WASHINGTON
- Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyuarakan peringatan tentang
konsekuensi yang akan dihadapi China atas aksi militerisasi di Laut
China Selatan. Peringatan ini muncul setelah Beijing dilaporkan memasang
rudal jelajah anti-kapal dan sistem rudal surface-to-air di tiga titik di kawasan sengketa tersebut.
Gedung Putih mengatakan konsekuensi yang akan dihadapi China termasuk konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang.
"Kami sangat menyadari militerisasi China di Laut China Selatan. Kami telah menyampaikan kekhawatiran secara langsung dengan orang-orang China tentang ini dan akan ada konsekuensi jangka pendek dan konsekuensi jangka panjang," kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders pada hari Kamis waktu Washington, yang dilansir Reuters, Jumat (4/5/2018).
Namun, Sanders tidak merinci konsekuensi yang akan dihadapi China atas aksi militerisasi di kawasan sengketa tersebut.
Pengerahan rudal oleh pasukan Beijing itu dilaporkan CNBC dengan mengutip beberapa sumber yang memiliki koneksi dengan intelijen AS.
Seorang pejabat AS, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan intelijen AS telah melihat beberapa tanda bahwa Beijing telah memindahkan beberapa sistem senjata ke Kepulauan Spratly dalam sebulan terakhir atau lebih.
Pejabat itu mengatakan bahwa menurut penilaian intelijen AS, rudal-rudal China dipindahkan ke Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef di Kepulauan Spratly dalam 30 hari terakhir.
Sekadar diketahui Kepulauan Spratly jadi sengketa sejumlah negara Asia yang memiliki klaim di wilayah tersebut, termasuk Vietnam dan Taiwan.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan untuk komentar atas laporan pengerahan rudal itu.
Sedangkan Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa Beijing memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Kepulauan Spratly. Penyebaran senjata defensif, kata kementerian itu, diperlukan untuk kebutuhan keamanan nasional dan tidak ditujukan untuk negara manapun.
"Mereka yang tidak ingin menjadi agresif tidak perlu khawatir atau takut," kata juru bicara kementerian tersebut, Hua Chunying.
Menurut laporan CNBC, rudal jelajah anti-kapal YJ-12B memungkinkan China menyerang kapal-kapal dalam jarak 295 mil laut. Ada juga rudal jarak jauh HQ-9B, rudal surface-to-air yang dapat menargetkan pesawat, drone dan rudal jelajah dalam jarak 160 mil laut.
Gedung Putih mengatakan konsekuensi yang akan dihadapi China termasuk konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang.
"Kami sangat menyadari militerisasi China di Laut China Selatan. Kami telah menyampaikan kekhawatiran secara langsung dengan orang-orang China tentang ini dan akan ada konsekuensi jangka pendek dan konsekuensi jangka panjang," kata juru bicara Gedung Putih Sarah Sanders pada hari Kamis waktu Washington, yang dilansir Reuters, Jumat (4/5/2018).
Namun, Sanders tidak merinci konsekuensi yang akan dihadapi China atas aksi militerisasi di kawasan sengketa tersebut.
Pengerahan rudal oleh pasukan Beijing itu dilaporkan CNBC dengan mengutip beberapa sumber yang memiliki koneksi dengan intelijen AS.
Seorang pejabat AS, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan intelijen AS telah melihat beberapa tanda bahwa Beijing telah memindahkan beberapa sistem senjata ke Kepulauan Spratly dalam sebulan terakhir atau lebih.
Pejabat itu mengatakan bahwa menurut penilaian intelijen AS, rudal-rudal China dipindahkan ke Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef di Kepulauan Spratly dalam 30 hari terakhir.
Sekadar diketahui Kepulauan Spratly jadi sengketa sejumlah negara Asia yang memiliki klaim di wilayah tersebut, termasuk Vietnam dan Taiwan.
Kementerian Pertahanan China tidak menanggapi permintaan untuk komentar atas laporan pengerahan rudal itu.
Sedangkan Kementerian Luar Negeri China mengatakan bahwa Beijing memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas Kepulauan Spratly. Penyebaran senjata defensif, kata kementerian itu, diperlukan untuk kebutuhan keamanan nasional dan tidak ditujukan untuk negara manapun.
"Mereka yang tidak ingin menjadi agresif tidak perlu khawatir atau takut," kata juru bicara kementerian tersebut, Hua Chunying.
Menurut laporan CNBC, rudal jelajah anti-kapal YJ-12B memungkinkan China menyerang kapal-kapal dalam jarak 295 mil laut. Ada juga rudal jarak jauh HQ-9B, rudal surface-to-air yang dapat menargetkan pesawat, drone dan rudal jelajah dalam jarak 160 mil laut.
Eric Sayers, mantan konsultan komandan Komando Pasifik AS, menyebut peluncuran rudal akan memicu eskalasi besar di Laut China Selatan. Washington, kata dia, bisa memberikan satu tanggapan dengan cepat, termasuk membatalkan undangan bagi Beijing untuk latihan angkatan laut multilateral RIMPAC tahun ini yang dimulai di Hawaii pada bulan Juli.
"Ketika China melihat bahwa itu bisa lolos dengan tindakan semacam ini dengan dampak kecil—seperti yang mereka lakukan sepanjang tahun 2015 dan 2016—itu hanya membuat mereka lebih mungkin akan terus menekan," kata Sayers, yang saat ini menjadi asisten di Washington's Center for Strategic and International Studies.
Credit sindonews.com