Presiden Palestina Mahmud Abbas menolak untuk
bertemu dengan Wakil Presiden AS Mike Pence akhir bulan Desember
2017.(REUTERS/Denis Balibouse)
Penolakan ini terkait dengan adanya keputusan kontroversial Trump soal Yerusalem. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang perwakilan Abbas pada Sabtu (9/12).
Akibat pernyataan pengakuan Trump yang mengungkapkan bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel, serangan udara yang membabi buta di jalur Gaza dan demonstrasi mencekam di Palestina terjadi selama tiga hari berturut-turut. Setidaknya empat orang terbunuh dan puluhan lainnya cedera sejak pengakuan Trump tersebut.
Hal ini pun dikecam oleh Dewan Keamanan PBB.
"Tidak akan ada pertemuan dengan Wakil Presiden Amerika di Palestina," kata penasihat hukum Abbas Majdi al-Khaldi kepada AFP.
"Amerika sudah melanggar semua garis merah dengan keputusan Yerusalem."
Sebelum Presiden Palestina membatalkan pertemuannya dengan Pence, Paus Tawadros II dari Gereja Koptik Mesir juga membatalkan pertemuan dengan Pence.
Pihak Gereja tersebut mengatakan bahwa mereka menolak menerima Pence karena pengakuan Trump soal Yerusalem yang dianggap tak memperhitungkan perasaan warga Arab.
Keputusan tersebut muncul sehari setelah Ahmed al-Tayeb, pemimpin Al-Azhar juga membatalkan rencana untuk bertemu dengan Wakil Presiden AS, Mike Pence.
Credit cnnindonesia.com
Palestina akan abaikan kunjungan wapres AS terkait Yerusalem
Kairo/Gaza (ACB) - Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak
akan menemui Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence pada bulan ini
untuk menentang keputusan pengakuan Washington atas Yerusalem sebagai
ibu kota Israel, kata menteri luar negeri Palestina pada Sabtu.
Kekerasan terjadi selama tiga hari belakangan di Gaza akibat keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu, yang membalik politik luar negeri pendahulunya terhadap Timur Tengah.
Pada Sabtu, serangan udara Israel menewaskan dua orang bersenjata Palestina setelah kelompok keras menembakkan sejumlah roket ke permukiman Israel sehari sebelumnya.
Pengakuan Trump terkait kedudukan Yerusalem itu memicu kemarahan dunia Arab sekaligus mengecewakan sekutu Barat-nya, yang menyatakan keputusan tersebut menghancurkan upaya perdamaian dan mengancam menciptakan kekerasan baru di Timur Tengah.
Pada Sabtu malam, menteri luar negeri negara Timur Tengah mendesak Amerika Serikat membatalkan pengakuannya itu. Liga Arab, dalam pernyataan tertulis seusai menggelar pertemuan darurat di Kairo, menyebut keputusan Trump tersebut "pelanggaran berbahaya terhadap hukum internasional".
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemudian bereaksi atas kritik tersebut pada Minggu, sebelum bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris.
"Saya mendengar (dari negara-negara Eropa) suara kecaman terhadap keputusan bersejarah Presiden Trump, namun saya tidak mendengar kecaman terhadap penembakan roket yang menghujani Israel (yang terjadi usai pengakuan tersebut)," kata Netanyahu.
Israel bersikukuh semua wilayah Yerusalem adalah bagian dari ibu kota mereka. Sementara Palestina menuntut Yerusalem Timur menjadi ibu kota bagi negara Palestina merdeka di masa mendatang.
Sebagian besar negara mengakui Yerusalem Timur, yang dianeksasi oleh Israel dalam perang 1967, sebagai wilayah jajahan sehingga statusnya harus ditentukan melalui perundingan antara Israel dengan Palestina.
Pemerintahan Trump sendiri mengaku masih berkomitmen terhadap perundingan damai Israel dengan Palestina, bahwa Yerusalem akan menjadi ibu kota Palestina dan netral terhadap penetapan batas kota.
