Manila (CB) - Filipina dan China sepakat membentuk tim
panel khusus untuk membahas bagaimana kedua negara bisa mengeksplorasi
potensi tambang minyak dan gas di kawasan sengketa Laut China Selatan
dengan mengesampingkan persoalan kedaulatan wilayah.
China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, yang merupakan salah satu jalur perdanganan tersibuk di dunia dengan nilai 3 triliun dolar AS setiap tahunnya. Klaim itu menjadi sumber sengketa dengan Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.
"Ini hanya merupakan langkah awal dari proses yang panjang," kata Duta Besar Filipina untuk China, Chito Sta. Romana, kepada sejumlah wartawan pada Selasa malam waktu setempat setelah diplomat dari kedua belah pihak bertemu untuk kedua kalinya dalam mekanisme perundingan bilateral yang bertujuan menyelesaikan ketegangan maritim.
Romana mengatakan bahwa keputusan untuk membentuk panel kerja sama energi merupakan sebuah "terobosan".
Meskipun demikian, kesepakatan pertambangan bersama akan sangat kompleks dan sensitif mengingat kedua negara sama-sama mengklaim punya hak yuridiksi di tempat cadangan minyak dan gas berada--dan dengan demikian pembagian hasil tambang secara tidak langsung akan diartikan sebagai penyerahan kedaulatan.
Ide pertambangan bersama pertama kali diutarakan pada 1986, namun sengketa dan persoalan kedaulatan membuat gagasan itu berhenti di tengah jalan.
Namun kini Filipina sudah hampir kehabisan waktu karena satu-satunya sumber gas alam domestik negara itu, yang berada di wilayah lepas pantai Mampaya, akan habis pada 2024. Apalagi jika mengingat Filipina sangat bergantung pada impor energi sebagai penyangga pertumbuhan ekonomi mereka.
Sementara itu dalam persoalan lain, Romana mengatakan bahwa China dan Filipina juga membentuk panel koordinasi untuk membahas isu kedaulatan dan "mencegah segala macam krisis bereskalasi."
Sebelumnya pada 2011 lalu, Filipina sempat menuding kapal-kapal China telah mengganggu kapal milik Forum Energy, yang memenangi kontrak eksplorasi gas dan minyak di Reed Bank dekat dengan kepulauan Spratly.
Filipina kemudian mengajukan gugatan di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2013 untuk menyelesaikan sengketa.
Tiga tahun kemudian, pengadilan arbitrase itu memutuskan di antaranya klarifikasi bahwa Reed Bank berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Filipina dan oleh karena itu Manila mempunyai hak berdaulat untuk mengekploitasi segala macam kekayaan alam yang berada di sana.
China menolak mengakui keputusan tersebut.
Seorang pejabat senior Filipina mengatakan bahwa sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara dan China akan memulai perundingan mengenai code of conduct pada bulan depan.
China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan, yang merupakan salah satu jalur perdanganan tersibuk di dunia dengan nilai 3 triliun dolar AS setiap tahunnya. Klaim itu menjadi sumber sengketa dengan Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.
"Ini hanya merupakan langkah awal dari proses yang panjang," kata Duta Besar Filipina untuk China, Chito Sta. Romana, kepada sejumlah wartawan pada Selasa malam waktu setempat setelah diplomat dari kedua belah pihak bertemu untuk kedua kalinya dalam mekanisme perundingan bilateral yang bertujuan menyelesaikan ketegangan maritim.
Romana mengatakan bahwa keputusan untuk membentuk panel kerja sama energi merupakan sebuah "terobosan".
Meskipun demikian, kesepakatan pertambangan bersama akan sangat kompleks dan sensitif mengingat kedua negara sama-sama mengklaim punya hak yuridiksi di tempat cadangan minyak dan gas berada--dan dengan demikian pembagian hasil tambang secara tidak langsung akan diartikan sebagai penyerahan kedaulatan.
Ide pertambangan bersama pertama kali diutarakan pada 1986, namun sengketa dan persoalan kedaulatan membuat gagasan itu berhenti di tengah jalan.
Namun kini Filipina sudah hampir kehabisan waktu karena satu-satunya sumber gas alam domestik negara itu, yang berada di wilayah lepas pantai Mampaya, akan habis pada 2024. Apalagi jika mengingat Filipina sangat bergantung pada impor energi sebagai penyangga pertumbuhan ekonomi mereka.
Sementara itu dalam persoalan lain, Romana mengatakan bahwa China dan Filipina juga membentuk panel koordinasi untuk membahas isu kedaulatan dan "mencegah segala macam krisis bereskalasi."
Sebelumnya pada 2011 lalu, Filipina sempat menuding kapal-kapal China telah mengganggu kapal milik Forum Energy, yang memenangi kontrak eksplorasi gas dan minyak di Reed Bank dekat dengan kepulauan Spratly.
Filipina kemudian mengajukan gugatan di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2013 untuk menyelesaikan sengketa.
Tiga tahun kemudian, pengadilan arbitrase itu memutuskan di antaranya klarifikasi bahwa Reed Bank berada di dalam Zona Ekonomi Eksklusif Filipina dan oleh karena itu Manila mempunyai hak berdaulat untuk mengekploitasi segala macam kekayaan alam yang berada di sana.
China menolak mengakui keputusan tersebut.
Seorang pejabat senior Filipina mengatakan bahwa sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara dan China akan memulai perundingan mengenai code of conduct pada bulan depan.
Credit antaranews.com