Tiongkok telah melancarkan serangan daya pikat terhadap negara-negara tetangganya, termasuk negara-negara yang terus ditantangnya terkait klaim teritorial di laut Tiongkok Timur dan Selatan.
Presiden Tiongkok Xi Jinping sepakat untuk mengadakan pertemuan resmi dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam apa yang dianggap banyak pihak sebagai sebuah terobosan dalam hubungan yang tegang antara dua raksasa Asia ini.
Xi juga menjadi tuan rumah ketika ia sempat bertemu dengan Presiden Filipina Benigno Aquino III. Kedua pertemuan itu terjadi di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik [APEC] ke-22 di Beijing.
Pada pertemuan mereka tanggal 10 November, Xi dan Abe sepakat untuk mulai mengerjakan rencana penanggulangan krisis maritim untuk mencegah bentrokan di Laut Tiongkok Timur.
Abe mengatakan kepada Xi bahwa perkembangan damai Tiongkok membawa peluang yang menguntungkan bagi masyarakat internasional dan Jepang.
"Saya ingin memanfaatkan peluang yang berguna itu, dan bekerja sama sebagai ekonomi terbesar kedua dan ketiga di dunia, untuk memenuhi tanggung jawab kedua negara bagi perdamaian dan kemakmuran di kawasan dan masyarakat internasional," kata Abe, menurut Kementerian Luar Negeri Jepang.
Abe juga mengatakan kepada Xi bahwa Jepang dan Tiongkok adalah negara-negara tetangga yang menghadapi masalah individu, "tetapi jangan sampai masalah-masalah tersebut merusak hubungan secara keseluruhan."
Sementara itu, Xi mengatakan pertemuan itu merupakan langkah maju dalam meningkatkan hubungan bilateral. "Mulai sekarang saya ingin terus bergerak maju dengan meningkatkan hubungan di berbagai tingkatan," kata Xi, menurut kementerian itu.
Aquino dan Xi berunding
Tidak ada rencana pertemuan bilateral antara Xi dan Aquino, tetapi mereka sempat berbicara selama beberapa menit setelah acara penanaman pohon di Lahan Musim Panas di International Convention Center pada 11 November.
Aquino mengatakan Xi menyebutkan hubungan baik antara Filipina dan Tiongkok yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Xi juga menyampaikan harapannya kepada Aquino bahwa pihak Filipina, "bisa kembali ke konsensus sebelumnya dengan pihak Tiongkok" dan "untuk menuju ke arah yang sama dengan Tiongkok dalam menangani isu yang relevan."
Terakhir kali interaksi tingkat tinggi terjadi antara pemimpin kedua negara adalah ketika Aquino bertemu dengan mantan presiden Tiongkok Hu Jintao pada kunjungan kenegaraan Aquino di Beijing pada tahun 2011.
"Kami sangat senang dalam arti bahwa itu adalah pertama kalinya kami berhubungan langsung dengan mereka setelah saya bertemu dengan Presiden Hu Jintao sebelumnya," kata Aquino. "Jadi itu adalah pembukaan yang bagus. Mudah-mudahan, hal ini akan menghasilkan sesuatu yang konkret. "
Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan pertemuan ini adalah penegasan kembali posisi Tiongkok dalam meningkatkan dan mengembangkan hubungan dengan negara-negara yang relevan.
"Posisi Tiongkok mengenai kedaulatan teritorial adalah konsisten dan jelas. Kami tegas dalam menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah. Sementara itu, kami tetap berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa dengan negara-negara yang relevan melalui dialog dan konsultasi dalam upaya untuk bersama-sama menjaga perdamaian, stabilitas dan pembangunan daerah," kata kementerian itu.
Jepang dan Filipina menghadapi kebuntuan dalam sengketa teritorial yang terpisah dengan Tiongkok. Tokyo terlibat dalam perselisihan dengan Beijing atas Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang, yang dikenal sebagai Diaoyu di Tiongkok.
Sementara itu, Manila telah meminta arbitrase berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut [UNCLOS] mengenai persoalan wilayah di Laut Tiongkok Selatan.
Selain Filipina dan Tiongkok, penuntut lain atas Laut Tiongkok Selatan termasuk Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam. Namun, Tiongkok menyatakan klaimnya atas hampir seluruh Laut Tiongkok Selatan.
Tiongkok mengusulkan perjanjian persahabatan dengan ASEAN
Setelah menghadiri KTT Pemimpin APEC di Beijing, negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara [ASEAN] dan mitra dialognya beramai-ramai menuju Nya Pyi Taw untuk KTT ASEAN ke-25 dan KTT Asia Timur ke-9.
