CB - Filipina dan Vietnam ketinggalan dari Tiongkok perihal peningkatan kapal untuk memperluas kehadiran angkatan laut di Laut Tiongkok Selatan [SCS].
Masalah ini memiliki implikasi keamanan penting karena Beijing membanjiri Laut Tiongkok Selatan dengan kapal-kapal baru Penjaga Pantai yang didukung oleh kapal-kapal perang angkatan laut yang lebih besar untuk menegakkan klaim sapu bersih teritorial atas 90 persen dari wilayah maritim tersebut. Laut Tiongkok Selatan tetap menjadi salah satu jalur perdagangan laut tersibuk dan terpenting di dunia.
Menghadapi langkah tegas Tiongkok untuk menegakkan klaimnya atas Laut Tiongkok Selatan, Filipina dan Vietnam perlu memproyeksikan kehadiran yang cukup. Hukum internasional memperhatikan pemerintahan yang efektif atas wilayah yang disengketakan daripada klaim historis, tulis Koh Swee Lean Collin, rekan peneliti di Institut Pertahanan dan Kajian Strategis dari Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.
"Mengingat langkah Beijing yang membangun lebih banyak aset patroli untuk memproyeksikan dan mempertahankan kehadiran di SCS, masih banyak yang harus dan dapat dilakukan oleh Hanoi dan Manila. Tidak ada keraguan tentang 'keharusan' itu," tulis Collin dalam The Diplomat pada tanggal 20 Oktober.
Charles W. Freeman Jr, salah satu ketua Yayasan Kebijakan AS-Tiongkok, mengatakan kepada Forum Pertahanan Asia Pasifik [APDF] bahwa Beijing bertekad untuk meneruskan peningkatan kapal patroli ukuran kecil secara besar-besaran untuk memenuhi wilayah Laut Tiongkok Selatan guna menegakkan klaim kedaulatannya atas wilayah tersebut.
Aksi Tiongkok resahkan negara tetangga
"Tiongkok adalah negara kelas berat baru di Pasifik Barat. Dalam konteks inilah kegiatannya baru-baru ini di Laut Tiongkok Timur dan Selatan telah meresahkan rakyat Filipina,Jepang, dan Vietnam," kata Freeman.
"Upaya Vietnam belum lama ini untuk mencegah Tiongkok melakukan pengeboran minyak dan gas 17 mil di lepas pantai Kepulauan Paracel, yang sebagian besar telah diduduki Tiongkok sejak 1945 dan seluruhnya telah dikendalikan sejak tahun 1974, telah membawa pesan kepada Tiongkok akan pentingnya memiliki Penjaga Pantai yang kuat - yang dapat membela kepentingannya dari pembatasan oleh negara lain," kata Freeman.
Gordon G. Chang, seorang penulis tentang isu-isu keamanan Asia Timur, mengatakan kepada APDF bahwa Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat [PLAN] menggunakan gabungan kapal Penjaga Pantai yang lebih kecil dengan cadangan kapal perang yang lebih besar dalam strategi seimbang untuk memproyeksikan kekuatannya atas Laut Tiongkok Selatan.
"Tiongkok telah menggunakan kapal kecil untuk menahan ketegangan sementara aktif menjalankan taktik tekanan tinggi terhadap negara tetangganya. Menggunakan 'kapal berlambung abu-abu' [kapal pengarung lautan yang berukuran lebih besar] pasti akan mengundang respon emosional, sementara lambung 'putih' [kapal patroli pantai yang berukuran lebih kecil] seringkali tidak," kata Chang.
"Di samping itu Beijing juga menggunakan pendekatan berbasis kuantitas dengan memenuhi suatu daerah dengan kapal-kapal kecil. Vietnam dan Filipina tidak bisa mengejar," katanya.
Majalah The Economist menulis dalam sebuah laporan pada 15 November bahwa Tiongkok, yang memiliki konsentrasi industri berat terbesar di dunia, dengan mudah memiliki kemampuan membuat kapal melampaui semua pesaingnya di wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Salami dan kubis
Robert Haddick, penulis "Fire on the Water: China, America and the Future of the Pacific," menuturkan kepada The Economist bahwa Tiongkok menggunakan dominasi kapal patroli pantai berukuran kecil untuk menegakkan klaim kedaulatan menggunakan strategi "lapis salami".
Strategi ini adalah "akumulasi perlahan perubahan-perubahan kecil, yang jika berdiri sendiri tidak bisa disebut casus belli, tetapi yang dapat membentuk perubahan strategis yang signifikan dalam perjalanan waktu," kata Haddick kepada The Economist.
