Rabu, 11 Februari 2015

Tolong! 2 Prasasti Sejarah Milik RI ini Telantar di Inggris dan India


Tolong! 2 Prasasti Sejarah Milik RI ini Telantar di Inggris dan India - 1 Ilustrasi

Jakarta (CB) - Selain keris Kiai Nogosiluman milik Pangeran Diponegoro yang simpang siur keberadaannya di Belanda, masih ada beberapa artefak penting bagi sejarah RI yag tercecer di luar negeri. Seperti 2 artefak ini.

"Dari pemerintah Indonesia harus ada permintaan yang resmi untuk Prasasti Sangguran atau Minto Stone. Prasasti itu berada di perbatasan Skotlandia dan Inggris," demikian kata sejarawan asal Inggris, Peter Brian Ramsey Carey.

Hal itu dikatakan Peter usai Curator's Talk pameran 'Aku Diponegoro' di Galeri Nasional, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (6/2/2015) malam.

Minto Stone berasal dari tahun 929 Masehi, lokasi aslinya dari Ngandat, Malang, Jawa Timur. Dalam prasasti itu tertera nama Raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sari Wijayamokanamottungga, yang memerintah di sekitar Malang. Prasasti itu mengandung ancaman, atau kutukan bagi pengurus desa dan penduduk Sangguran yang berbuat jahat, maka akan mendapatkan karma jelek, mati dengan mengerikan. Kutukan itu menyebutkan bahwa yang berbuat jahat mati dengan dibelah kepalanya, ususnya terburai, hidungnya dipotong dan hal-hal mengerikan lainnya.

Nah, pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Thomas Stamford Rafles memindahkan batu itu ke Kalkuta, India. Kemudian menyerahkan pada atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto. Sejak itu, prasasti itu menjadi bagian dari keluarga Minto, dan dinamakan Minto Stone, di rumah keluarga Minto, Hawick, Skotlandia.

"Dan prasasti ini diletakkan di luar rumah, di samping kebun, kena hujan, terik matahari. Itu sama sekali tidak tepat untuk satu benda yang berharga seperti itu," jelas Peter.

Mengapa Prasasti Sangguran atau Minto Stone ini penting? Menurut Wikipedia, Raja Dyah Wawa adalah Raja Mataram yang terakhir di Jawa Tengah. Sedangkan penerusnya, Mpu Sindok, memindahkan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Alasan pindah dari Jateng ke Jatim itulah yang belum diketahui.

Sedangkan satu lagi prasasti yang bernasib serupa adalah Prasasti Pucangan, yang berasal pada tahun 1.040 Masehi. Menurut Peter, prasasti ini merupakan peninggalan Raja Airlangga yang menjelaskan beberapa peristiwa serta silsilah keluarga raja yang berurutan.

Menurut Wikipedia, dinamakan Prasasti Pucangan karena ditemukan di tempat pertapaan Pucangan dekat Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini juga dibawa Rafles ke Kalkuta, India untuk diserahkan pada Lord Minto, namun tidak dibawa ke Skotlandia. Alhasil, hingga hari ini, prasasti Pucangan itu masih berada di museum Kalkuta, India.

"Dan itu di museum India, ditaruh di satu gudang di luar, kena hujan dan angin dan sama sekali tidak dianggap," keluh Peter.

Dua prasasti itu, menurut Peter, sangat penting karena bisa menelusuri perpindahan Dinasti Syailendra dari Jateng ke Jatim, juga menelisik kehidupan di masa Raja Airlangga.

"Raja Airlangga itu tokoh besar. Itu Pangeran Diponegoro dari abad ke-11. Kalau saya jadi kepala cagar budaya, saya akan minta itu kembali. Akan jadi fitur yang bagus di Museum Nasional," tutur profesor tamu di Fakultas Ilmu Budaya UI ini.

Usaha Mengembalikan

Menurut Peter, pemerintah Indonesia pernah meminta pada keluarga Lord Minto dan pemerintah India. Namun belum membuahkan hasil

Peter menyarankan, untuk artefak Prasasti Pucangan, Indonesia bisa menawarkan barter artefak dari India yang ada di sini.

"Kalau prasasti itu tidak dianggap di India, kenapa tidak diminta kembali. Mungkin ada beberapa benda dari India di sini yang bisa ditukar," sarannya.

Sedangkan untuk Prasasti Sangguran atau Minto Stone, Peter meminta pemerintah melakukan pendekatan secara halus dengan keluarga Lord Minto. Sebab, keluarga bangsawan ini dinilai tidak seperti bangsawan JC Baud, mantan gubernur jenderal Belanda, yang keturunannya dengan lapang dada merawat warisan pusaka itu.

Pemerintah sudah mendekati keluarga Minto, sejak 2004. Salah satu yang mendekati adalah pengusaha Hashim Djojohadikusumo yang bersedia menanggung biaya pemulangan prasasti itu sekitar Rp 3 miliar pada tahun 2008, seperti dilaporkan beberapa media lokal Inggris. Namun, Peter mendorong agar yang lebih proaktif mendekati adalah pemerintah, bukan individu.

"Pemerintah sudah ada usaha, tapi mereka, orang Skotlandia pelit dan minta uang segunung, 70 ribu poundsterling," ungkap dia.

Selain sisi komersial, Peter juga menyinggung sisi mistis. Menurutnya, Minto Stone itu berisi kutukan bagi yang berbuat jahat. Keluarga Lord Minto, dari informasinya, tertimpa kesialan terus.

"Mereka tertimpa sial terus-menerus. Mereka sudah tidak punya kediaman lagi, sudah dijual pada Jepang, kemudian berutang. Saya kira harus ada yang memberi tahu secara halus bahwa dengan memberikan prasasti, namanya akan harum, malapetaka keluarga Minto juga akan diangkat. Jangan main-main dengan benda pusaka," pesannya.



Credit   Detiknews