CB - Sebagaimana halnya dengan banyak konfrontasi dalam sejarah, negara-negara agresif membuat garis kiasan di atas pasir untuk menandai rencana perluasan mereka menentang negara-negara lain yang wilayahnya mereka inginkan.
Namun, saat ini dengan Republik Rakyat Tiongkok [RRT] bukanlah garis di atas pasir tetapi peta “10 garis putus” Tiongkok dengan perbatasan yang diperluas dan diperlebar di lautan Tiongkok Selatan dan Timur yang menuai kritik dari para tetangga Tiongkok serta Amerika Serikat.
Mengutip “batas nasional,” Tiongkok mengumumkan lebih dari setahun lalu bahwa mereka memperluas kekuasaannya atas jalur pelayaran yang menguntungkan di Laut Tiongkok Selatan, dan akhirnya meresmikan langkah itu pada 1 Agustus.
Akibatnya, negara-negara tetangga termasuk Filipina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, dan Brunei melihat bahwa daerah maritim mereka ditantang oleh perluasan wilayah bahari Tiongkok yang baru. Negara-negara tersebut menantang perambahan Tiongkok yang sedang berlangsung.
Kecemasan sudah berlangsung bertahun-tahun
Tiongkok telah mengklaim Laut Tiongkok Selatan sejak akhir Perang Dunia II, mengeluarkan sebuah peta dengan 11 garis putus pada tahun 1947 untuk membenarkan deklarasinya.
Dalam sebuah protes di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Juni 2011, Presiden Filipina Benigno Aquino III mengatakan klaim 9 garis putus Tiongkok atas seluruh Laut Tiongkok Selatan bertentangan dengan hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut [UNCLOS].
Khususnya adalah Kepulauan Paracel yang diklaim oleh Vietnam tetapi diduduki oleh Tiongkok, dan Kepulauan Spratly yang diklaim semua atau sebagiannya oleh beberapa negara termasuk Tiongkok, Taiwan, Filipina, Malaysia, dan Vietnam.
Konfrontasi bulan Maret 2013 antara sebuah kapal patroli TNI-AL dengan beberapa kapal AL Tentara Pembebasan Rakyat [PLA] Tiongkok berujung pada Tiongkok mengambil langkah-langkah yang lebih agresif dan mengeluarkan peta dengan jangkauan bahari yang lebih luas tiga bulan kemudian dengan “10 garis putus” yang baru.
Dalam insiden tersebut, kapal patroli menahan beberapa nelayan Tionghoa atas dugaan memasuki wilayah yang diklaim Indonesia sebagai Zona Ekonomi Eksklusif [EEZ]. Tiongkok mengirim beberapa kapal fregat ke TKP dan akhirnya memaksa perahu Indonesia yang kalah kekuatan untuk melepaskan para nelayan itu.
Meskipun insiden itu berakhir dengan damai, bukanlah suatu kebetulan bahwa Tiongkok mengeluarkan peta “10 garis putus” baru yang memperluas batas maritim yang diakuinya sendiri untuk mencakup perairan yang sudah dalam sengketa, tetapi juga wilayah di Laut Tiongkok Selatan sebelah timur Taiwan, yang mengklaim otonomi dari RRT.
Pada dasarnya, tindakan perluasan Tiongkok ke selatan dan barat daya di Laut Tiongkok Selatan mencerminkan perluasan yang dilakukannya di Laut Tiongkok Timur, yang mengklaim Kepulauan Senkaku [oleh Tiongkok disebut sebagai Kepulauan Diaoyu].
Tiongkok menyatakan bahwa klaimnya didukung sejarah
Apa yang sebelumnya disebut sebagai “9 garis putus” dan “11 garis putus” adalah akibat dari Tiongkok mengklaim semua kepulauan Paracel, Pratas, dan Spratly setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II.
Seiring waktu berjalan, Tiongkok terus memaksakan klaimnya atas perairan Laut Tiongkok Selatan dengan peta garis putus, dinamakan begitu karena klaim itu ditandai dengan garis putus-putus dan bukan koordinat-koordinat pasti.
“Tiongkok tidak pernah menerangkan klaim 9 garis putusnya,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Filipina Charles Jose kepada wartawan pada bulan Juni 2014. “Apa artinya itu? Apakah itu klaim atas perairannya atau klaim atas fitur-fitur daratan?”
“Sembilan garis putus itu dapat digeser-geser; tidak ada koordinat geografisnya.”
Filipina dan lawan-lawannya yang lain menuntut bahwa Tiongkok telah melanggar langsung UNCLOS, sebuah perjanjian tahun 1982 yang ditandatangani 163 negara – termasuk Tiongkok dan Filipina – yang menetapkan pedoman dan batasan wilayah untuk penggunaan dan ukuran daerah lepas pantai yang dapat diklaim sebuah negara sebagai bagian dari batas nasionalnya.
“Kami tegaskan ulang bahwa penerbitan [peta 10 garis putus] itu hanya menunjukkan klaim perluasan Tiongkok yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum internasional dan UNCLOS,” kata Jose kepada wartawan. “Ekspansi ambisius seperti itulah yang menyebabkan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.”
