Rabu, 14 Desember 2016

Akhir Pertempuran Berdarah Lima Tahun di Aleppo



 
Akhir Pertempuran Berdarah Lima Tahun di Aleppo Setelah bertahun-tahun, peperangan di Aleppo akhirnya selesai dengan gencatan senjata. (AFP/George OURFALIAN)
 
Jakarta, CB -- Setelah bertahun-tahun, pertahanan para pemberontak di Aleppo, Suriah, berhenti sudah. Digempur habis-habisan selama beberapa bulan, akhirnya mereka sepakat melakukan gencatan senjata.

Pertempuran Aleppo, salah satu perang saudara terparah yang telah memancing keterlibatan kekuatan global dan regional, berakhir dengan kemenangan Presiden Bashar Al Assad dan koalisi militernya, Rusia, Iran dan milisi Syiah.

Para pemberontak diperkirakan mulai meninggalkan wilayah tersebut pada hari ini, Rabu (14/12), pagi hari waktu setempat. Kekalahan di salah satu kota terpenting di Suriah ini jelas jadi hantaman telak bagi upaya mereka menggulingkan Assad.

Walau demikian, meski pertempuran di kota ini telah berakhir, perang secara keseluruhan masih terus berkecamuk. Para pemberontak masih mempunyai banyak pos-pos pertahanan besar di kota lain di Suriah.

Belum lagi, militan kelompok teror ISIS masih terus bergeliat di bagian timur dan belakangan telah kembali merebut kota Palmyra.

"Beberapa jam terakhir kami telah menerima informasi yang menyebut kegiatan militer di Aleppo bagian timur telah berhenti, telah berhenti," kata Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin di hadapan Dewan Keamanan. "Pemerintah Suriah telah menguasai Aleppo bagian timur."

Pihak pemberontak mengatakan pertempuran berakhir Selasa malam. Sementara salah seorang sumber di koalisi Assad menyebut evakuasi para para pemberontak itu dimulai dini hari waktu setempat.

Menurut Reuters, suara hujan bom yang biasa terdengar di kota tersebut pun kini telah berhenti.

Seorang sumber di pemerintahan Turki menyebut para pemberontak beserta keluarga mereka, juga warga sipil yang mendukung mereka, diberi waktu hingga Rabu malam untuk meninggalkan kota. Gencatan senjata ini dinegosiasi oleh Turki dan Rusia, tanpa keterlibatan Amerika Serikat.

Salah satu komandan kelompok pemberontak Jabha Shamiya mengatakan keberhasilan mereka merebut Aleppo, dulu, adalah sebuah kemenangan moriil untuk mereka. "Kami sempat tabah...tapi sayangnya tidak ada yang mendukung kami sama sekali," ujarnya kepada Reuters.



Krisis Kemanusiaan

Keadaan warga sipil yang menyedihkan seiring dengan gempuran pemerintah Suriah selama dua pekan ini telah memancing kemarahan dunia.

"Kami seperti menyaksikan sebuah kemenangan militer yang keras kepala," kata Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dalam rapat dengan Dewan Keamanan, Selasa.

Pengusiran pemberontak dari wilayahnya yang semakin menyusut di Aleppo memicu pengungsian besar-besaran. Diliputi ketakutan, mereka berupaya meninggalkan kota itu meski cuaca buruk menghadang.

Menurut PBB, krisis ini mencerminkan hilangnya rasa kemanusiaan secara utuh. Para pengungsi juga meski mengalami krisis makanan dan air, sementara rumah sakit pun tidak beroperasi.

PBB juga juga menyampaikan keprihatinannya atas laporan yang menyebut tentara Suriah dan Irak begitu saja membunuh 82 orang di kawasan timur Aleppo. Tindakan ini disebut sebagai "pembantaian."

"Laporan yang kami terima beberapa orang yang mencoba untuk melarikan diri ditembak di jalanan, sementara yang lain di tembak di rumah-rumahnya," kata Juru Bicara Rupert Colville. "Kejadian seperti ini bisa saja lebih banyak lagi."

"Alih-alih melakukan penggempuran, mereka telah melakukan pembantaian," kata Duta Besar Inggris untuk PBB Matthew Rycroft.

"Aleppo akan disandingkan dengan peristiwa lain dalam sejarah di mana telah terjadi kejahatan modern yang menodai hati nurani kita satu dekade setelahnya - Halabja, Rwanda, Srebrenica dan sekarang Aleppo," kata Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Samantha Power.



Credit  CNN Indonesia