"Mereka terpaksa mengambil cara pengeboman."
Washington (CB) - Jumlah tentara Afghanistan turun 11
persen pada 2017 yang menunjukkan kesulitan pemerintahan Kabul dalam
menangani persoalan keamanan, demikian laporan lembaga pemerintahan
Amerika Serikat (AS), Selasa.
Lembaga pemantau Afghanistan bentukan Washington (SIGAR) mengatakan bahwa jumlah tentara tergabung dalam pasukan Keamanan dan Pertahanan Nasional Afghanistan (ANDSF) --yang termasuk angkatan darat, laut, udara, dan kepolisian-- mencakup sekira 296.400 personel terhitung pada Januari 2018.
Angka tersebut turun 10,6 persen dibanding bulan yang sama pada 2017.
ASi sudah selama dua dasawarsa terakhir ini berupaya untuk mebangun pasukan keamanan Afghanistan yang mampu melindungi dan mempertahankan wilayahnya secara mandiri.
"Pembangunan kemampuan pasukan Afghanistan adalah prioritas utama bagi Amerika Serikat dan negara-negara sahabat. karena itu sangat mengkhawatirkan menyaksikan kekuatan bersenjata di Afghanistan justru menurun," kata John Sopko, kepala SIGAR, kepada Reuters.
Ribuan tentara tambahan AS sudah dikirim ke Afghanistan untuk melatih pasukan di sana. Sementara itu, mereka juga diberikan wewenang yang lebih luas untuk menggelar serangan udara dengan target kelompok bersenjata penentang pemerintah Kabul.
Di muka umum, para pejabat AS mengaku optimistis terhadap situasi di Afghanistan. Seorang jenderal asal Washington di Afghanistan pada tahun lalu, bahkan mengatakan bahwa negara itu telah "membalik keadaan".
Saat ditanya apa targetnya di Afghanistan pada tahun depan, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengatakan bahwa dia ingin "melihat pasukan Afghanistan yang punya kemampuan lebih, dan tingkat kekerasan yang menurun.
Bahkan, pada awal pekan ini Mattis masih mengatakan bahwa serangkaian serangan yang terjadi belakangan ini sudah diperkirakan dan para gerilyawan sudah semakin terdesak.
"Ini adalah hal normal bagi orang-orang yang tidak bisa memenangi hati rakyat dalam kotak suara. Mereka terpaksa mengambil cara pengeboman," kata Mattis.
Namun, di balik layar, sejumlah sumber intelijen AS mengatakan bahwa sebagian besar tentara Afghanistan sangat tidak terlatih dan tidak mampu mencegah peluasan wilayah Taliban.
Pada Senin kemarin, ledakan ganda di Kabul menewaskan sedikit-dikitnya 26 orang, termasuk sembilan wartawan, yang melaporkan ledakan pertama. Para wartawan itu nampak menjadi sasaran pelaku bom bunuh diri.
Serangan hanya satu pekan setelah 60 orang tewas saat mengantri di tempat pendaftaran pemilihan umum di kota itu menandakan semakin goyah keadaan meski pemerintah berupaya meningkatkan keamanan.
Gelombang serangan itu adalah pengingat buruk mengenai kekuatan Taliban dan cabang ISIS di Afghanistan, meski Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan pasukannya lebih gencar menggelar serangan udara.
Lembaga pemantau Afghanistan bentukan Washington (SIGAR) mengatakan bahwa jumlah tentara tergabung dalam pasukan Keamanan dan Pertahanan Nasional Afghanistan (ANDSF) --yang termasuk angkatan darat, laut, udara, dan kepolisian-- mencakup sekira 296.400 personel terhitung pada Januari 2018.
Angka tersebut turun 10,6 persen dibanding bulan yang sama pada 2017.
ASi sudah selama dua dasawarsa terakhir ini berupaya untuk mebangun pasukan keamanan Afghanistan yang mampu melindungi dan mempertahankan wilayahnya secara mandiri.
"Pembangunan kemampuan pasukan Afghanistan adalah prioritas utama bagi Amerika Serikat dan negara-negara sahabat. karena itu sangat mengkhawatirkan menyaksikan kekuatan bersenjata di Afghanistan justru menurun," kata John Sopko, kepala SIGAR, kepada Reuters.
Ribuan tentara tambahan AS sudah dikirim ke Afghanistan untuk melatih pasukan di sana. Sementara itu, mereka juga diberikan wewenang yang lebih luas untuk menggelar serangan udara dengan target kelompok bersenjata penentang pemerintah Kabul.
Di muka umum, para pejabat AS mengaku optimistis terhadap situasi di Afghanistan. Seorang jenderal asal Washington di Afghanistan pada tahun lalu, bahkan mengatakan bahwa negara itu telah "membalik keadaan".
Saat ditanya apa targetnya di Afghanistan pada tahun depan, Menteri Pertahanan AS Jim Mattis mengatakan bahwa dia ingin "melihat pasukan Afghanistan yang punya kemampuan lebih, dan tingkat kekerasan yang menurun.
Bahkan, pada awal pekan ini Mattis masih mengatakan bahwa serangkaian serangan yang terjadi belakangan ini sudah diperkirakan dan para gerilyawan sudah semakin terdesak.
"Ini adalah hal normal bagi orang-orang yang tidak bisa memenangi hati rakyat dalam kotak suara. Mereka terpaksa mengambil cara pengeboman," kata Mattis.
Namun, di balik layar, sejumlah sumber intelijen AS mengatakan bahwa sebagian besar tentara Afghanistan sangat tidak terlatih dan tidak mampu mencegah peluasan wilayah Taliban.
Pada Senin kemarin, ledakan ganda di Kabul menewaskan sedikit-dikitnya 26 orang, termasuk sembilan wartawan, yang melaporkan ledakan pertama. Para wartawan itu nampak menjadi sasaran pelaku bom bunuh diri.
Serangan hanya satu pekan setelah 60 orang tewas saat mengantri di tempat pendaftaran pemilihan umum di kota itu menandakan semakin goyah keadaan meski pemerintah berupaya meningkatkan keamanan.
Gelombang serangan itu adalah pengingat buruk mengenai kekuatan Taliban dan cabang ISIS di Afghanistan, meski Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan pasukannya lebih gencar menggelar serangan udara.
Credit antaranews.com