Dalam menanggapi keadaan itu, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan akan mencari sponsor perundingan baru untuk menggantikan Amerika Serikat. Palestina juga akan mengupayakan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk keputusan Trump.
"Kami akan mencari mediator baru dari negara-negara Arab dan komunitas internasional," kata Maliki kepada sejumlah wartawan sebelum pertemuan Liga Arab di Kairo.
Sumber dari kantor kepresidenan Turki mengatakan bahwa Presiden Tayyip Edogan dan Macron akan berupaya membujuk Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali keputusan mereka.
Di sisi lain, Pence juga memperoleh penolakan dari Gereja Koptik di Mesit.
Sebelum mendapatkan penolakan itu, Pence dijadwalkan bertemu dengan Abbas pada 19 Desember.
Sementara itu, di Gaza, sejumlah petempur kelompok militan menembakkan sedikitnya tiga roket dengan sasaran kota kecil Israel pada Jumat malam. Israel kemudian membalas dengan menyerang sebuah tempat penyimpanan senjata dari udara.
Hamas, yang menguasai Gaza, membenarkan tewasnya dua orang dari kelompoknya akibat serangan udara Israel. Hamas saat ini mendesak warga Palestina untuk terus melawan pasukan Israel.
Pada Sabtu, demonstrasi dari pihak Palestina mulai mereda dibanding dua hari sebelumnya. Sekitar 60 pemuda Palestina melempar bebatuan ke arah para tentara Israel di perbatasan Gaza.
Sedikit-dikitnya, 10 orang terluka akibat tembakan balasan dari Israel, kata kementerian kesehatan setempat.
Di Tepi Barat, sejumlah warga Palestina membakar ban dan melempar bebatuan serta bom molotov ke arah tentara Israel, yang kemudian membalas dengan tembakan gas air mata, peluru karet, dan dalam beberapa kasus, tembakan api.
Satu orang ditangkap dalam insiden tersebut, kata militer Israel.
Di Yerusalem Timur, sekitar 60 orang berdemonstrasi di dekat tembok kawasan Kota Tua, di mana polisi perbatasan paramiliter yang menaiki kuda mencoba membubarkan pengunjuk rasa dengan gas air mata.
Sebanyak 13 demonstran ditangkap dan empat petugas menderita luka ringan oleh lemparan batu, kata juru bicara kepolisian Micky Rosenfeld.
Pada Jumat, ribuan warga Palestina turun ke jalan untuk menyatakan protes dan dua orang di antara mereka tewas saat bentrok dengan tentara Israel di perbatasan Gaza. Belasan orang juga terluka di Tepi Barat.
Gelombang unjuk rasa juga muncul di sejumlah negara Muslim, demikian Reuters melaporkan.
Kekerasan terjadi selama tiga hari belakangan di Gaza akibat keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu, yang membalik politik luar negeri pendahulunya terhadap Timur Tengah.
Pada Sabtu, serangan udara Israel menewaskan dua orang bersenjata Palestina setelah kelompok keras menembakkan sejumlah roket ke permukiman Israel sehari sebelumnya.
Pengakuan Trump terkait kedudukan Yerusalem itu memicu kemarahan dunia Arab sekaligus mengecewakan sekutu Barat-nya, yang menyatakan keputusan tersebut menghancurkan upaya perdamaian dan mengancam menciptakan kekerasan baru di Timur Tengah.
Pada Sabtu malam, menteri luar negeri negara Timur Tengah mendesak Amerika Serikat membatalkan pengakuannya itu. Liga Arab, dalam pernyataan tertulis seusai menggelar pertemuan darurat di Kairo, menyebut keputusan Trump tersebut "pelanggaran berbahaya terhadap hukum internasional".
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kemudian bereaksi atas kritik tersebut pada Minggu, sebelum bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris.