Sementara di sana, ASEAN dan Tiongkok gagal lagi untuk membahas usulan kode etik [COC] yang akan mengatur tindakan para penuntut di Laut Tiongkok Selatan yang disengketakan tersebut.
Juga tidak ada penetapan jadwal untuk memulai diskusi resmi kecuali dalam pernyataan Ketua bahwa, "kami menyambut kemajuan positif dalam konsultasi untuk melaksanakan Deklarasi Perilaku dan perjanjian untuk mengusahakan pembentukan Kode Etik dengan segera berdasarkan konsensus. "
Sementara itu, Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang mengusulkan perjanjian persahabatan dengan negara-negara Asia Tenggara, dengan menawarkan pinjaman sebesar $20 milyar USD.
Li mengatakan kepada KTT Asia Timur ke-9 ini bahwa perjanjian ini bertujuan untuk memberikan kerangka kerja kelembagaan dan jaminan hukum untuk ko-eksistensi damai antara kedua belah pihak dari generasi ke generasi. Pinjaman $20 milyar USD ini bersifat preferensial dan pinjaman khusus akan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur ASEAN.
Li menegaskan posisi Tiongkok bahwa sengketa maritim harus diselesaikan secara bilateral ketimbang kolektif atau melalui arbitrase.
Li mengatakan Tiongkok dan beberapa negara ASEAN mungkin memiliki sejumlah perbedaan mengenai persoalan Laut Tiongkok Selatan, "tetapi perbedaan-perbedaan ini seharusnya tidak akan mempengaruhi stabilitas regional atau hubungan Tiongkok-ASEAN secara keseluruhan, juga tidak pula menghambat kebebasan dan keselamatan bernavigasi di Laut Tiongkok Selatan."
"Kami sepenuhnya yakin bahwa selama kita tetap pada jalur yang benar, menjaga momentum dialog dan konsultasi serta memperkuat kerja sama maritim praktis, kita akan mampu menangani persoalan Laut Tiongkok Selatan dengan benar," kata Li.
Li juga mengumumkan usulan Tiongkok untuk menyatakan tahun depan sebagai "Tahun Kerja Sama Maritim Tiongkok-ASEAN" untuk memperkuat kerja sama regional di bidang ekonomi kelautan, ilmu dan teknologi kelautan, perlindungan ekologi laut dan konektivitas maritim.
Pembangunan di Laut Tiongkok Selatan berlanjut
Lembaga konsultan risiko yang berbasis di Asia, Pacific Strategies and Assessments [PSA] mengatakan sikap Tiongkok baru-baru ini ke Filipina dan tetangga lainnya janganlah dipandang sebagai pelunakan sikap agresif negara itu di Laut Tiongkok Selatan.
Selain rutin mengirimkan kapal hidrografi dalam zona ekonomi eksklusif negara-negara lain, Tiongkok sedang melakukan reklamasi lahan pada beberapa terumbu seperti Beting Gaven, Hughes, Cuateron, Eldad dan Johnson Selatan.
Tiongkok juga sedang membangun sebuah lapangan terbang di Beting Fiery Crosssebagai pangkalan terdepan untuk Angkatan Laut dan Angkatan Udara dari Tentara Pembebasan Rakyat [PLA]. Baru-baru ini Tiongkok merampungkan landasan 2.000 meter di Pulau Woody di Kepulauan Paracel, wilayah yang juga diklaim oleh Vietnam dan Taiwan.
Beijing juga mengumumkan pembangunan lima mercusuar di Beting Utara, Beting Antelope, Beting South Sand, Pulau Drummond dan Pyramid Rock, semuanya berada di Kepulauan Paracel.
PSA mengatakan, Tiongkok tidak mengambil langkah untuk mengurangi klaimnya dan bahkan terus mengubah beting dan lhan di laut menjadi pulau-pulau kecil, tindakan yang sangat provokatif di mata tetangganya.
"Meskipun kedua belah pihak masih buntu perihal masalah teritorial Laut Tiongkok Selatan, hubungan yang baru-baru ini menghangat menunjukkan bahwa baik Filipina maupun Tiongkok menyadari bahwa hubungan mereka seharusnya tidak dibatasi oleh sengketa tunggal ini," katanya.
"Ambisi Tiongkok untuk dilihat sebagai negara adidaya global, bukan hanya di segi ekonomi tapi juga geopolitik, juga akan menguntungkan Filipina. Tiongkok jelas tidak ingin dipandang terlibat dalam perselisihan kecil dengan tetangga-tetangganya. Negeri ini mengisyaratkan minggu lalu bahwa mereka ingin dilihat sebagai pemimpin daerah yang ramah, yang meminjamkan kemampuan ekonomi mereka untuk meningkatkan ekonomi semua negara yang mengelilinginya," tambah PSA.
Credit apdforum