Ronald O'Rourke, analis angkatan laut pada Layanan Riset Kongres Amerika Serikat, mengatakan kepada The Economist bahwa pejabat Tiongkok telah menjelaskan perluasan kedaulatan mereka di wilayah itu sebagai "strategi kubis."
"Pulau-pulau dibungkus, mirip kubis, dalam lapis-lapis perlindungan yang dibentuk oleh kapal nelayan, kapal penjaga pantai Tiongkok dan akhirnya kapal angkatan laut. Tiongkok jarang mengerahkan angkatan bersenjatanya dalam invasi merayap ini," kata The Economist.
"Satu ciri penting dari pendekatan Tiongkok ini adalah berhati-hati dengan menghindari keterlibatan langsung Angkatan Laut PLA sejauh mungkin. Penjaga Pantai Tiongkok dan armada besar kapal penangkap ikan Tiongkok telah menjadi ujung tombak dalam patroli di Laut Tiongkok Selatan dan secara agresif menegaskan klaim-klaim atas wilayah dan lahan perikanan terkait," tulis purnawirawan Laksamana Muda Michael McDevitt dalam The South China Sea: Assessing U.S. Policy and Options for the Future,” untuk Pusat Analisis Angkatan Laut pada 4 November.
Ia memberikan contoh aksi-aksi yang paling banyak dipublikasikan, termasuk mengusir perahu nelayan non-Tiongkok keluar dari wilayah tangkapan ikan yang diklaim Tiongkok, berusaha mencegah upaya Filipina untuk memasok lagi detasemen Marinirnya pada bekas kapal yang disandarkan di Beting Thomas Kedua, dan mencegah nelayan Filipina mencari ikan di wilayah tangkapan tradisional mereka di sekitar Beting Scarborough.
Jumlah itu penting
Collin mengutip analis Vietnam Liang Tuang Nah yang berpendapat, "Dalam bisnis perebutan kedaulatan, yang penting bukanlah kepemilikan beberapa kapal perang berteknologi maju ... melainkan kemampuan untuk mengerahkan kapal patroli atau kapal patroli ringan yang kurang dari segi teknologi namun berjumlah lebih banyak sehingga dapat menjaga ZEE [zona ekonomi eksklusif] dengan kehadiran petugas secara terus menerus."
Sementara kapal Penjaga Pantai telah menjadi ujung tombak dalam aksi Laut Tiongkok Selatan baru-baru ini, Collin menunjukkan bahwa kebuntuan Tiongkok-Vietnam soal anjungan minyak yang dimulai pada bulan Mei menunjukkan bahwa kapal bersenjata berat dapat menjadi bayang-bayang menakutkan. Angkatan Laut dan pasukan paramiliter Tiongkok telah berlatih bersama dalam tahun-tahun terakhir ini untuk membina sinergi, tulisnya.
"Baik Filipina maupun Vietnam memiliki penjaga pantai mandiri yang terpisah dari angkatan laut, yang berarti mereka harus membagi sumber daya nasional yang hanya sedikit di antara mereka," Collin memperingatkan. "Orang tidak harus terlalu ngotot untuk meyakinkan para perencana pertahanan di Hanoi dan Manila akan pentingnya membeli lebih banyak kapal patroli penjaga pantai, bukan kapal perang."
Sebaliknya, Tiongkok membuat lebih banyak kapal yang memiliki perlengkapan lebih baik.
"Tiongkok adalah pembuat kapal angkatan laut yang sudah mapan, sedangkan Vietnam dan Filipina, dengan keterbatasan kemampuan membuat kapal dan ketergantungan pada kemahiran asing, jelas berada pada posisi yang kurang menguntungkan," tulisnya.
Filipina dan Vietnam juga terhambat oleh kurangnya kerjasama signifikan di bidang militer atau pengadaan pertahanan sampai sekarang dan oleh sejarah perselisihan bilateral di antara mereka sendiri terkait kedaulatan atas pulau-pulau yang disengketakan, Collin menulis.
"Kepulauan Kalayaan Manila bertumpang tindih dengan kepulauan Truong Sa [Spratly] yang diklaim Vietnam dan dua negara ini juga memiliki sejarah insiden maritim bilateral," tulisnya. "Tidak ada jaminan bahwa hanya karena keduanya adalah anggota ASEAN [Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara], mereka tidak akan bertikai di SCS di masa depan. ... Untuk saat ini, Filipina dan Vietnam memiliki kesamaan kepentingan di SCS, tetapi bagaimana dengan masa depan dan implikasinya untuk pengadaan pertahanan bersama?"
Credit APDFORUM