Kamis, 27 Desember 2018

Kaleidoskop 2018: Senjata Nuklir di Tangan Donald Trump


Presiden Donald Trump.
Presiden Donald Trump.
Foto: EPA-EFE/Michael Reynolds
Sepanjang 2018, Donald Trump mengubah tatanan kesepakan senjata nuklir dunia.



Oleh Redaktur Republika.co.id: Nur Aini


Sepanjang 2018, konstelasi kesepakatan senjata nuklir dunia berubah drastis. Sosok Presiden AS, Donald Trump berada di balik berbagai peristiwa yang terkait dengan perubahan tatanan kesepakatan senjata nuklir. Ambisi Trump untuk mengubah kesepakatan senjata nuklir sesuai keinginannya merontokkan dua kesepakatan senjata nuklir. Ambisi itu pula yang melahirkan kesepakatan baru senjata nuklir dengan Korea Utara. 

Ada tiga peristiwa penting yang menandai perubahan konstalasi senjata nuklir dunia sepanjang 2018. Pertama, keputusan Donald Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian kesepakatan nuklir Iran yang dibuat pada 2015. Kedua, pertemuan Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un di Singapura pada 12 Juni 2018 yang melahirkan kesanggupan denuklirisasi Korut. Ketiga, Donald Trump menarik AS dari perjanjian Intermediate-range Nuclear Forces (INF) yang disepakati dengan Rusia (Uni Soviet).

Donald Trump mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 8 Mei 2018 yang sekaligus menandai pemulihan sanksi ekonomi untuk Iran. Kesepakatan nuklir Iran ditandatangani di Vienna pada 14 Juli 2015 antara Iran dengan lima anggota Dewan Keamanan PBB yakni Cina, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS dengan ditambah Jerman dan Uni Eropa.


Dalam kesempatan itu, Iran setuju mengurangi persediaan uranium hingga 98 persen. Iran juga hanya diperbolehkan menambah Uranium 3,6 persen selama 15 tahun. Iran juga harus mengizinkan inspektur internasional masuk ke fasilitas nuklirnya. Sebagai gantinya, sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut.

Kesepakatan JCPOA itu dinilai Trump memiliki kecacatan karena tak membahas program rudal balistik Iran, kegiatan nuklir Iran setelah 2025, dan peran Iran dalam konflik Yaman dan Suriah. Oleh karena itu, AS mengusulkan adanya revisi baru untuk kesepakatan nuklir Iran. Tawaran revisi tersebut ditolak oleh Iran yang memilih untuk mempertahankan JCPOA.


Sanksi AS kemudian diberlakukan dengan menyasar sektor perdagangan metal berharga Iran, keuangan dan perbankan nasional, serta industri otomotif. Perusahaan yang memulai transaksi bisnis dengan Iran akan disanksi dan diminta mengakhiri kontrak  selama periode 90 hari dan 180 hari. Sanksi tersebut diberlakukan meski laporan badan pengawas atom dari PBB yakni Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan Iran mematuhi kesepakatan nuklir 2015.

Uni Eropa berusaha menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran 2015 tersebut. Hingga akhir 2018, Iran pun tetap mempertahankan kesepakatan nuklir tersebut. Akan tetapi, Iran kembali mempertanyakan masa depan JCPOA jika tidak memberikan manfaat ekonomi bagi negaranya.

Setelah menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran, Donald Trump mencatatkan sejarah baru dengan menemui pemimpin Korut, Kim Jong-un di Hotel Capella, Pulau Sentosa, Singapura pada 12 Juni 2018. Dalam pertemuan itu, Trump dan Kim menandatangani dokumen yang berisi pernyataan bersama kedua pemimpin negara. Ada empat hal yang terdapat dalam dokumen tersebut yakni pembangunan hubungan baru antara AS-Korut, kerja sama perdamaian di Semenanjung Korea, komitmen denuklirisasi Semenanjung Korea, dan penyelesaian tahanan perang dan repatriasi jenazah sisa perang Korea.

Korea Utara memang kerap membuat negara-negara lain khawatir dengan perkembangan senjata nuklir yang dimilikinya. Uji coba senjata nuklir dilakukan oleh Korut sejak Oktober 2006. Pada 2018, Korsel mengungkap Korut diyakini memiliki 60 senjata nuklir.

Dalam pelaksanaan kesepakatan tersebut, Donald Trump membatalkan sebagian besar latihan militer dengan Korsel. Korut juga mengirimkan jasad sisa era perang Korea ke AS. Akan tetapi, perlucutan senjata nuklir Korut tidak berjalan mulus. Korut menolak seruan AS untuk melakukan denuklirisasi secara sepihak. Pemerintah Pyongyang tidak mau melucuti senjata nuklir melalui tekanan dan menuntut pencabutan sanksi bagi Korut. Korut juga meminta kesepakatan denuklirisasi mencakup wilayah yang lebih luas. Akan tetapi, AS menolak mencabut sanksi bagi Korut sebelum ada kemajuan dalam denuklirisasi. Donald Trump memilih untuk kembali bertemu dengan Kim Jong-un pada awal 2019.

Di pengujung 2018, Donald Trump kembali mengumumkan mundurnya AS dari kesepakatan senjata nuklir. Pada 18 Desember 2018, AS secara resmi mundur dari perjanjian INF. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 1987 oleh mantan presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev dan mantan presiden AS Ronald Reagan. Kesepakatan melarang kedua belah pihak memiliki dan memproduksi rudal nuklir dengan daya jangkau 500-5.500 kilometer. Pada 1991, kesepakatan tersebut telah memusnahkan 2.700 rudal balistik dan jelajah.

Trump menuding Rusia melanggar kesepakatan INF tersebut. Moskow diyakini tengah mengembangkan senjata sistem peluncuran dari darat. Pengembangan senjata itu diprediksi bisa membuat Moskow mampu melancarkan serangan yang menjangkau Eropa dalam waktu singkat. Tudingan itu telah berkali-kali dibantah oleh Rusia.

Ketiga peristiwa penting tersebut menggambarkan keinginan Donald Trump untuk mengatur senjata nuklir negara-negara yang menjadi "musuh" AS. Akan tetapi, keluarnya AS dari JCPOA dan INF justru meninggalkan dunia tanpa tatanan kesepakatan senjata nuklir. Lantaran hal itu, 2018 menjadi tahun di mana dunia kembali masuk ke era perlombaan senjata nuklir, seperti saat Perang Dingin.





Credit  republika.co.id