"Saya mendengar (dari negara-negara Eropa) suara kecaman terhadap keputusan bersejarah Presiden Trump, namun saya tidak mendengar kecaman terhadap penembakan roket yang menghujani Israel (yang terjadi usai pengakuan tersebut)," kata Netanyahu.
Israel bersikukuh semua wilayah Yerusalem adalah bagian dari ibu kota mereka. Sementara Palestina menuntut Yerusalem Timur menjadi ibu kota bagi negara Palestina merdeka di masa mendatang.
Sebagian besar negara mengakui Yerusalem Timur, yang dianeksasi oleh Israel dalam perang 1967, sebagai wilayah jajahan sehingga statusnya harus ditentukan melalui perundingan antara Israel dengan Palestina.
Pemerintahan Trump sendiri mengaku masih berkomitmen terhadap perundingan damai Israel dengan Palestina, bahwa Yerusalem akan menjadi ibu kota Palestina dan netral terhadap penetapan batas kota.
Dalam menanggapi keadaan itu, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki mengatakan akan mencari sponsor perundingan baru untuk menggantikan Amerika Serikat. Palestina juga akan mengupayakan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk keputusan Trump.
"Kami akan mencari mediator baru dari negara-negara Arab dan komunitas internasional," kata Maliki kepada sejumlah wartawan sebelum pertemuan Liga Arab di Kairo.
Sumber dari kantor kepresidenan Turki mengatakan bahwa Presiden Tayyip Edogan dan Macron akan berupaya membujuk Amerika Serikat agar mempertimbangkan kembali keputusan mereka.
Di sisi lain, Pence juga memperoleh penolakan dari Gereja Koptik di Mesit.
Sebelum mendapatkan penolakan itu, Pence dijadwalkan bertemu dengan Abbas pada 19 Desember.
Sementara itu, di Gaza, sejumlah petempur kelompok militan menembakkan sedikitnya tiga roket dengan sasaran kota kecil Israel pada Jumat malam. Israel kemudian membalas dengan menyerang sebuah tempat penyimpanan senjata dari udara.
Hamas, yang menguasai Gaza, membenarkan tewasnya dua orang dari kelompoknya akibat serangan udara Israel. Hamas saat ini mendesak warga Palestina untuk terus melawan pasukan Israel.
Pada Sabtu, demonstrasi dari pihak Palestina mulai mereda dibanding dua hari sebelumnya. Sekitar 60 pemuda Palestina melempar bebatuan ke arah para tentara Israel di perbatasan Gaza.
Sedikit-dikitnya, 10 orang terluka akibat tembakan balasan dari Israel, kata kementerian kesehatan setempat.
Di Tepi Barat, sejumlah warga Palestina membakar ban dan melempar bebatuan serta bom molotov ke arah tentara Israel, yang kemudian membalas dengan tembakan gas air mata, peluru karet, dan dalam beberapa kasus, tembakan api.
Satu orang ditangkap dalam insiden tersebut, kata militer Israel.
Di Yerusalem Timur, sekitar 60 orang berdemonstrasi di dekat tembok kawasan Kota Tua, di mana polisi perbatasan paramiliter yang menaiki kuda mencoba membubarkan pengunjuk rasa dengan gas air mata.
Sebanyak 13 demonstran ditangkap dan empat petugas menderita luka ringan oleh lemparan batu, kata juru bicara kepolisian Micky Rosenfeld.
Pada Jumat, ribuan warga Palestina turun ke jalan untuk menyatakan protes dan dua orang di antara mereka tewas saat bentrok dengan tentara Israel di perbatasan Gaza. Belasan orang juga terluka di Tepi Barat.
Gelombang unjuk rasa juga muncul di sejumlah negara Muslim, demikian Reuters melaporkan.
