Kamis, 27 Desember 2018

Wartawan Pakistan Kecewa, Pemerintah Berlakukan Sensor


Wartawan di Pakistan memprotes ancaman sensor oleh pemerintah. Sumber: KM Chaudary/AP/aljazeera.com
Wartawan di Pakistan memprotes ancaman sensor oleh pemerintah. Sumber: KM Chaudary/AP/aljazeera.com

CB, Jakarta - Wartawan di Pakistan kecewa dengan ancaman sensor oleh pemerintah. Wartawan dan para penasehat kebebasan berpendapat, mengatakan militer dan badan intelijen Pakistan atau ISI telah menekan media-media yang kritis melakukan peliputan.
Qazi Salauddin, mantan wartawan Pakistan, mengatakan sensor yang diberlakukan pemerintah Pakistan saat ini lebih buruk dari sebelumnya. Perdana Menteri Pakistan yang baru, Imran Khan telah memangkas anggaran iklan dan memeras sumber pendapatan utama surat kabar dan stasiun TV milik swasta.
"Hari ini, kami tidak tahu apa yang akan mengganggu mereka (wartawan). Padahal kami telah melakukan sensor sendiri sehingga ini adalah sensor terburuk yang pernah terjadi karena dilakukan untuk menghapuskan ketakutan," kata Salauddin.

Dikutip dari aljazeera.com, Rabu, 26 Desember 2018, pemberlakuan sensor telah membuat sejumlah situs pemberitaan di bredel, seperti situs Urdu yang merupakan bagian dari Voice of America. Pembredelan situs itu dilakukan setelah situs urdu mempublikasi laporan operasi militer di wilayah perbatasan Pakistan - Afganistan.
Mashaal Radio yang terafiliasi dengan Radio Kebebasan Eropa juga ikuti dibredel.

Terkait sensor, Cyril Almeida, wartawan Pakistan, dituntut atas tuduhan telah melakukan pengkhianatan setelah dia mempublikasi wawancara dengan mantan Perdana Menteri Nawaz Sharif. Dalam wawancara itu, Sharif menuding militer Pakistan telah membantu kelompok militan bersenjata melancarkan serangan di kota Mumbai, India, pada 2008.
Selain memberlakukan sensor pada perusahaan media dan wartawan, otoritas berwenang Pakistan juga melakukan sensor pada media sosial. Pakistan telah secara langsung meminta Twitter membekukan sejumlah akun dan meminta Facebook agar menutup ribuan laman di situs itu yang mengkritik militer hingga menyebarkan ujaran kebencian dan menghina Islam. 




Credit  tempo.co