UU baru perkuat militer Tiongkok
Pada 1 Agustus 2014, Tiongkok memberlakukan undang-undang baru yang mengizinkan pasukan militernya mencegah gangguan terhadap perairan terlarang, menurut South China Morning Post.
Kendatipun Tiongkok membuat klaim bahwa mereka hanya melindungi perbatasannya, mereka sebenarnya mungkin lebih tertarik pada laporan kandungan sumber daya alam – termasuk cadangan minyak dan gas bumi yang diyakini senilai USD 5 triliun – yang tampaknya berada di dasar laut, menurut LNGindustry.com, sebuah situs web yang berfokus pada industri gas alam cair.
Lautan itu juga merupakan rute penting transportasi internasional.
“Selain dari negara-negara penggugat Spratly, ada banyak kapal militer dan niaga yang mengarungi jalur laut tersebut, jadi hal ini akan memiliki dampak besar di antara kekuatan-kekuatan besar dunia,” kata Rommel Banlaoi, ketua Center for Intelligence and National Security Studies [CINSS] di Quezon City, Filipina.
Laut Tiongkok Selatan mungkin akan menjadi sebuah batu ujian
Apa yang dilakukan AS di tengah-tengah perluasan batas Tiongkok yang secair perairan yang mereka tandai?
Dengan lebih dari USD 5 triliun perdagangan melalui laut melewati jalur ini, Laut Tiongkok Selatan adalah sebuah batu ujian, apakah gagasan maritim bersama, terbuka bagi perdagangan laut setiap dan semua negara-negara, akan bertahan dalam bentuknya saat ini, tulis The Diplomat pada 1 Juli 2014.
“Jika Tiongkok secara perlahan diizinkan mengubah status quo dan mengambil kendali Laut Tiongkok Selatan sebagai wilayahnya yang berdaulat, hal itu akan menimbulkan sebuah preseden berbahaya.”
Tiongkok kemudian membalas bahwa AS tidak boleh terlibat dalam urusannya, menurut sebuah pernyataan pada akhir Juni dari Kedutaan Tiongkok di Filipina.
“AS bukanlah pihak yang terlibat di dalam sengketa di Laut Tiongkok Selatan; mereka juga tidak menandatangani UNCLOS,” menurut pernyataan tersebut. “Kami berharap mereka dapat lebih mempromosikan perdamaian dan stabilitas di Asia-Pasifik, daripada sebaliknya.”
Kedutaan RRT , mengutip pernyataan dari para pejabat Tiongkok, juga mengklaim bahwa sejarah mendukung Tiongkok dalam hal perbatasan berdaulat, bahkan yang ada di lautan.
“Kedaulatan Tiongkok atas Kepulauan Nansha [Spratly] dan perairan disekitarnya dibentuk lebih dari 2.000 tahun yang lalu,” menurut pernyataan tersebut. “Tiongkok selalu berpendapat bahwa sengketa Laut Tiongkok Selatan harus diselesaikan melalui negosiasi bilateral dan konsultasi di antara negara-negara yang terlibat langsung berdasarkan rasa hormat atas fakta sejarah dan hukum internasional.”
Pada 21 November, pejabat AS menyerukan agar Tiongkok menghentikan proyeknya di Karang Fiery Cross dan di mana pun di Kepulauan Spratly.
“Kami mendesak agar Tiongkok menghentikan program reklamasi tanahnya dan terlibat dalam upaya diplomatik untuk mendorong semua pihak agar menahan diri dalam kegiatan semacamnya,” kata juru bicara militer AS Letkol Jeffrey Pool.
Tiongkok menampik komentar itu pada 24 November.
“Kekuatan luar tidak berhak membuat pernyataan tak bertanggung jawab,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying. “Kegiatan konstruksi yang dilakukan Tiongkok adalah untuk perbaikan kondisi kerja dan hidup personel yang ditempatkan di pulau itu supaya mereka dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab internasional mereka dengan lebih baik dalam pencarian dan penyelamatan.”
Tiongkok dan Jepang berselisih atas Laut Tiongkok Timur
Tiongkok menggunakan alasan yang sama untuk klaimnya atas Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut Tiongkok Timur, yang menurutnya masuk dalam perbatasan wilayahnya, meskipun Jepang dan Taiwan juga mengklaim kendali atas kelompok tujuh pulau tak berpenghuni tersebut.
Kendali Filipina atas perairan sekitar di Laut Tiongkok Selatan tampaknya yang paling terdampak dan terpengaruh oleh peta maritim Tiongkok, dimana Tiongkok mengklaim sebuah petak besar – sebanyak 90 persen – dari apa yang disebut Filipina sebagai Laut Filipina Barat.
“Tiongkok tidak memegang apa-apa selain khayalan bahwa mereka memiliki Laut Tiongkok Selatan dan tidak ada yang percaya padanya,” kata mantan Menteri Dalam Negeri Filipina Rafael Alunan III pada awal bulan Juli. “Klaim mereka atas Laut Tiongkok Selatan sangatlah keliru; tidak ada dasar nyata untuk itu. Saya menyebutnya sebuah dongeng.”
Credit apdforum