Kalangan pengamat menilai Indonesia harus
mengubah pendekatan militer untuk mencegah kawasan ASEAN menjadi arena
perebutan kepentingan negara-negara besar. (CNN Indonesia/Christie
Stefanie)
Jakarta, CB -- Menteri Luar Negeri RI
Retno Marsudi mengatakan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN)
harus bisa memperkuat persatuan antar-negara anggota untuk mencegah
kawasan menjadi arena perebutan kepentingan antara negara-negara besar.
“Tahun
ini menginjak 50 tahun ASEAN. Salah satu tugas yang harus dilakukan
ASEAN adalah mencegah kawasan Asia Tenggara dan ASEAN sendiri menjadi
proksi kompetisi kepentingan negara besar,” kata Retno dalam pidatonya
saat membuka seminar bertemakan Geo-Political and Economic Shift in
Indo-Pacific Region and Indonesian Foreign Policy, di Jakarta, Senin
(18/12).
Dalam seminar yang digelar Indonesian Council on World
Affairs (ICWA) dalam rangka peringatan 100 tahun Adam Malik, Retno
mengatakan bukan hal yang mudah menyatukan seluruh suara dan kepentingan
negara anggota ASEAN. Namun, hal itu, paparnya, bisa dilakukan dengan
mulai memperjelas posisi negara msing-masing di kawasan.
Sebagai salah satu pendiri ASEAN, kata Retno, Indonesia memiliki
pendirian yang kuat dalam memposisikan negara di kawasan, bahkan dunia
internasional. Pendirian itu menjadi salah satu hal prinsip yang mesti
dimiliki setiap negara dalam menghadapi tantangan dan perubahan di
kawasan bahkan global.
“Indonesia harus memahami posisinya di
kancah internasional. Memahami posisi negara berarti mengetahui apa
kepentingan kita dan bagaimana kita bisa berkontribusi kepada dunia
sehingga tidak mudah terbawa arus oleh pihak-pihak lainnya,” kata Retno.
Menanggapi pidato Menlu Retno, Presiden Indonesia Institute of
Maritime Studies, Connie Rahakundini Bakrie, mengatakan sudah saatnya
bagi Indonesia mengubah pendekatan pertahannya menjadi lebih ofensif
atau menyerang agar bisa menghadapi tantangan dan
geo-politik/geo-ekonomi yang terus berubah di kawasan Indo-Pasifik,
khususnya Asia Tenggara.
Hal ini, menurut Connie, perlu dilakukan
guna mendukung visi Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia yang mampu mengantisipasi kawasan
menjadi arena proksi atau persaingan kepentingan negara besar.
“Indonesia
harus sesegera mungkin mengubah pendekatan pertahanan yang selama ini
pasif dan cenderung bertahan menjadi lebih dinamis offensive pasive
defense. Ini penting mendorong visi sebagai poros maritim dunia dan
menghadapi perubahan di kawasan,” kata Connie dalam seminar yang sama.
Sebagai
poros maritim dunia, Connie mengatakan, Indonesia perlu memperkuat
elemen pertahanan udara dan maritim. Salah satunya dengan meningkatkan
aktivitas TNI di di utara dan selatan Indonesia untuk menghadapi setiap
ancaman yang timbul dari perairan dan udara.
Analis militer itu
menanggapi perubahan geo-politik dan geo-ekonomi yang terjadi menyusul
banyaknya pengaruh negara besar yang mencoba terlibat di kawasan
strategis ini.
Menurutnya, Indonesia perlu memperkuat elemen
pertahanan maritim dan udara dari segala penjuru. Baik di Perairan
Pasifik, maupun Samudera Hindia.
“Inilah keuntungan sekaligus pekerjaan rumah bagi Indonesia yang berada tepat di antara dua samudera besar,” lanjutnya.
Peneliti
senior Pusat Studi Pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Dewi Fortuna Anwar, juga mengingatkan ASEAN untuk mewaspadai
permainan dan pengaruh negara besar di kawasan.
Karena letaknya
yang strategis, Dewi mengatakan, sejumlah negara besar seperti China,
Amerika Serikat, Jepang, Australia, bahkan India mencoba ikut
mempengaruhi perubahan geo-politik dan geo-ekonomi di kawasan.
“Kita
selama ini sudah lihat banyak kepentingan negara first power, second
power, hingga middle power hadir di kawasan [Asia Tenggara]. Lihat saja
konflik laut China Selatan. Dinamika hubungan antara negara besar ini
bisa mempegaruhi kawasan Indo-Pasifik as a whole, terutama Asia Tenggara
secara khusus,” kata Dewi.
Foto: REUTERS/Bullit Marquez/Pool Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN ke-50 di Manila, Filipina
|
Selain mengantisipasi, Dewi mengatakan, ASEAN juga harus bisa
membuktikan bahwa organisasi regional itu mampu menyelesaikan masalah
dan tantangan internal di kawasan. Seperti misalnya, konflik antara
sesama anggota ASEAN hingga dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan
negara-negara anggotanya.
Ia mengatakan, dengan bertambahnya umur
ASEAN, semakin banyak pula pihak yang mengkritik bahwa organisasi
tersebut tidak mampu menyelesaikan tantangan dan isu kawasan yang
ditimbulkan oleh salah satu anggotanya.
“Banyak pihak yang kecewa
dan menganggap bahwa ASEAN tidak punya pendirian tegas menindak negara
anggotanya yang melanggar prinsip demokrasi dan HAM piagam ASEAN. Fakta
ini menjadikan banyak masyarakat ASEAN skeptis terhadap kapabilitas
organisasi regional ini untuk menghadapi tantangan eksternal, terutama
kebangkitan China dan perubahan geopolitik lainnya yang tidak menentu
saat ini,” kata Dewi.
Credit
cnnindonesia.com