Rabu, 25 Maret 2015

Ironi Korban Westerling di Masa Perundingan Linggarjati


Ironi Korban Westerling di Masa Perundingan Linggarjati
Pembantaian Westerling (Foto: Wikipedia)
HEEMSKERK  (CB) – Kapten Raymond Westerling, komandan DST (Depot Speciale Troepen – pasukan khusus Hindia Belanda) memang sudah tinggal nama. Tapi bukan berarti berbagai aksi pembantaiannya di Indonesia kedaluarsa begitu saja.
Ironisnya, pembantaian yang dilakukannya pada 11 November 1946 di Sulawesi terjadi ketika negosiasi Perundingan Linggarjati masih berlangsung. Baru pada Februari 1947, jelang pengesahan perundingan itu pada 25 Maret ’47, aksi Westerling dihentikan.
Belakangan, para korban Westerling di Sulawesi menggugat ke Pengadilan Belanda di Den Haag. Gugatan mereka dibantu Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), tak lama setelah KUKB juga memenangkan gugatan para korban “Pembantaian Rawagede”.
Pada 11 Maret 2015, pengadilan di Den Haag memutuskan bahwa pemerintah Belanda harus bertanggung-jawab dan membayar ganti rugi. Menurut Ketua KUKB, Jeffry M. Pondaag, para janda dan anak korban akan diganjar ganti-rugi sebesar 20 ribu euro.

“Awalnya ada lima janda yang melapor ke kami dan kami bantu untuk gugatannya. Sekarang, di data kami ada 60 keluarga korban. Untuk prosesnya, nanti pengadilan Belanda akan menunjuk satu orang untuk ke Sulawesi dan melakukan penyelidikan kembali,” ungkap Jeffry dihubungi Okezone.
“Belanda juga sebelumnya masih menganggap kasus Westerling ini sudah kedaluarsa. Oleh karena itu, para janda dan anak korban juga harus bisa membuktikan, bahwa dulu Ayahnya dieksekusi (pasukan Westerling),” tambahnya.
“Tapi sebetulnya itu tidak perlu, karena saya yakin pemerintah Belanda punya arsipnya semua. Cuma, mereka enggak mau membukanya. Mereka pasti tahu apa yang terjadi di masa aksi polisional mereka,” lanjut Jeffry.
Di satu sisi, ironi lainnya mengemuka lantaran di masa itu era 47an, berarti Belanda seolah membantai rakyatnya sendiri. Pasalnya, hingga kini pun Belanda masih mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, bukan Proklamasi 17 Agustus ’45.
“Kalau mereka mengakui kita merdeka pada Desember ’49, berarti mereka bantai warganya (Hindia-Belanda) sendiri. Insiden yang terjadi pun berarti perang saudara,” sambungnya.



Credit  Okezone.com