Selasa, 25 November 2014
Perairan Berau, "Surga" Laut yang Diincar Penjarah Asing
Keindahan pantai di Pulau Maratua yang masuk dalam gugusan Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau Kalimantan Timur tak diragukan lagi, tetapi justru pengusaha Malaysia yang lebih tertarik menggarap paket wisata di pulau ini. Biasanya wisatawan yang datang ke Kepulauan Derawan justru mendapat informasi dari Malaysia, bukan dari Indonesia.
TANJUNG REDEB, CB — Perairan Berau, Kalimantan Utara, menjadi sasaran kapal asing penjarah hasil laut. Mengapa perairan tersebut diincar para nelayan asing ilegal tersebut?
Direktur Konservasi Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan mengatakan, perairan dengan total luas 12,8 hektar itu bagaikan surga yang jatuh ke bumi.
"Perairan Berau ini memiliki keanekaragaman hayati sangat kaya. Tetangga kita melihat itu hal berbeda. Akhirnya, mereka ambil ikan di sini," ujar Agus di Pelabuhan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Selasa (25/11/2014) siang.
Ada 13 pulau kecil di perairan Berau. Dua di antaranya adalah pulau terluar di Indonesia. Di antara pulau-pulau itulah kekayaan hasil laut terhampar.
Penyu hingga ubur-ubur
Sebanyak 13 pulau kecil tersebut merupakan habitat penyu hijau. Kondisi demikian menjadikan 13 pulau itu sebagai habitat terbesar penyu di Asia Tenggara. Penyu-penyu itu kawin di perairan Berau kemudian meletakkan telur-telurnya di pantai 13 pulau itu.
"Ada tujuh spesies penyu hijau di dunia. Enam spesies di antaranya ada di perairan Berau," ujar Agus.
Perairan Berau juga merupakan habitat dari spesies ikan pari yang dilindungi, yakni ikan pari manta (Manta birostris). Ikan dengan panjang maksimal hingga 7 meter ini hanya bisa ditemukan di perairan Raja Ampat, Papua; perairan Nusa Penida, Bali; dan perairan Pulau Kakaban, salah satu pulau di perairan Berau.
"Di dunia hanya dua jenis pari manta, dua-duanya ada di perairan Berau. Hebatnya, orang bisa leluasa berenang bersama mereka di laut dangkal," kata Agus.
Berau juga menjadi rumah bagi ubur-ubur. Sebagian besar jenis ubur-ubur laut memiliki kemampuan menyengat. Namun, jenis ubur-ubur yang hidup di sebuah danau di Pulau Kakaban, salah satu pulau di perairan Berau, sangat bersahabat. Orang bisa berenang bersama ubur-ubur itu tanpa harus khawatir tersengat tentakelnya. "Di dunia, hanya ada dua jenis ubur-ubur yang tidak menyengat. Satu di Pulau Kakaban, satu lagi di Kepulauan Palau. Jenis ini sangat endemik," ujar Agus.
Terumbu karang dan bakau
Pesona perairan Berau juga meliputi kekayaan terumbu karang dan hutan bakau. Keberadaan keduanya menjadikan perairan Berau surga bagi ikan-ikan, baik ikan hias, ikan konsumsi, hingga ikan besar sejenis hiu dan paus. Atas kondisi demikian, tidak heran jika "manusia perahu" datang ke perairan itu lalu menjarah hasil lautnya untuk dijual ke kapal asing besar di wilayah perbatasan.
Manusia perahu adalah sebutan bagi warga asal Malaysia dan Filipina yang mencari ikan berbulan-bulan di perairan Indonesia. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, dalam setahun, mereka bisa lima atau enam kali menjarah hasil laut Indonesia. Sudah tentu aktivitas mereka tidak mendapatkan izin alias ilegal.
"Modus operandinya, mereka menangkap ikan dengan kapasitas lima atau sepuluh gros ton. Rupanya di perbatasan sudah ada kapal ikan besar berkapasitas 300 gros ton untuk dijual di luar negeri. Jadi, kapal-kapal kecil ini jadi pemasok ikan ke mereka," ungkap Susi.
Yang memprihatinkan, cara penangkapan ikan kapal-kapal tersebut tidak menimbang kelestarian alam laut. Banyak kapal nelayan yang masih menggunakan pukat, racun (portas), atau bom ikan. Ketiga cara tersebut mengancam kelestarian ekosistem biota laut di perairan Indonesia.
Dalam waktu dekat, Susi akan berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri, Direktorat Jenderal Imigrasi, dan Kedutaan Besar Filipina untuk menentukan apa yang akan dilakukan selanjutnya, apakah mendeportasi mereka atau memberikan sanksi hukum atas tuduhan pencurian hasil laut.
Credit KOMPAS.com