Jumat, 18 Maret 2016

Pakar: Indonesia harus lebih aktif terkait LCS


Pakar: Indonesia harus lebih aktif terkait LCS
Peta konflik klaim wilayah antar-negara di Laut Tiongkok Selatan. (inquirer.net)
Saya melihat Indonesia belum melaksanakan prinsip bebas aktif di Laut China Selatan secara maksimal dan terkesan pasif,"
Jakarta (CB) - Indonesia harus bersikap lebih aktif dalam menerapkan kebijakan luar negeri bebas aktif terkait isu Laut China Selatan karena sebenarnya Jakarta dapat memainkan peran kepemimpinannya di kawasan, kata pakar.

"Saya melihat Indonesia belum melaksanakan prinsip bebas aktif di Laut China Selatan secara maksimal dan terkesan pasif," kata Prof. Donald E. Weatherbee dari University of South Carolina di Depok, Jawa Barat, Kamis.

Prof. Donald E. Weatherbee, Edy Prasetyono Ph.D, Kepala Program Pasca Sarjana, Departemen Hubungan Internasional, FISIP UI dan Dr. Adriana Elisabeth, Kepala Pusat Penelitian Politik, LIPI bertindak sebagai pembicara dalam seminar internasional bertema "A Contemporary Analysis of Bebas Aktif in Indonesian Foreign Policy"yang diselenggarakan di Auditorium Juwono Sudarsono, FISIP UI Depok.

Para pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri, FISIP UI dan USINDO itu menyampaikan pandangannya tentang prinsip bebas aktif sebagai landasan kebijakan luar negeri RI.

Lebih lanjut Prof. Weatherbee mengatakan kepada Antara seusai acara bahwa sikap Indonesia tersebut bergantung pada konsensus ASEAN.

Dia mengatakan dirinya mengamati prinsip bebas aktif secara substantif diterapkan berbeda oleh Presiden Joko Widodo dan pendahulunya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam bagian paparannya terkait isu LCS, Edy Prasetyono mengatakan bahwa Indonesia dapat mengambil peran kepemimpinan terkait keamanan dan keselamatan maritim di kawasan itu. "Pada tahun 1990-an Indonesia berperan aktif dengan menyelenggarakan lokakarya terkait isu Laut China Selatan dan berharap lebih aktif pada saat ini," kata Edy.

China termasuk negara yang mengklaim seluruh kawasan Laut China Selatan yang kaya minyak sebagai teritorialnya. Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Taiwan juga mengklaim sebagian dari kawasan tersebut masuk ke dalam kedaulatannya.

Pada bagian lain Dr. Adriana Elisabeth mengatakan kepada Antara bahwa dalam hubungan bilateral Amerika Serikat memandang Indonesia hanya sebatas sebagai mitra komprehensif dan penting, bukan strategis.

"Pola hubungan bilateral dimana AS memandang Indonesia sebatas mitra komprehensif dan penting menjadi kemitraan tak seimbang. Faktanya AS menuntut terlalu banyak dari Indonesia," kata Adriana.

Dia menyarakan AS mengubah kemitraannya dengan Indonesia dan menjadikannya sebagai mitra strategis sehingga posisi keduanya sejajar.

Menurut dia, AS menjalin hubungan misalnya dengan Korea Selatan dan Singapura dengan berlandaskan kemitraan strategis.

Dalam siaran pers yang disiarkan Kemlu, Prof. Donald E. Weatherbee menekankan pentingnya Indonesia menetapkan bagaimana prinsip bebas aktif akan diterapkan dalam kebijakan luar negerinya di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Penentuan sikap tersebut sangat dinantikan oleh negara-negara tetangga Indonesia di kawasan karena prinsip bebas aktif telah menjadi satu-satunya prinsip dalam kebijakan luar negeri Indonesia sejak kemerdekaan.

Mskipun akan sulit untuk melihat terjadinya deviasi dari prinsip bebas aktif, Indonesia diharapkan dapat segera menemukan kontinuitas yang tepat bagi prinsip tersebut dalam kebijakan luar negerinya saat ini sehingga dapat tetap memenuhi kepentingan nasional Indonesia dan melahirkan peran aktif Indonesia yang lebih memimpin di kawasan.

Sebagai contoh ia mengatakan bahwa dalam isu Laut China Selatan, Indonesia dapat mengambil peran mengupayakan tercapainya kesamaan sikap pada seluruh anggota ASEAN untuk mendorong China agar melakukan perundingan dengan negara-negara ASEAN sebagai sebuah kelompok. "Dalam hal ini prinsip bebas aktif Indonesia dapat menjdi semangat yang menggerakkan proses tersebut," katanya.

Edy Prasetyono memberikan pandangan lain terkait dengan kondisi regionalisme saat ini yang diwarnai kompetisi antarkekuatan seperti antara China dan Amerika Serikat. Dalam kondisi kompetitif tersebut, negara-negara yang bekerja sama secara ekonomi bisa saja berkompetisi secara politik dan militer.

Oleh karena itu, katanya, meskipun terus berupaya untuk memperkuat kerja sama ekonomi sebagai salah satu fokus kebijakan luar negeri, Indonesia perlu tetap memerhatikan aspek geopolitik dan geostrategis di kawasan agar dapat merumuskan kebijakan luar negeri yang tepat.

Menurut dia, kebijakan luar negeri yang bebas aktif hendaknya tidak difahami sebagai kebijakan luar negeri yang "low profile". Indonesia perlu menjadi negara kuat yang antara lain didukung oleh kapabilitas yang kuat pula. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia membutuhkan strategi kebijakan luar negeri yang terstruktur dan memiliki kejelasan sehingga dapat menjawab berbagai tantangan pada tingkat regional dan global.

Dr Adriana Elisabeth memaparkan hasil penelitian tentang "grand design" politik luar negeri RI tahun 2015-2025 yang berisi panduan dan strategi dalam pelaksanaan politik luar negeri . Untuk menghadapi berbagai isu yang berpotensi menimbulkan ketakstabilan dan ketakamanan pada tingkat regional dan global, Indonesia memerlukan prioritas yang terfokus pada setiap kawasan di dunia.

"ASEAN sebagai kawasan terdekat akan tetap menjadi acuan utama kebijakan luar negeri Indonesia," katanya.



Credit  ANTARA News