Roket Delta IV Heavy dengan pesawat ruang
angkasa Orion diluncurkan di Air Force Station Cape Canaveral, Cape
Canaveral, Florida, 5 Desember 2014. Badan Antariksa Amerika Serikat
(NASA) meluncurkan Orion dengan roket Delta IV sebagai langkah NASA
untuk bisa mengeksplorasi planet Mars, meski tidak sampai ke Mars,
diharapkan Orion bisa menjadi langkah awal pembaharuan eksplorasi ruang
angkasa terutama Mars. REUTERS/Steve Nesius
Bersama Badan Eksplorasi Antariksa Jepang (JAXA), ispace berencana membangun industri penambangan, penyimpanan, pengiriman, dan pemanfaatan sumber daya alam di bulan. Jepang sudah mengumumkan kebijakan nasional untuk memperkuat pembangunan industri luar angkasa dalam 20 tahun. Nilai industri luar angkasa diperkirakan mencapai US$ 90 miliar atau Rp 1.207 triliun pada 2030.
Menurut Takeshi Hakamada, pendiri ispace, pembangunan industri sumber daya luar angkasa menarik banyak peminat di seluruh dunia. “Dengan sokongan pemerintah dan JAXA, ispace akan memimpin pembangunan industri luar angkasa di tingkat nasional dan internasional,” ujar Hakamada dalam keterangan pers, Jumat pekan lalu.
Kesepakatan internasional menyatakan tak satu pun negara bisa mengklaim kepemilikan terhadap obyek antariksa seperti planet atau teritori di luar angkasa. Hal ini untuk mencegah perselisihan antarnegara. Namun siapa pun bisa memiliki properti, termasuk sumber daya alam yang mereka bangun dan kembangkan sendiri.
Pada November tahun lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama membuat undang-undang pemanfaatan luar angkasa secara komersial. Dengan adanya aturan ini, perusahaan eksplorasi Amerika Serikat bisa memiliki apa pun yang mereka tambang di luar angkasa. Luksemburg, negara kecil di Eropa, juga menyatakan akan membuat peraturan serupa.
Moon Express, perusahaan eksplorasi dari Amerika Serikat, telah mendapatkan izin untuk meluncurkan misi ke bulan. Sementara itu, Deep Space Industries (DSI) tengah membangun wahana nirawak untuk menambang asteroid. Perusahaan itu akan meluncurkan wahana penyelidik tahun depan dan mulai menambang pada akhir dekade ini.
Planetary Resources, perusahaan yang disokong pendiri Google, Larry Page, juga berminat pada industri pertambangan luar angkasa. Tahun lalu, mereka meluncurkan satelit perdana dari Stasiun Luar Angkasa Internasional. Dengan teknologi yang dimilikinya, Planetary Resources berencana memulai operasi penambangan pada 2020.
Perkembangan dalam bisnis dan industri luar angkasa paling pesat justru ditunjukkan perusahaan transportasi. Blue Origin, yang dibangun pendiri Amazon.com, Jeff Bezos, serta SpaceX yang diinisiasi pemilik Tesla Motors, Elon Musk. SpaceX bahkan berkonsentrasi dalam mengembangkan roket pengangkut ulang-alik.
Industri luar angkasa adalah peluang bisnis bernilai tinggi. Nilai kandungan mineral di bulan diperkirakan lebih dari US$ 150.000 triliun. Salah satu elemen berharga di sana adalah helium-3 yang sangat langka dan mahal di bumi. Elemen ini dipakai sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir dengan teknologi fusi.
Kandungan mineral di asteroid juga tak kalah banyak. Asteroid umumnya mengandung besi, nikel, kobalt, platinum, dan titanium dalam jumlah besar.
Dari seluruh “harta karun” luar angkasa, material yang paling berharga sebenarnya adalah air. Meagan Crawford, Wakil Presiden DSI, mengatakan banyak asteroid di kawasan dekat bumi mengandung banyak es. Siapa pun yang bisa mendekati asteroid dan menambang es, bakal untung besar.
“Sebagian besar isinya adalah oksigen dan hidrogen cair. Ini bahan bakar penting untuk roket,” kata Crawford. “Kami tengah mengembangkan teknologi yang bisa memanfaatkan air sebagai pendorong. Jadi, tak perlu lagi memisahkan oksigen dan hidrogen.”
Bisa mendapatkan bahan bakar di luar bumi menjadi keuntungan besar bagi perusahaan eksplorasi. Ongkos terbesar misi ke luar angkasa adalah untuk bahan bakar. Jadi, asteroid ibarat stasiun pengisian bahan bakar. “Lebih dari 90 persen bobot roket modern adalah bahan bakar,” kata pendiri Moon Express, Naveen Jain.
Credit TEMPO.CO