Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno. (Antara/Hafidz Mubarak)
"Itu Genosida, banyak orang dari bangsa kita yang dibunuh," terang dia, Senin (9/3), saat menjadi keynote speech di Orasi Kebangsaan II (OK II) Fakultas Hukum UGM, Sleman, Yogyakarta.
Ia menambahkan, saat ini Komite Utang Kehormatan Belanda bersama tim tengah menyusun laporan terkait hal tersebut. Laporan tersebut akan dibawa ke PBB untuk mengungkap kejahatan perang yang terjadi dan untuk meluruskan sejarah.
Tedjo menegaskan pentingnya pelurusan sejarah terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu. Penulisan sejarah yang ada selama ini dipengaruhi oleh kepentingan pihak-pihak yang menulis dan mendokumentasikannya.
Dengan penulisan sejarah yang jujur dan benar bisa melaksanakan Jas Merah yang didengungkan oleh Presiden Soekarno. "Pemahaman sejarah yang benar juga akan berpengaruh terhadap karakter bangsa," kata dia.
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda, Batara R Hutagalung menambahkan kejahatan perang dalam kasus pembantaian oleh Westerling paling ditakuti oleh Belanda. Jika kasus Rawagede hanya 431 yang dibantai, kasus pembantaian Westerling jumlahnya mencapai ribuan. Untuk menuntut Belanda, lanjut dia, pihaknya tinggal mengajukan laporan ke Dewan Keamanan PBB agar meneliti kasus tersebut.
"Kejahatan perang jelas tidak mengenal kadaluarsa dan itu kejahatan yang luar biasa," kata dia.
Yang dibantai Westerling kala itu tanpa ada proses hukum apapun. Pada tahun 1945-1950, pembantaian yang dilakukan oleh Belanda dibantu oleh Inggris dan Australia di Sulawesi Selatan.
"Mereka harus bertanggung jawab atas pembantaian hampir satu juta rakyat Indonesia dari 1945-1950," kata dia.
Australia menjadi negara yang juga harus bertanggung jawab karena mereka yang membuka jalan untuk memuluskan tentara Belanda dan Inggris masuk ke Sulawesi Selatan. Hingga sekarang, tegas dia, masih ada saksi mata yang melihat tentara-tentara Australia membantai tokoh-tokoh di Sulawesi Selatan untuk memuluskan Belanda masuk ke Sulawesi Selatan. Ia menyebut, pembunuhan tersebut dilakukan oleh dua divisi tentara Australia.
Saat ini, pihaknya masih merancang agar kejahatan perang tersebut bisa masuk ke Dewan Keamanan PBB. Bahkan, bukti yang dimiliki dari pembantaian perang masa lalu tersebut tidak hanya dari saksi-saksi yang masih hidup, tetapi juga dokumen resmi milik pemerintah Belanda tahun 1969.
Lebih lanjut Barata mengatakan pelaporan tersebut dilakukan juga untuk meluruskan sejarah yang ada selama ini. Pasalnya, ada kesalahan-kesalahan besar dalam penulisan buku sejarah yang di ajarkan di sekolah-sekolah.
Kesalahan-kesalahan penulisan sejarah tesebut menunjukkan, Belanda dulu sudah sudah mencuci otak sejarahwan Indonesia.
Credit Metrotvnews.com