ANKARA
- Turki menyesalkan penggunaan veto oleh Amerika Serikat (AS) untuk
menolak draft resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan pembatalan
pengakuan Washington soal Yerusalem Ibu Kota Israel. Dari 15 anggota DK
PBB, 14 di antaranya mendukung draft resolusi atau menentang AS.
Penyesalan Turki disampaikan melalui Kementerian Luar Negeri-nya, Selasa (19/12/2017). Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel diumumkan Presiden AS Donald Trump 6 Desember lalu. Faktanya, mayoritas anggota DK PBB menolak pengakuan tersebut.
Sebanyak 14 anggota DK PBB kompak meminta deklarasi Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel ditarik oleh AS. Namun, suara 14 anggota DK PBB itu sia-sia karena AS akhirnya menggunakan hak vetonya.
”Amerika Serikat ditinggalkan sendirian dalam pemungutan suara yang merupakan tanda nyata dari ilegalnya keputusan (Washington) mengenai Yerusalem,” kata Kementerian Luar Negeri Turki dalam sebuah pernyataan.
Menurut Turki, keputusan AS untuk memveto resolusi tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa Washington telah ”kehilangan objektivitas”.
Pada hari Senin, Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Inggris Theresa May membahas pemblokiran resolusi oleh AS itu dalam sebuah panggilan telepon. Menurut sumber di kantor Erdogan, kedua pemimpin itu sepakat bahwa keputusan AS dapat membahayakan proses perdamaian di wilayah Timur Tengah.
Yerusalem, yang jadi kota suci umat Yahudi, Kristen dan Muslim, telah menjadi jantung konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade. Israel merebut Yerusalem Timur pada tahun 1967 dan kemudian menganeksasinya dalam sebuah tindakan yang tidak diakui dunia internasional.
Israel mengklaim seluruh Yerusalem adalah ibu kotanya. Sedangkan Palestina sudah lama mendambakan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan negara mereka.
Juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, mengatakan bahwa pembatalan keputusan Trump soal pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel tetap akan dicari solusinya di Majelis Umum PBB.
”Semua negara kecuali untuk administrasi Trump bertindak serentak dalam pemungutan suara ini. Sekarang periode Majelis Umum PBB akan dimulai,” kata Kalin di Twitter, seperti dikutip Reuters.
Penyesalan Turki disampaikan melalui Kementerian Luar Negeri-nya, Selasa (19/12/2017). Pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel diumumkan Presiden AS Donald Trump 6 Desember lalu. Faktanya, mayoritas anggota DK PBB menolak pengakuan tersebut.
Sebanyak 14 anggota DK PBB kompak meminta deklarasi Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel ditarik oleh AS. Namun, suara 14 anggota DK PBB itu sia-sia karena AS akhirnya menggunakan hak vetonya.
”Amerika Serikat ditinggalkan sendirian dalam pemungutan suara yang merupakan tanda nyata dari ilegalnya keputusan (Washington) mengenai Yerusalem,” kata Kementerian Luar Negeri Turki dalam sebuah pernyataan.
Menurut Turki, keputusan AS untuk memveto resolusi tersebut sekali lagi menunjukkan bahwa Washington telah ”kehilangan objektivitas”.
Pada hari Senin, Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Perdana Menteri Inggris Theresa May membahas pemblokiran resolusi oleh AS itu dalam sebuah panggilan telepon. Menurut sumber di kantor Erdogan, kedua pemimpin itu sepakat bahwa keputusan AS dapat membahayakan proses perdamaian di wilayah Timur Tengah.
Yerusalem, yang jadi kota suci umat Yahudi, Kristen dan Muslim, telah menjadi jantung konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade. Israel merebut Yerusalem Timur pada tahun 1967 dan kemudian menganeksasinya dalam sebuah tindakan yang tidak diakui dunia internasional.
Israel mengklaim seluruh Yerusalem adalah ibu kotanya. Sedangkan Palestina sudah lama mendambakan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan negara mereka.
Juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, mengatakan bahwa pembatalan keputusan Trump soal pengakuan Yerusalem Ibu Kota Israel tetap akan dicari solusinya di Majelis Umum PBB.
”Semua negara kecuali untuk administrasi Trump bertindak serentak dalam pemungutan suara ini. Sekarang periode Majelis Umum PBB akan dimulai,” kata Kalin di Twitter, seperti dikutip Reuters.
Credit sindonews.com