Sederhana, namun lebih kuat dan lebih andal dibanding pesaing-pesaingnya
yang lebih canggih, itulah alasan mengapa senapan Mosin berkaliber
"three line" menjadi senjata dalam perang Rusia-Jepang, Perang Dunia I
dan Perang Dunia II, serta Perang Saudara Rusia.
CB - Sebutkan kata 'Rusia' dan 'senjata', maka senapan
serbu Kalashnikov AK47 akan muncul dalam benak sebagian besar orang.
Namun, sebuah senjata penantang yang kurang dikenal yang tak kalah hebat
adalah senapan Mosin 1891 three line yang digunakan pada perang Rusia-Jepang, Perang Dunia I dan Perang Dunia II, serta Perang Saudara Rusia.
Kehebatan senapan Mosin membuat ia dimodernisasi
hingga empat kali dalam setengah abad, sementara negara-negara lain
harus memperbarui persenjataan mereka dengan desain yang sepenuhnya
baru. Senapan three line ini, yang disebut demikian karena
metode lawas Rusia yang menggunakan garis tertentu untuk mengukur
kaliber senjata api, menunjukkan performa yang mengesankan di seluruh
dunia. Dalam Perang Dunia I, senapan Mosin hasil rampasan sangat
dikagumi oleh pasukan Jerman dan Austria karena efisiensi dan kemudahan
penggunaannya.
Mosin kemudian dikeluarkan untuk tentara Eropa Timur
setelah Perang Dunia II sebelum tersebar jauh dan luas ke negara-negara
berkembang, digunakan dalam perang di Vietnam dan Afghanistan pada
1970-an dan 1980-an.
Kemunculan senjata ini merupakan produk zaman, karena
dalam dekade terakhir abad ke-19, senapan yang ringkas, cepat, dan
akurat menjadi semakin penting di medan perang. Senapan yang menggunakan
mesiu hitam untuk menembakkan peluru timah berat cepat usang karena
adanya desain kaliber yang lebih kecil dan menggunakan klip.
Senapan Mosin, 1947. Foto: TASS
Namun, upaya untuk menyesuaikan model lama gagal,
menandai awal persaingan senjata baru di antara bangsa-bangsa maju.
Sebuah terobosan datang pada 1886 ketika Prancis mengadopsi senapan bolt-action delapan
mm Lt. Col Nicolas Lebel. Menggunakan amunisi mesiu tanpa asap, senapan
ini memiliki jangkauan tembak dua kali lebih jauh dari senapan lain di
medan perang.
Pada 1890, ahli kimia Dmitri Mendeleev
menciptakan mesiu tanpa asap versi Rusia. Temuan tersebut menciptakan
waktu yang tepat untuk meluncurkan sebuah senapan Rusia generasi baru
yang unggul. Akan tetapi, meski perlombaan senjata berlangsung semakin
ketat, peluncuran senjata tersebut ditunda. Tentara Rusia membutuhkan
sistem senjata yang sesuai dengan persenjataannya saat itu dan cocok
untuk diproduksi massal dengan menggunakan kapasitas industri yang ada.
Kemudian, pada 1891, dua desain bersaing ketat dalam
kompetisi yang diadakan oleh Kementerian Perang: senapan Kapten Sergei
Mosin dan senapan insinyur Belgia Leon Nagant. Keduanya sangat berbeda,
senapan Rusia lebih kasar dalam konstruksi dan ditujukan lebih sebagai
prototipe desain akhir. Sementara itu, senapan Nagant telah diberi semua
sentuhan akhir dan siap sebagai senjata umum (general issue).
Kecanggihan model Belgia itu pada akhirnya malah
merugikan karena tidak cocok untuk prajurit rekrutan baru yang rata-rata
tidak memiliki keterampilan menembak. Belum lagi biaya produksinya yang
tinggi. Sementara meski senapan three line itu tampak polos, ia segera menunjukan ketahanan, kemudahan perakitan dan pembongkaran, serta keandalan dalam kondisi buruk.
Desain Mosin mengalahkan saingan asingnya dan pertama
kali digunakan pada 1893 dalam pertempuran antara pasukan Rusia dengan
tentara suku Afghanistan. Tiga juta senapan digunakan saat Perang
Rusia-Jepang pecah pada 1904 dan membuktikan kehebatan tempur mereka di
medan berat dan kondisi iklim yang keras, meski kekurangan suku cadang
dan buruknya dukungan logistik.
Dalam Perang Dunia I, senapan Mosin milik pasukan
Rusia segera menunjukkan keunggulan atas model Inggris dan Prancis yang
lebih rumit, yang sebelumnya telah dibeli dan diuji oleh pemerintah
Tsar.
Senapan Mesin PPSH-41, Kenangan dari Masa Perang
Setelah modifikasi terakhir pada 1944, produksi senjata ini dihentikan setelah perang. Namun, jutaan unit senapan ini tetap digunakan di seluruh dunia dan beberapa di antaranya masih dengan bangga dipanggul sebagai senjata resmi dan seremonial.
Credit RBTH Indonesia