-undang represif untuk mengekang kritik. “Otoritas terus menggunakan hukum represif dan dekrit untuk menarget pembela HAM, aktivis, dan oposisi. Padahal, mereka mempertahankan kebebasan berekspresi dan berkumpul,” kata Amnesty International.
Junta melarang kampanye politik atau pertemuan politik lebih dari lima orang. Siapa yang melanggar akan dijebloskan ke penjara. Tapi, demonstrasi berulang kali digelar oleh pendukung mantan PM Thaksin Shinawatra atau aktivis muda yang tidak sepakat dengan junta.
“Jika kamu percaya dengan prinsip dasar demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kamu tidak akan mampu sepakat dengan junta memimpin negara ini,” kata pemimpin demonstrasi, Nuttaa Mahattana.
Dalam pandangan pakar politik dari Universitas Chulalongkorn, Thitinan Pongsudhirak, junta berkuasa dengan mengumbar janji untuk reformasi, rekonsiliasi, dan pemberantasan korupsi. Tapi, ketiga hal yang dijanjikan itu belum ada yang terwujud.
Credit sindonews.com