Kamis, 15 Desember 2016

Trump dalam bahaya, 55 elektor minta dibriefing soal intervensi Rusia




Trump dalam bahaya, 55 elektor minta dibriefing soal intervensi Rusia
Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump (REUTERS/Mike Segar )
karena masalah ini berdampak langsung terhadap faktor-faktor mendasar dalam pertimbangan kami mengenai apakah Tuan Trump layak menjabat Presiden Amerika Serikat
Jakarta (CB) - 55 elektor atau anggota Electoral College menuntut dibriefing intelijen soal keterlibatan pemerintahan Rusia dalam serangan siber yang telah mengarahkan Pemilihan Presiden Amerika Serikat ke arah lebih menguntungkan bagi Presiden terpilih Donald Trump.

Ke-55 elektor ini berasal dari Demokrat dan Republik. Dalam surat terbuka kepada Direktur Intelijen Nasional James R. Clappers, mereka menuntut dibriefing soal intervensi Rusia itu. Pihak Republik sepertinya sengaja meminta briefing ini karena khawatir para elektor dari Partai Republik membangkang tidak memilih Trump.

Senin lalu sembilan elektor dari Demokrat dan seorang elektor dari Republik telah menandatangani surat terbuka tersebut. Mereka menuntut informasi lebih jauh dari komunitas intelijen AS mengenai penyelidikan terhadap kaitan Trump dengan Rusia.

"Para elektor perlu mengetahui dari komunitas intelijen apakah ada penyelidikan mengenai kaitan antara Donald Trump, tim kampanye atau pembantunya, dan intervensi pemerintah Rusia dalam Pemilu, seberapa jauh jangkauan investigasi itu dan siapa yang terlibat dalam investigasi itu," tulis para elektor dalam surat terbuka itu.

"Kami perlu lebih jauh dibriefing mengenai temuan-temuan dari semua investigasi, karena masalah ini berdampak langsung terhadap faktor-faktor mendasar dalam pertimbangan kami mengenai apakah Tuan Trump layak menjabat Presiden Amerika Serikat."

Sampai Rabu waktu AS, jumlah elektor yang menandatangani petisi ini sudah 55 orang, di tengah kian gencarnya pemberitaan media massa AS bahwa Rusia telah mengintervensi Pemilihan Presiden AS.

Pemilihan Presiden Amerika Serikat tidak ditentukan oleh suara terbanyak pemilih, melainkan didelegasikan kepada sebuah sistem bernama Electoral College yang beranggotakan 538 elektor. Masing-masing dari 50 negara bagian memiliki jumlah elektor berbeda-beda, tergantung kepada jumlah penduduk atau pemilih di 50 negara bagian itu.

Trump saat ini mengumpulkan jumlah suara elektoral di atas batas minimal 270 dengan total menguasai 306 suara elektoral.

Namun sejumlah kecil elektor (pemberi suara elektoral) dari Partai Republik telah menyatakan tidak akan memberikan suaranya kepada Trump.

Mereka menyatakan akan mengalihkan suara elektoral yang mereka pegang kepada calon presiden dari Partai Republik lainnya atau bahkan dialihkan kepada Hillary Clinton, demikian International Business Times.





Credit  ANTARA News




Donald Trump tahu Rusia retas Pemilu AS

Donald Trump tahu Rusia retas Pemilu AS
Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump. (REUTERS/Carlo Allegri)
 
Jakarta (CB) - Sekretaris Pers Gedung Putih Josh Earnest meyakini Donald Trump sudah lama tahu Rusia berada di balik serangkaian serangan peretasan yang mengintervensi Pemilihan Presiden Amerika Serikat ketika dia mengundang Rusia untuk mencari email-email Hillary Clinton yang hilang.

Trump sendiri terus-terusan membantah laporan dinas intelijen AS bahwa Rusia berada di balik penyusupan ke lembaga-lembaga Partai Demokrat, termasuk Komite Nasional Demokrat (DNC), Komite Kampanye Senator Demokrat dan akun email kepala tim kampanye Hillary Clinton, John Podesta.

Josh Earnest menyatakan keyakinannya bahwa Trump tahu sekali intervensi Rusia itu jauh sebelum komunitas intelijen memastikan serangan siber itu atau tepatnya Oktober silam, satu bulan sebelum pemungutan suara 8 November lalu.

"Ada cukup bukti hal itu telah lama diketahui sebelum Pemilu dan pada kebanyakan kasus jauh sebelum Oktober," kata Earnest menunjuk seruan Trump kepada Rusia untuk membantu dia meretas lawannya, Hillary Clinton.

"Itu bisa menjadi indikasi bahwa dia jelas-jelas mengetahui dan telah menyimpulkan, berdasarkan pada apa pun fakta-fakta atau sumber-sumber yang ada di tangan dia, bahwa Rusia terlibat dan keterlibatan mereka telah memberikan dampak negatif kepada kampanye lawannya (Hillary Clinton)," sambung dia.

"Itulah alasan Trump mendorong Rusia untuk terus meretas," simpul Earnest merujuk undangan Trump kepada Rusia pada sebuah jumpa pers pertengahan Juli silam agar Rusia membantu dia mencari email-email hilang milik Hillary Clinton. Waktu itu, Trump menyatakan Rusia kemungkinan besar akan disanjung oleh media massa AS.

Jika laporan bocoran dokumen CIA bahwa Rusia mengintervensi Pemilihan Presiden AS dengan membantu menaikkan Trump ke Gedung Putih, maka Trump mungkin saja benar.

Pekan ini New York Times melaporkan bahwa "media massa besar yang memberitakan email-email DNC dan Podesta yang diposting oleh WikiLeaks, telah menjadi intrumen de facto dari intelijen Rusia."

Earnest juga mengingatkan media massa bahwa Trump pernah memuji kepemimpinan Presiden Rusia Vladimir dan memilih Paul Manafort sebagai kepala tim kampanyenya, padahal orang ini memiliki kaitan finansial dan pribadi yang ekstensif nan besar dengan Rusia.

"Jelas bagi mereka yang mengamati Pemilihan Presiden bahwa strategi 'retas dan bocorkan' telah diterapkan tidak setaraf kepada dua pihak (yang mengikuti Pemilu AS) dan kepada dua tim kampanye yang berbeda," kata Earnest.

Dia melanjutkan, satu pihak jelas-jelas dirugikan oleh strategi itu, sedangkan satu pihak lainnya diuntungkan.

"Kini saya tahu ada banyak laporan bahwa mungkin ada beberapa ketidaksepakatan di antara komunitas intelijen mengenai ada tidaknya niat, ini hal yang mesti mereka tanyakan dan dapatkan jawabannya bahwa mereka munkin saja berusaha menjawab, namun yang jelas tidak ada keraguan soal dampak (serangan peretasan itu)," kata dia dalam laman Politico.

Trump sendiri membantah intervensi Rusia itu dengan menyebutnya sebagai teori konspirasi. "Kecuali Anda bisa menangkap peretasnya, sangat sulit memastikan siapa yang meretas," tulis Trump dalam Twitter. "Mengapa ini tidak dilakukan sebelum Pemilu?"






 Credit  ANTARA News