Credit antaranews.com
Tolak Bertemu Pence, Gedung Putih Sayangkan Sikap Palestina
WASHINGTON
- Amerika Serikat (AS) menuduh Otoritas Palestina berjalan menjauh dari
sebuah kesempatan untuk mendiskusikan perdamaian di Timur Tengah
setelah menolak bertemu Wakil Presiden Mike Pence. Mike Pence
dijadwalkan akan mengunjungi Israel akhir bulan ini dan akan mengunjungi
Kota Bethlehem, Palestina.
Gedung Putih tampaknya mengkonfirmasi jika Pence tidak akan bertemu dengan siapa pun dari Otoritas Palestina yang marah terhadap keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
"Presiden (Donald Trump) telah meminta Wakil Presiden Pence untuk pergi ke wilayah tersebut guna menegaskan kembali komitmen kami bekerja sama dengan mitra di seluruh Timur Tengah untuk mengalahkan radikalisme yang mengancam harapan dan impian generasi masa depan," kata Wakil Kepala Staf Pence, Jarrod Agen, dalam sebuah pernyataan.
"Wakil Presiden sangat berharap bisa melakukan perjalanan ke daerah tersebut untuk bertemu dengan Perdana Menteri Netanyahu dan Presiden al-Sisi," imbuhnya seperti dilansir dari SBS, Senin (11/12/2017).
"Sangat disayangkan bahwa Otoritas Palestina sedang berjalan menjauh dari sebuah kesempatan untuk membahas masa depan kawasan ini."
Ia pun menegaskan bahwa pemerintahan Trump tidak terpengaruh dalam upayanya untuk membantu mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina.
"Tim perdamaian kita tetap berusaha menyusun rencana," tukasnya.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak akan bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Mike Pence, selama kunjungannya ke wilayah tersebut. Palestina juga memastikan tidak akan ada pejabatnya yang akan berkomunikasi dengan pejabat AS.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki. Sebelumnya Abbas juga mengatakan bahwa Washington tidak bisa lagi menjadi mediator perdamaian.
"Kami akan mencari mediator baru dari saudara Arab kami dan masyarakat internasional, seorang mediator yang dapat membantu mencapai solusi dua negara," kata Maliki kepada wartawan di Kairo.
Gedung Putih tampaknya mengkonfirmasi jika Pence tidak akan bertemu dengan siapa pun dari Otoritas Palestina yang marah terhadap keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
"Presiden (Donald Trump) telah meminta Wakil Presiden Pence untuk pergi ke wilayah tersebut guna menegaskan kembali komitmen kami bekerja sama dengan mitra di seluruh Timur Tengah untuk mengalahkan radikalisme yang mengancam harapan dan impian generasi masa depan," kata Wakil Kepala Staf Pence, Jarrod Agen, dalam sebuah pernyataan.
"Wakil Presiden sangat berharap bisa melakukan perjalanan ke daerah tersebut untuk bertemu dengan Perdana Menteri Netanyahu dan Presiden al-Sisi," imbuhnya seperti dilansir dari SBS, Senin (11/12/2017).
"Sangat disayangkan bahwa Otoritas Palestina sedang berjalan menjauh dari sebuah kesempatan untuk membahas masa depan kawasan ini."
Ia pun menegaskan bahwa pemerintahan Trump tidak terpengaruh dalam upayanya untuk membantu mencapai perdamaian antara Israel dan Palestina.
"Tim perdamaian kita tetap berusaha menyusun rencana," tukasnya.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak akan bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Mike Pence, selama kunjungannya ke wilayah tersebut. Palestina juga memastikan tidak akan ada pejabatnya yang akan berkomunikasi dengan pejabat AS.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki. Sebelumnya Abbas juga mengatakan bahwa Washington tidak bisa lagi menjadi mediator perdamaian.
"Kami akan mencari mediator baru dari saudara Arab kami dan masyarakat internasional, seorang mediator yang dapat membantu mencapai solusi dua negara," kata Maliki kepada wartawan di Kairo.
Credit sindonews.com